Sepuluh

3.1K 190 12
                                    

Jingga berlari terus seolah ada setan ada mengejarnya. Lebih tepatnya setan kebahagian. Bukan karena dia benci Samudra, bahkan malam ini lelaki itu tidak kurang ajar sama sekali. Namun, ada rasa bergejolak yang ingin keluar ketika Samudra menyatakan cintanya.

Gadis itu berhenti sejenak untuk mengatur nafas dan degup jantungnya. "Ah... Tuhan rasa ini sungguh membuatku bagai orang gila. Bukannya menjawab, aku justru berlari," ucap Jingga dengan wajah letih, raut memerah dan keringat yang membanjir wajahnya.

Sekali lagi gadis itu terkejut karena ada tangan yang menepuk pundaknya. "Jingga, daritadi aku mengejar dan memanggilmu tapi kamu tidak mendengar. Hah... Hah.. " Samudra yang ternyata mengejar Jingga sampai tidak disadari gadis itu.
"Mas Samudra, kamu mengejutkanku!" Jingga sangat kesal karena dirundung rasa malu, takut, bahagia dan jengkel. "Dari dulu Mas memang seperti setan."

Samudra tersenyum lucu. Cahaya rembulan semakin bersinar indah di atas mereka dan laut yang bergelung. "Tapi setan ini tampan dan sangat mencintaimu." Pria itu mencolek dagu kecil Jingga.

Gadis itu langsung melotot ke arahnya. "Pria sombong. Percaya dirimu terlalu besar," ucap Jingga sambil memicingkan mata dan bersandar pada pohon kelapa yang kokoh. Baginya saat ini mengatai Samudra adalah cara untuk menutupi rasa malu dan senangnya. Dia juga ingin menjaga harga diri.

Dulu dia yang menolak Samudra mati-matian. Namun, sekarang hatinya justru berkhianat dengan menuliskan nama pria itu dalam. Saat ini diapun jatuh dalam dilema.

Hening menyelimuti mereka. Hanya suara ombak, angin, dan hewan-hewan malam di sana. Pria itu tak terlihat marah karena ucapan Jingga. Samudra langsung menyentuh tangan Jingga dan mencium punggung tangan gadis itu.

Samudra menatap Jingga penuh harap dan intens. "Aku hanya ingin tahu jawabanmu. Apakah  kau menerima cintaku?"

Gadis itu memberanikan diri menatap Samudra. Mencoba mencari kepalsuan. Namun, tak ada dan dia tenggelam pada beningnya mata Samudra yang seolah menenggelamkannya.

....................................

Yati tidak bisa tidur daritadi. Bukan hanya menunggu Jingga tapi karena suatu perasaan yang tak enak. Ini seperti firasat ketika Yati mengambil gelas untuk minum. Namun, tangannya licin dan gelas itu jatuh menghasilkan bunyi nyaring dan kaca yang berhamburan.

Hal itu pernah dia rasakan sebelum suaminya dikabarkan meninggal. Dan sekarang ibu kandung Jingga itu duduk, bangun, dan berjalan mondar mandir sambil mengusap tangan bergantian. Raut wanita setengah baya berkerudung pendek itu cemas.

"Ya Tuhan, lindungi Jingga," ucap Yati lirih. Wanita itu berjalan cepat ke arah jendela samping rumah dengan beberapa kali membukanya.

Langit gelap seolah memberi tanda kepadanya. Tentu saja Yati semakin sendu dan berdoa berkali-kali dalam hati. Apalagi Putri satu-satunya itu tak kunjung pulang sampai sekarang.

Tak lama terdengar suara ketukan pintu yang membuat Yati langsung berjalan cepat. Membuka pintu gesit tak memikirkan hal kecil untuk mengintip dari celah lubang kunci. Rumah mereka yang sederhana tak punya jendela di sisi pintu. Hanya ada jendela di kamar masing-masing dan samping rumah.

Diliputi rasa khawatir Yati tak memikirkan itu penjahat atau anaknya. Karena perasaan seorang ibu selalu benar. Perasaan seorang ibu akan selalu menyayangi anaknya.

Kelegaan itu sirna berganti rasa kesal tatkala melihat Samudra berada di sisi Jingga. Terlihat wajah mereka yang tampak berseri. Yati mengeraskan urat di lehernya dan mengepalkan tangan melihat pria itu.

"Selamat malam, Bu. Maaf saya mengajak Jingga pergi tanpa izin Ibu. Saya terburu-buru dan... "

"Pria tak tahu adat! Lancang kamu membawa Jingga tanpa sepengetahuanku. Sampai selarut ini juga. Jangan kamu anggap aku bodoh dan tak berpendidikan sesuka hati kamu bersikap!" Yati berkata dengan perasaan menggebu yang membuatnya bernafas cepat dan mengetatkan rahang. Matanya juga melotot tajam. Akhirnya dia tak mampu menahan amarahnya.

Dua insan yang dimabuk cinta itu terkejut dengan wajah pias. Selain Samudra, baru kali ini dia melihat kemarahan sang ibu seumur hidupnya. Jingga merasa takut.

"Jingga, masuklah dan kau pemuda tak tahu adat. Pergilah!" perintah Yati sambil menunjuk pada Samudra yang tetap mencoba tegar.

...................................

Pagi kembali menjelang, para nelayan sudah pulang dengan kapal masing-masing. Membawa hasil tangkapan yang mungkin tak semua sama. Namun, senyum puas terlihat di wajah mereka. Begitulah warga kampung nelayan Longsari, selalu tabah dan ramah. Bagi mereka bersyukur adalah harta paling berharga. Sedangkan orang yang tingkat kemakmurannya di atas mereka lebih tak peduli.

Di tempat lain, tak jauh dari dermaga. Samudra meremas surat yang sudah dia baca. Tanpa perasaan dia membuang ke Gantar. "Sudah aku baca suratnya. Puas kamu?!"

Gantar tampak menjauhkan sedikit wajahnya seolah takut pada amukan Samudra. Bagaimana lagi? Dia juga tak tega pada si pengirim surat.

*****

Novel kolaborasi with Ardev92





Menanti SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang