-Senja kali ini indah, Jingga. Aku jadi suka. Kamu.-Biru
***
Lana tiba di rumahnya, melihat Ibunya sedang duduk di beranda rumah ditemani majalah mengenai masakan yang sudah sedikit usang. Ibunya tak pernah bosan membaca majalah itu, majalah-majalah yang dibelikan oleh ayahnya.
"Assalamualaykum, Bu," salamnya, sembari menggapai telapak tangan sang Ibu untuk disalami.
"Waalaykumsalam, kenapa matamu bengkak?" tanya sang Ibu pas mengena di hati Lana. Ibunya selalu tahu apa yang terjadi pada dirinya, meski ia sama sekali tak bercerita. Lana hanya meringis sebagai jawaban untuk pertanyaan sang Ibu.
"Ya sudah, sana mandi," titahnya, lalu kembali menyelami majalahnya.
"Ibu," panggil Lana ragu, ibunya menoleh sempurna padanya.
"Jingga mau main," ujarnya kaku.
"Main?" selidik sang Ibu.
"Ke pantai, nanti sore jam lima, melihat senja," balasnya kilat.
"Bersama?" selidik sang Ibu lagi.
"Teman,"
"Siapa?"
"Biru,"
"Biru?"
"Albiru Bagaskara," ujarnya menyebutkan nama lengkap Bagas.
"Albiru Bagaskara?" ulang sang Ibu lagi. Lana mengangguk pelan.
"Teman, Jingga," ujarnya.
"Laki-laki yang berdiri di belakang kamu itu?" ujar sang Ibu. Lana mengernyit, lalu menoleh ke belakangnya dan tercengang heran.
"Hehe," tawa Bagas kikuk sembari menggaruk tengkuknya, Lana memiringkan kepalanya sebagai tanda bingung, "Aku tidak tahu mau melakukan apa sembari menunggumu di sana, jadinya aku menguntitmu," jelasnya menjawab kebingungan Lana.
"Kenapa tidak pulang saja?"
"Takut ketiduran,"
"Kenapa takut ketiduran?"
"Takut tidak bisa menemani kamu,"
"Kenapa takut tidak bisa menemani saya?"
"Kenapa sekarang justru kamu yang banyak menanyakan perihal kenapa?" balas Bagas.
Lana mengedikkan bahunya, "Saya tidak tahu," ujarnya. Lalu, memutar kembali badannya dan masuk ke dalam rumah.
"Jingga, ini temanmu?" tanya sang Ibu sedikit berteriak.
"Biarkan saja dia, Bu. Dia sudah besar," jawab Lana juga sedikit berteriak.
Ibunya mengela napas, lalu berbalik menatap Bagas. Menelisik perawakan pria itu dari ujung kaki hingga ujung kepala dan kembali ke kaki. Penilaiannya untuk laki-laki yang sudah Lana akui sebagai temannya ini adalah; lelaki ini anak baik dan tulus.
"Duduk, Nak Albi," titah sang Ibu, Bagas mengangguk dan patuh.
"Terima kasih, Bu," balas Bagas.
"Jingga memang seperti itu," jelasnya.
"Maksudnya, Bu?"
"Cuek, tetapi begitu perasa," jelas sang Ibu dari gadis yang sekarang sudah menjadi temannya. Bagas hanya membalas dengan anggukan.
"Kenapa bisa berteman dengan anak Ibu?" tanyanya lagi.
"Nyaman, Bu. Saya baru saja pindah dari Bandung, bertemu dengan Jingga dan nyaman itu menghampiri begitu saja," jelas Bagas kikuk.
"Puitis, sama seperti Jingga,"
"Hehe, iya, Bu," balas Bagas canggung.
"Ibu, usah jelaskan apa-apa tentang Jingga sama dia. Nanti dia akan merangkai banyak pertanyaan yang membuat Jingga pusing menjawabnya," lagi-lagi Lana berteriak dari dalam rumah.
"Anak gadis tidak baik berteriak seperti itu," nasihat sang Ibu pelan.
"Jingga jarang mengatakan banyak hal atau sekedar berbasa-basi pada orang lain. Dengan Ibupun ia jarang bercerita, kecuali cerita bahagia pasti ia bicarakan terus kepada Ibu. Tentang sedihnya, Jingga tidak pernah mengutarakan pada Ibu. Namun, sebagai Ibu ya Ibu merasakannya," jelasnya lagi, Bagas mengangguk mengerti.
"Saya akan menemani Jingga, Bu," janji Bagas, Ibu Lana tersenyum.
"Terima kasih,"
"Ibu, saya pulang dulu. Saya mau mengambil sepeda motor saya di rumah, agar nanti pergi ke pantai bersama Jingga tidak repot," ucap Bagas, Ibu hanya mengangguk, "Assalamualaykum, Bu," salamnya lalu meraih tangan wanita tua yang baru saja menceritakan tentang temannya ini.
"Waalaykumussalam, hati-hati, Nak Albi,"
***
Lana sudah siap dengan pakaian andalannya, rok selutut berwarna krem dan baju kemeja setengah tiang berwarna merah muda pucat. Baju kemeja dimasukan ke dalam pinggang roknya, lalu dilengkapi dengan pita yang berwarna senada dengan rok, menyempurnakan sederhananya. Tidak lupa ia menguncir kuda rambutnya dan membiarkan beberapa helai anak rambut yang tak bisa dikuncir melayang di lehernya. Tidak lupa juga untuk menggunakan sendal-sepatu bertali berwarna hitam andalannya. Lana sudah siap untuk menyapa senja.
Beberapa menit setelah penampilannya siap sempurna terdengarlah suara mesin motor yang sedikit menderu. Lana memasukkan buku usang dan penanya ke dalam tas sandang kecil andalannya, lalu menyampirkan tas itu ke bahunya. Kemudian, langkah kakinya menuju keluar kamar dan melihat motor untuk siapa yang sedari tadi tak berhenti menderu di pekarangan rumahnya.
"Biru?" gumamnya bingung sembari memandang Bagas. Bagas hanya tersenyum riang.
Bagas duduk di atas motor tua dan legenda itu dengan setelan bawahan celana lepis berwarna hitam dengan atasan kaos yang dibalut dengan kemeja kotak-kotak. Bagas tidak menggunakan sepatu, melainkan sendal terbuka yang menyempurnakan tampilan santainya. Lana mendekati Bagas dan memandang sejenak lelaki itu, Bagas sudah wangi.
"Mencuri di mana?" celetuknya.
"Apanya?"
"Motor,"
"Punyakulah!" jawab Bagas sombong.
"Membelinya pakai uang orang tua atau uang sendiri?" tanyanya lagi.
"Uang jajan yang diberikan orang tua yang sudah dua tahun aku tabung," jelas Bagas.
"Oh," balasnya singkat.
"Sudah mau pergi?" terdengar suara sang Ibu di beranda rumah.
Bagas langsung turun dari motornya dan berjalan mendekati seorang Ibu dari gadis cantik yang saat ini berpenampilan manis, tetapi cukup polos untuk membuatnya kesal. Menyalami wanita tua itu, seraya meminta izin untuk membawa gadisnya berjalan-jalan sebentar. Lana mengikuti langkah kaki Bagas dan menyalami Ibunya juga sembari mengulang untuk meminta izin.
"Hati-hati," kata pengulangan yang diujarkan sang Ibu, meski singkat kata ini memiliki makna yang dalam.
"Pergi, Bu. Assalamualaykum," ujar mereka nyaris bersamaan.
"Biru, saya lupa kalau saya ternyata tidak punya helm," celetuk Lana tiba-tiba, Bagas tersenyum simpul.
"Nih," ujarnya sembari menyodorkan helm berwarna jingga yang terdapat tulisan 'BIRU' di belakangnya.
"Ini apa?" tanya Lana.
"Helm," jawab Bagas.
"Saya tahu!" dengusnya, "Untuk saya?" tanya Lana lagi, Bagas mengangguk.
"Mencuri di mana?" ujarnya mengulangi pertanyaannya yang tadi.
"Kamu cerewet juga ternyata," balas Bagas.
"Kenapa tulisannya 'BIRU'?" tanya Lana setelah memandangi secara keseluruhan sisi dari helm yang baru saja Bagas berikan.
"Karena punya aku helmnya berwarna biru dan tulisannya 'JINGGA'," jelasnnya.
"Supaya apa?" tanya Jingga lagi.
"Karena aku ingin," jawab Bagas.
