Delapan

2.1K 174 14
                                    

Pria itu bisa bernafas lega saat mampu menghalau para wanita jalang yang menggodanya. Dia berniat akan mengunjungi rumah Jingga setelah mendapat kesempatan dekat dengan gadis itu. Kemarin adalah kencan pertama mereka.

Mungkin selanjutnya mengambil hati Ibunya Jingga. Menurut seorang yang pernah dia temui. Jingga hanya tinggal dengan ibunya, ayahnya sudah meninggal karena sakit.

"Ini rumah Jingga?" tanya Samudra dengan pandangan miris. Tak percaya jika gadis secantik dirinya memiliki rumah yang sangat berbanding terbalik dengan fisiknya. Jika boleh berkata jujur Samudra memiliki rumah yang lebih bagus di desanya. Jika dia tinggal di sana. Tak mampu dibayangkan akan jadi seperti apa.

"Ya, tuan. Ini sungguh rumah Neng Jingga, saya tidak berbohong." Si orang desa itu tampak takut terlebih melihat tubuh tinggi, tegap dan besar. Kalau marah pasti dirinya yang ringkih ini langsung terlempar jauh bukan cuma remuk.

Samudra tersenyum pada pria itu. "Baiklah, tidak usah takut seperti itu aku tidak akan menghajarmu." Dari sikap dan kelakuan si pria dia terlihat takut pada Samudra.

Si pria langsung menunduk dan permisi pergi. Samudra berjalan penuh percaya diri untuk mengetuk pintu dan menunjukkan citra yang baik.

.......................

Sepertinya semua tak terlalu berjalan mulus. Jingga memang sedikit terlihat luluh padanya. Ini sebuah kemajuan, batin Samudra.

Jingga mulai menunjukkan respon yang baik dengan menghidangkan teh hangat untuknya. Sedangkan ibu Jingga bernama Yati memandang menyelidik pria tampan itu dari atas ke bawah. Sikapnya juga dingin.

Jingga duduk di samping ibunya dalam hati bahagia. Karena Samudra sangat berani datang ke rumahnya. Itu sebuah itikad baik. Menurut warga di desa ini jika ada pria yang berani mendatangi rumah si gadis yang disukainya, lalu menemui orang tuanya. Itu sebuah keseriusan dan ketulusan untuk menjalin kasih atau ke pernikahan.

"Pekerjaanmu nahkoda?" tanya Yati tanpa memikirkan asas kesopanan. Baginya jika ada pria asing terlebih penampilannya mencolok patut dicurigai.

Samudra yang duduk di seberang berusaha bersikap sopan. Tersenyum sampai gigi kering atau menunduk. "Iya, Bu. Saya teman baru Jingga."

Yati memicing masih tak suka. "Kenapa kamu ingin berteman dengan anakku? Kalau saya lihat kamu bukan orang miskin seperti kami. Pekerjaanmu nahkoda, pakaianmu rapi, bagus dan tak berdebu. Berteman dengan anakku?" Yati menatap pria itu dengan intimidasi dan sedikit bernada tajam.

Samudra semakin kesal juga dengan pertanyaan menusuk ibu tua ini. Jika bukan karena Jingga malas rasanya bertemu dengannya. Namun, ini demi cintanya juga. Samudra berharap Tuhan memberikan kesabaran padanya agar bisa tahan menghadapi ibu tua ini.

Jingga langsung mengusap punggung ibunya. Menatap dengan pandangan lembut. "Bu, jangan seperti itu. Mas Samudra jadi takut," ucap pelan Jingga tapi masih bisa di dengar Samudra.

Mendengar Jingga memanggilnya "Mas" membuat hatinya berbunga-bunga. Rasanya perjuangannya akan berhasil. Diam-diam dua pasang manusia muda itu berpandangan dengan senyum. Berbeda saat pertemuan pertama mereka.

Yati menatap mereka berdua bergantian. Lalu memejamkan mata dan menghembuskan nafas kasar. "Ibu masuk ke kamar dulu, rasanya masih lelah sepanjang hari tadi mengurus ikan. Karena memang pekerjaan utama kami penjual ikan asin kecil-kecilan." Yati menekan nada ketus di kalimat terakhir. Membetulkan penutup kain di kepalanya. Lalu berdiri dan masuk ke dalam setelah menatap tajam Samudra yang sedikit ciut nyali lagi.

Tinggallah Jingga dan Samudra di ruang tamu sederhana itu. Saling berpandangan beberapa saat dengan perasaan beragam. Akhirnya Samudra sendiri yang memecah keheningan itu. "Baiklah, aku pulang dulu. Lagipula ini memang sudah malam wajar ibu kamu terlihat tak suka." Samudra berdiri dan tersenyum lembut pada Jingga.

Gadis itu merasa tak enak dengan berkali-kali menggaruk tengkuknya dan susah sekali berbicara. "Mas, maafkan ibuku," ucap Jingga tanpa tahu saat Samudra memunggunginya dia menyeringai.

Samudra hanya mengangguk lalu berjalan ke luar. Namun, Jingga tetap mengikutinya untuk mengantar pria yang perlahan menyentuh hatinya. "Mas, malam minggu besok jika kamu berkenan kita bisa pergi bersama lagi. Terima kasih atas kunjunganmu."

Samudra semakin diterpa kebahagiaan bertubi-tubi. Dia meraih tangan Jingga saat mereka sudah berada di luar halaman dengan bulan di langit malam jadi atapnya. "Aku ingin menunjukkan padamu bahwa aku tidak main-main. Mungkin kamu berpikir aku mesum tapi yakinlah aku sungguh mencintaimu dan cinta sungguh terasa saat denganmu," ujar Samudra menatap dalam pada Jingga lalu mencium punggung tangan gadis itu.

Mata indah Jingga ikut terpanah. Entaglah dari kencan pertama sampai saat ini pria itu menunjukkan perubahan yang lebih baik. Samudra menjadi lebih manusiawi. Memperlakukan seorang gadis dengan baik.

............................

"Aku tidak suka ibu seperti itu dengan  Samudra." Jingga berkata tegas keesokan paginya. Dan sang ibu tetap cekatan mencuci beberapa baju di belakang rumah.

Hanya suara kucekan baju juga pukulan ke papan cucian jawaban untuk anaknya. Wanita itu masih tekun mencuci dengan gesit. Dia sedih mendengar putri satu-satunya lebih membela pria asing yang belum tentu baik.

Jingga menggeram lalu duduk di bangku kecil samping ibunya. Dia ikut membantu mencuci. Sekesal apapun gadis itu tak mau jadi anak durhaka.

"Bukan maksud ibu bersikap tak ramah. Hanya ibu berfirasat dia bukan pria yang baik untukmu," jawab Yati akhirnya dengan pandangan kosong ke langit cerah. "Kamu harus lebih berhati-hati pada orang yang baru dikenal."

Jingga merengut kesal mendengarnya memandang ibunya ketus. "Ibu aku sudah besar bahkan usiaku cukup untuk menikah. Aku tahu mana yang baik dan tidak."

...............................

Gantar menatap lirih pada Samudra dengan sebuah surat ditangannya. "Bos yakin tidak mau balas suratnya?"

Samudra melirik sinis pada Gantar. Pasalnya dia sedang serius mengatur awak kapalnya untuk meletakan hasil melaut di gudang. "Aku sedang sibuk tak usah kau dan aku pikirkan tentang surat-surat itu dulu. Justru aku berterima kasih atas usulmu itu. Gajimu akan aku naikkan," ucap pria itu dengan senyum angkuh.

Tbc

*****

Novel kolaborasi Ardev92






Menanti SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang