Jingga masih tampak kesal. Capek menggosok bibirnya dia keluar halaman rumah membantu ibunya. Di depan rumah mereka yang sederhana dapat dilihat pantai yang indah. Jaraknya tak terlalu jauh hingga angin sejuk dan deburan ombak yang mendayu bisa dirasakan.
Terlebih matahari yang mulai menampakkan diri serta rasa semangat para nelayan yang sudah tiba di ujung pantai. Ya, meski cuaca di laut kadang tak menentu. Dibulan Juli ini biasanya ombak mengamuk tanpa bisa diprediksi. Paginya lautan akan terlihat tenang-tenang saja, namun saat menjelang tengah hari lautan akan dengan cepat mengubah kondisi airnya.
Namun para nelayan itu tetap giat bekerja demi anak istri di rumah yang masih perlu dihidupi. Ombak sebesar apa pun kadang nekat mereka terjang demi mengais rezeki.
Raut wajah Jingga nampak sebal. Sang ibu yang melihatnya tampak heran. Wanita itu sesekali membenarkan letak topi capingnya. "Ibu lihat kamu tidak semangat hari ini? Sudah bosankah kamu berkhayal?"
Jingga yang sedang memercikan ikan yang dijemur dengan air mengernyit, menghentikan kegiatannya. Sudut hatinya terasa teriris mendengar nada ketus ibunya. Memang dia akui dirinya suka berangan. Lagipula dia seperti sudah jengah di desa ini. Terlalu bosan.
"Sudah, Bu tak perlu menyindirku. Sekarang aku sedang membantu ibu." Jingga berkata seperti itu. Tapi sikapnya terlihat tidak ramah.
Sang ibu menghembuskan nafas lelah. "kamu harus sadar, nak. Hidup sederhana mendapatkan pria yang sederhana asal dia baik dan jelas hidupnya lebih indah daripada angan semumu. Yang kamu hayalkan belum tentu seindah kenyataan."
Ucapan sang ibu sungguh menyentil hatinya. Niat ingin melawan justru pupus lagi. Jingga cepat-cepat menyelesaikan tugasnya lalu masuk ke dalam rumah.
....................................
Samudra menjelang siang hanya duduk di beranda rumah singgahnya. Beberapa kali pemuda itu mengusap bibir tebalnya, tersenyum sendiri sambil memandang langit seolah menampilkan wajah cantik Jingga. "Aku belum tahu namanya sampai sekarang," ucapnya serak dengan hasrat membara lalu terkekeh kemudian.
Tanpa pria itu sadari ada tangan yang menyentuh pundak gagahnya. Samudra memejamkan mata menaham kesal. "Gantar, aku sedang tidak ingin mendengar cerita anehmu atau kejahilanmu!" geramnya dengan keras.
Gantar, salah satu anak kapalnya yang suka menjahili dia juga teman-temannya. Pemuda itupun paling berani padanya.
"Ohh, akang. Masa lupa atuh sama Ully, padahal semalam kita berbagi kehangatan dengan hebat. Sudah lupa dengan sentuhan Ully ini?" wanita cantik dengan gaun kain yang agak ketat itu bergelayut di leher Samudra dari belakang.
Samudra tambah jengah, iya dia semalam berakhir dengan Ully. Pria itu ingin mencari pelampiasan saat dia bertemu Jingga di hari pertama tapi tak ada respon baik. Samudra ke rumah bordil dan menghabiskan malam bersama Ully yang cantik untuk sebuah pelepasan.
Samudra tak peduli dengan kata-kata Ully. Baginya sekali pakai kalau sudah bosan dan tidak spesial, akan dia lepas. "Kenapa kamu bisa masuk sini? Aku tak suka jika ada orang asing masuk kamarku, kecuali yang aku inginkan. Pergilah, apa kamu minta bayaran lagi?"
Ully melepaskan rangkulannya sendiri. Hatinya sedikit sakit atas sikap Samudra yang berbeda dengan semalam. "Akang... Aku kira akang akan mencintaiku."
Samudra tersenyum sinis lalu meraih rahang Ully yang menangis ketakutan. Menatap tajam dengan mata elangnya. "Hahaha, pelacur sepertimu jangan terlalu percaya diri. Aku suka yang lebih menarik dan cantik. Yang membuatku lebih tertantang. Bukan kau yang hanya pelampiasan. Sekarang keluar, kau mengganggu mimpi indahku dengan gadis paling cantik disini!"
Ully pias seketika, dari kata-katanya dia tahu bahwa mungkin pria ini tergila-gila pada seseorang. Jingga, satu nama yang tercetus dalam benaknya. Dia terkadang iri dengan Jingga yang bisa memiliki segalanya. Tapi, tak tahukah pria ini jika Jingga terlalu angkuh dan pemimpi.
................................
Menjelang sore, Samudra bersama Gantar yang bertubuh lebih pendek sedikit, tapi tak kalah tampan berjalan dengan santai di daerah sekitar pantai. Menatap kapal-kapal yang siap melaut lagi. Angin sore bertiup sejuk dan tentram. Namun, tak selalu membuat Samudra tenang. Dia rindu melaut dengan kapal kesayangannya.
Dia merindukan kampung halamannya juga. Berlayar dengan kapal lain tak akan sama. Kehidupannya disini masih bisa dia cukupi dengan menyuruh beberapa anak buahnya berlayar mencari ikan demi kebutuhan. Dengan kapal sewaan dan uang simpanan yang banyak dia tenang.
Gantar melihat bosnya dengan prihatin. "Bos, sabarlah. Kapal andalan kita pasti akan diperbaiki dengan orang-orang yang ahli."
Samudra yang termenung lesu lalu kembali tersenyum seolah mengingat hal yang memupuskan rasa dukanya. Dia berhenti melangkah diikuti Gantar. Samudra menghadap pada pemuda itu memegang erat pundaknya. "Gantar, maukah kau membantuku?"
"Selalu, saya akan membantu bos tanpa diminta," balas Gantar dengan raut tulus.
Samudra semakin tersenyum senang. "Cari tahu salah satu gadis yang paling cantik disini. Aku sungguh penasaran."
Gantar membulatkan matanya. Dia tak habis pikir. Tadi bosnya bersedih, sekarang bisa mudah gembira. Tapi, tak apalah biar bosnya bahagia. Walau kadang dia harus maklum sama semua kebiasaan buruknya. Dia sudah digaji dan diperlakukan dengan baik pula.
...............................
Pagi sudah kembali menjelang. Namun, ada satu yang janggal. Beberapa hari ini pria aneh itu jarang menampakkan diri lagi. Justru malah dia sepet diikuti oleh seseorang yang membuatnya risih. Rasanya ingin dia dapatkan saja orang yang menganggunya itu.
Jingga dan Samudra sama-sama melihat kalender dan jam...
3 Juli 1985, tanggal dan tahun yang tertera di kalender masing-masing. Juga detik jarum jam berbunyi bagai nada yang lirih. Pukul enam kurang sepuluh menit.
Mungkin menghitung waktu demi hal apapun yang akan mereka inginkan.
TBC....
*****
Kolaborasi bareng Kak deviariadne
KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Samudra
RomanceKetika seorang pria yang sudah mengambil kesucianmu, meninggalkanmu dan memintamu untuk menunggu dia kembali. Jingga gadis polos yang telah dibutakan oleh cinta, meski berat merelakan pria yang dicintainya untuk pergi. Hari-hari berlalu Jingga teta...