"Oh, ya sudah," ringkas Lana.
Bagas menaiki motornya, lalu menghidupkan motor tuanya tersebut. Berbelok mengarah ke gang keluar, lalu menyuruh Lana menaiki motornya.
"Biru," panggil Lana sebelum naik, Bagas bergumam menjawabnya, "Saya duduknya serong apa seperti duduk laki-laki?" tanyanya polos.
"Senyamannya kamu," balas Bagas.
"Saya nyamannya naik angkot atau berjalan kaki, bagaimana?" jawab Lana polos.
"Ya sudah, duduknya serong saja, seperti duduk di angkot," balas Bagas cemerlang.
"Baiklah," jawab Lana. Lalu gadis itu menaiki badannya ke motor tua milik Bagas, teman yang sudah diakuinya pada sang Ibu.
Motor tua Bagas berjalan perlahan menyusuri gang kecil untuk keluar dari kediaman Lana. Lalu menelusuri jalan kota yang nampak padat ketika sore. Beberapa lampu merah mereka lewati untuk sampai ke Pantai Panjang, salah satu pantai yang terkenal di kota Bengkulu. Motor tua Bagas akhirnya sampai di lampu merah yang menjadi pusat kota Bengkulu, lampu merah Simpang Lima Ratu Samban. Lalu, melewati jalan Penurunan, menelusuri jalan dua jalur, melewati salah-satu pusat perbelanjaan terbesar di kota Bengkulu, berbelok kiri lagi.
"Jingga, kita ke mana?" tanya Bagas karena ia bingung.
"Nanti kalau ada tempat putar haluan, kamu putar dan berpindah jalan, lalu jalan lurus saja sampai ke sport center." Jelas Lana, Bagas mengangguk.
Perjalanan mereka diiringi oleh diam Lana dan nyanyian tak jelas yang keluar dari mulut Bagas. Laki-laki itu menyanyikan banyak lagu mulai dari lagu zaman dahulu hingga lagu yang baru rekaman tadi malam, tetapi hanya terdengar sebagai dengung lebah atau deru laut bagi kuping gadis yang saat ini tengah ia bonceng.
Lana menikmati semilir angin sore yang membelai wajahnya, memejamkan matanya merasakan nada-nada alam yang menyelusup masuk ke rongga telinganya. Mengabaikan nyanyian absurd yang keluar dari mulut Bagas, ternyata menenangkan juga.
"Jingga!" teriak Bagas, merusak ketenangan Lana. Lana hanya bergumam dengan nada yang dibumbui nada kesal.
"Ini ke mana lagi?" tanya Bagas.
"Sepuluh meter lagi kita sampai, Biru!" seru Jingga sedikit kencang agar dapat didengarkan.
Mereka telah sampai di tempat tujuan, memakirkan motor di tempat parkiran, turun lalu bergabung bersama keramaian. Tidak seramai akhir pekan ataupun hari libur, tetapi Pantai Panjang ini selalu ramai di setiap harinya. Lana turun dari motor tua milik Bagas, berdiri dan menunggu Bagas meletakkan motornya dengan baik. Bagas memarkirkan motornya di samping abang-abang tukang jual baju bermotif bunga rafflesia, khas provinsi Bengkulu, dalam Bahasa Rejang-salah satu bahasa khas Bengkulu- bunga rafflesia disebut kembang sekedey. Memakirkan motornya di tempat terujung mengartikan bahwa motor miliknya akan sedikit memiliki peluang tergores oleh motor lain, Bagas sangat mencintai motornya.
"Jaga dirimu baik-baik di sini, Lucky. Aku hanya pergi 'tuk sementara, bukan tuk meninggalkanmu selamanya," pesan Bagas pada motornya yang dipanggil Lucky, dilanjutkan dengan sepotong lirik lagu.
"Ternyata manusia yang hobi berbicara dengan benda mati itu ada," celetuk Lana.
"Kamu juga berbicara dengan benda mati kemarin," bantah Bagas.
"Kapan?"
"Waktu di belakang sekolah,"
Kening Lana mengernyit, mencoba mengingat, lalu mukanya menjadi cerah, "Saya berbicara dengan alam, dengan pohon. Pohon itu makhluk hidup, teman sejati. Saat saya banyak menceritakan hal pda pohon, pohon tidak pernah menghujat saya, tidak menasihati saya. Pohon hanya diam dan mendengarkan saya, pohon mengerti saya," jelas Lana.
"Aku teman kamu, artinya sekarang aku menjadi pohonmu," ujar Bagas bangga.
"Iya," balas Lana, senyum Bagas merekah, "Pohon saat angin topan, puting beliung, hujan badai," sambungnya. Bagas mengernyit.
"Maksudnya?"
"Ribut," jawab Lana ringkas tanpa ekspresi, senyum Bagas berubah kecut.
"Sudah jam setengah enam, Jingga. Mataharinya sudah mau tenggelam," ingat Bagas sembari menghadap ke arah pantai. Tak ada jawaban apapun dari Lana. Lalu, ia menoleh lagi ke arah gadis itu berdiri, ternyata dia sudah ditinggalkan. Bagas mengela napas, sabar.
Lana duduk di atas batang pohon yang tertanam di pasir pantai, menyelonjorkan kakinya, lalu mengeluarkan buku usang dan pena andalannya. Bagas melakukan hal yang sama seperti Lana, kecuali pada mengeluarkan buku usang serta pena, dia tidak punya.
Gadis itu mulai asyik menorehkan guratan aksara di buku usangnya, merangkai sajak demi sajak, menyempurnakan bait demi bait, menyeleksi diksi-diksi, menghasilkan suatu karya. Bagas menepati janji, ia bungkam seribu bahasa. Laki-laki itu hanya memperhatikan tangan mungil Lana yang tak mempedulikan senyum senang yang terpatri di wajahnya.
Matahari mulai turun dari peraduannya, membagikan sinar jingganya, menjadi senja yang indah untuk banyak pasang mata yang menatapnya. Seberkas sinar jingga menerpa wajah Lana dan Bagas. Wajah gadis yang masih asyik dengan khayalnya ini bersinar terang, berkilau seperti permata. Laki-laki di sampingnya memerhatikannya dengan seksama, takjub.
"Jingga," panggilnya, Lana tak menjawab, "Sinar senja kali ini indah sekali," sambungnya lalu terhenti dan menarik napas, "Membuat aku jatuh cinta," ujarnya lalu berhenti lagi, "Sama kamu," gubahnya. Lalu menatap matahari yang sebentar lagi akan karam, berpindah menyinari belahan bumi yang lain.
Lana menoleh, menatap Bagas yang menyibukkan diri memandangi matahari yang tenggelam. Senyum yang indah berhasil menghampirinya, ia memandang Bagas begitu lama. Wajah laki-laki itu tampak tenteram, mata birunya berkilauan, tampan. Gadis di sampingnya baru saja mengakui bahwa Bagas adalah seorang lelaki yang tampan.
"Jingga, aku memang tampan. Jangan pandangi aku seperti itu, nanti aku jadi terbawa perasaan," ujar Bagas tanpa salah, juga tanpa menolehkan pandangnya untuk Lana.
Lana langsung membuang mukanya, malu. Bagas menyadari bahwa dirinya sedang dipandangi dengan kekaguman oleh gadis yang sedari tadi sibuk bersama khayalnya. Lana juga mengernyit ketika sadar fakta bahwa Bagas mengetahui apa yang ia lakukan, tanpa melihat ke arah dirinya. Bagas cenayang.
"Teruslah tersenyum seperti tadi, Jingga. Aku senang melihat sebuah senyum menangkring dengan manis di wajahmu yang amat polos itu," puji Bagas. Lana tersipu, berpura-pura membenarkan kacamatanya.
"Hati-hati, nanti kamu jatuh cinta denganku, Jingga," pukas Bagas angkuh.
"Iya," jawab Lana polos.
"Iya? Iya jatuh cinta padaku," ujar Bagas senang, langsung menatap ke arah Lana.
"Iya, saya akan hati-hati," balas Lana polos, tetapi menghujam. Bagas menjadi diam.
"Biru, terima kasih," ujar Lana.
"Untuk?" tanya Bagas, berharap jawaban Lana mampu menyejukkan hatinya.
"Menuruti permintaan saya agar senyap," jawab Lana tak kalah polos.
"Tidak ada ucapan terima kasih yang lain untukku?" tanya Bagas penuh harapan.
"Ada," jawab Lana.
"Apa?" tanya Biru antusias.
"Terima kasih sudah menemani saya ke sini, Biru," jawab Lana. Jawaban sekenanya yang tidak sesuai dengan harapan Bagas.
"Yang lain lagi," pinta Bagas.
"Sudah habis," ringkas Lana. Bagas mengembuskan napas kecewa.
"Biru, saya mau pulang," pinta Lana.
"Pulang sana sendiri," ketus Bagas merajuk.
"Ya sudah," jawab Lana berdiri, lalu berjalan mendahului Bagas.
"Jingga!" panggil Bagas panik karena ditinggalkan Lana, "Aku jangan ditinggalkan!" pintanya lalu berlari mengejar Lana.
"Hei!" ujar Bagas seraya menarik tang Lana, "Kenapa pergi?" tanyanya.
"Tadi kamu menyuruh saya pulang sendiri, 'kan?" tanya Lana polos.
"Aku cuma bercanda, Jingga," jawab Bagas.
"Oh, saya pikir serius," balas Lana tetap polos.
"Ya sudah, ayo pulang," ajak Bagas.
"Jadi, saya pulangnya sama kamu?" tanya Lana bertahan pada kepolosannya.
"Iya, sama aku dan Lucky," jawab Bagas menahan kesal. Lalu, Lana berjalan tanpa salah menuju motor Bagas dan meninggalkannya.
"Biru, ajarkan saya menaiki motor?" pinta Lana.
"Oh, sini," ajaknya, "Naik deh ke jok belakangnya," perintah Bagas dan Lana menurutinya, "Nah, ini kamu sudah menaiki motor," ujarnya. Lana mengernyit dan berusaha memikirkan.
"Ah, Biru!" ujarnya merajuk, "Maksud saya itu mengendarai," sambungnya.
"Tidak mau,"
"Kenapa?"
"Kamu tidak perlu belajar mengendarai motor, biar aku saja yang mengantarkan kamu kemanapun kamu mau, ya?" jelas Bagas, Lana bengong, lalu menggeleng, "Kenapa?" tanya Bagas sebagai respon atas gelengan kepala yang dilakukan gadis di hadapannya ini.
"Saya inginnya mandiri, Biru," jawabnya.
"Iya, tetapi aku maunya selalu bersama kamu," jawab Bagas.
"Ya sudah deh. Mari pulang, nanti saya diomel Ibu karena sudah diculik lama-lama," celetuknya.
"Ternyata kamu ini suka berceletuk juga, Jingga," aku Bagas, Lana hanya diam.
Bagas menaiki motornya, mengeluarkan sang sahabat yang sudah ia pinang dengan proses menabung yang cukup lama. Dengan hati-hati ia melewati beberapa motor agar dapat sampai di depan gadis yang sudah menunggunya dengan muka yang datar.
"Ayo naik!" titahnya saat sudah di hadapan Lana.
"Biru, saya mau duduk seperti laki-laki," ujar Lana sebelum menaiki motor.
"Kenapa?" tanya Bagas.
"Biar seperti menaiki motor pada umumnya, tidak seperti naik angkot, saya jarang menaiki motor soalnya," jawab Lana polos, Bagas teramat gemas pada kepolosan Lana kali ini.
"Jangan, nanti rok kamu tersibak. Duduk seperti tadi saja, asal kamu duduknya di atas motor sudah disebut naik motor kok. Kalau duduknya di jok angkot, ya baru namanya naik angkot," jawab Bagas menahan gemas.
"Ya sudah," jawab Lana lalu duduk di motor Bagas dengan posisi seperti saat mereka pergi ke sini.
Bagas menjalankan motor tuanya dengan perlahan, keluar dari wilayah parkiran, masuk ke jalan raya yang cukup ramai di jam menjelang malam. Bagas menelurusi jalan dengan kediamannya dan khayalan Lana.
"Biru, kamu tahu?" tanya Lana, Bagas hanya menggeleng, "Mengkhayal ketika berkendara itu enak, semilir angin menyapa otak, merangkai syair di sana," jelasnya.
"Oke, aku juga akan mengkhayal," balas Bagas sedikit berteriak.
"Jangan!" cegah Lana.
"Kenapa?"
"Nanti saya dan kamu jadi terjatuh," balas Lana, Bagas tertawa renyah.
Perjalanan di akhiri dengan keheningan lagi, masing-masing penghuni motor tua itu sibuk dengan pemikiran mereka masing-masing. Tak ada yang mencoba membuka obrolan, semuanya menjadi senyap. Bagas tak bertanya, ia terlingkup dalam diamnya. Memikirkan semua hal yang bisa ia pikirkan, memikirkan hal yang beberapa hari ini sangat hobi ia pikirkan; Lana. Lanapun tetap seperti biasa; asyik pada lamunan dalam khayalnya. Menyelam seperti mengaramkan diri ke dasar laut, mengudara seumpama melompat menyapa langit.
Pilihan jalan yang mereka lewati adalah jalan pantai. Menelusuri Pantai Berkas yang di pinggir jalannya terdapat taman bermain anak-anak, yaitu Taman Pantai Berkas. Terus melaju hingga bertemu pada simpang Tugu Pers yang banyak terukir kelopak bunga rafflesia di dindingnya. Melaju hingga tiba ke Pantai Zakat, pantai yang biasanya dijadikan teman mandi oleh warga Bengkulu maupun luar kota. Jalan panjang melewati pantai itu mereka lalui bersama-sama, meski dalam diam. Setitik nyaman merambat pada hati Lana yang baru kali ini memiliki seorang teman.
Akhirnya mereka tiba di rumah Lana tepat pukul delapan malam, terlihat Ibu Lana telah menunggu di beranda rumahnya. Bagas menghentikan laju motornya dan mematikan mesin motor yang cukup menderu. Berjalan menuju Ibu dari gadis yang tadi ia ajak jalan-jalan, mengembalikan gadis itu sebagaimana mestinya.
"Assalamualaykum, Ibu. Jingga saya kembalikan tanpa kurang apapun," ujarnya sembari menyematkan senyum terbaik di wajahnya.
"Waalaykumsalam, terima kasih, Nak Albi. Jingga tidak nakal, 'kan?" tanya sang Ibu, Bagas menggeleng, Lana berekspresi datar.
"Saya pulang dulu, Bu," ujar Bagas lalu menggapai tangan perempuan baya di depannya yang tersenyum.
Bagas berjalan kembali ke motornya, tanpa ucapan apa-apa dari Lana. Sedikit kecewa dalam hatinya, tetapi tidak mengapa, karena Lana memang begitu. Tiba-tiba ia merasakan ada jemari yang menyentuh bahunya, dia memutar badan. Lana dengan senyum tersipu muncul di hadapannya.
"Hati-hati di jalan pulang, karena ada yang menunggumu datang, Biru," ujarnya di akhiri senyum yang manis, senyum yang lepas dan senyum yang ikhlas. Bagas tertegun sejenak.
Bagas segera menyamakan ekspresi Lana, menarik bibirnya membentuk senyuman. Senyuman yang lebih manis, senyum yang teramat lepas dan senyum yang sangat ikhlas, "Terima kasih, Lanaria Jingga," jawabnya di akhiri penyebutan nama lengkap untuk Lana.
Setelah itu ia menaiki motornya, menyalakannya, melajukan sang motor yang bernama Lucky menuju ruang jalan, meninggalkan Lana dengan senyuman yang masih terlukis di wajahnya. Bagas dan motornya hilang di telan kegelapan gang, Lana memutar badannya, memasuki rumah dan melanjutkan tulisan demi tulisannya dengan perasaan yang lebih baik.
___________
Assalamualaikum wr.wb.
Rumy menyapa dengan 2.766 kata!
Wuhh banyak yaaaa, di bab ini isinya romantis ga sih? Semoga kena deh feelnya.😍
Jangan lupa vote dan komennya yaaa, jangan lupa buat share juga ke teman-temannya😍
Oh iya, kalo ada typo dibenerin yaaah.
Rumy masih belajar.
Salam sayang,
Rumy💖
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (COMPLETED)
Romans(TAMAT) (CERITA INI DIBUAT UNTUK DIBACA, BUKAN UNTUK DIPLAGIAT!) . Cerita seorang gadis yang bernama Lanaria Jingga, pendiam, berkacamata, mungil dan tidak ekspresif. Dipertemukan dengan seorang lelaki yang bernama Albiru Bagaskara yang memiliki sik...