□ Dor!

4.9K 462 20
                                    

Kaget nggak?

Hahaha, iya sori. Gue tau gue garing.

Oke, ini bukan Kayra. Dan bukan Chewrybam juga. Tebak, siapa?

Iya bener.

Gue Doyoung. Di sini gue minjem lapak, mau bagi-bagi soal perasaan gue ke kalian. Biar kalian nggak main ngata-ngatain gue meski gue emang bodoh sih.

Gue udah kenal Kayra dari jaman Kerajaan Majapahit masih berjaya. Nggak, deng. Waktu itu Kayra Lim hadir di kehidupan gue pertama kali sebagai murid baru di sekolah dasar tempat gue belajar dulu. Kayra nggak punya temen, soalnya bahasa indonesia Kayra nggak lancar kayak anak-anak lain. Maklum, dia pindah dari Manchester dan waktu itu kita masih kelas 4. Kayra perkenalan pakai bahasa inggris, soalnya kata Bu Guru dia pernah tinggal di Indonesia waktu masih bayi, dan cuma beberapa bulan.

Gue waktu itu iseng aja nyamperin dia di lobi sekolah waktu sekolah dipulangkan lebih cepat. Anak-anak lain udah pulang karena udah dijemput, sedangkan gue belum dan sepertinya Kayra juga sama. Gue waktu itu ngerasa kasihan karena dia murung banget. Udah sebulan dia masih belum dapet temen.

"Belum dijemput?" Tanya gue sambil duduk di sebelah dia. Mukanya waktu kaget lucu banget, gue masih inget sampai sekarang.

"I forgot to tell my mom about the announㅡ"

"Please speak Indonesia, I'm not understand. You can speak a little." Dan sampai sekarang gue masih ngetawain skill bahasa inggris gue yang kemajuannya cuma dikit.

"Aku lupa to told mama that kita pulang cepat," wajah Kayra semakin murung. "The paper masih ada in my bag."

"Nggak apa-apa. Nanti aku bilang mama aku buat anter kamu pulant juga." Gila, gue waktu kecil udah gentle kan?

"Is that okay?"

"Nggak apa-apa. Aku juga lupa bilang mama, tapi barusan aku minta Bu Guru buat telepon mama. Kamu mau telepon mama kamu juga?"

"Aku... not remember, nggak tahu nomor mama." Kayra kecil lucu banget serius. Tapi gue juga masih kecil, dan gue juga lucu. Nggak. Maksud gue, ngapain sih masih kecil udah suka-sukaan?

Pada akhirnya, Kayra ikut gue pulang bareng mama. Tahu nggak, ternyata rumah Kayra berada di sebelah rumah gue. Rupanya tetangga baru yang cukup sering dibicarakan sama mama dan papa adalah keluarga Kayra. Gila, apakah dari kecil emang udah diberi kode oleh Tuhan kalau gue terlahir untuk Kayra dan Kayra terlahir untuk gue?

Om Aaron dan Tante Hanna, orangtua Kayra, cukup baik dengan gue. Begitu juga sebaliknya. Keluarga kami cukup sering mengadakan makan malam bersama di restoran, sekaligus membangun relasi perusahaan yang kebetulan cukup masuk akal untuk bekerjasama. Bahkan menurut kakak gue, hubungan ini sangat-sangat simbiosis mutualisme.

Lagi, gue dan Kayra seperti sudah ditakdirkan bersatu, kan?



Kami tumbuh berdua bersama. Ah, nggak. Kakak gue, Gongmyung, juga ikut kemanapun gue dan Kayra pergi. Alesannya satu sih, dia nggak punya temen rumah. Temen sekolah sih banyak, terlihat dari dia yang bakal ngacangin gue dan Kayra kalo udah menyangkut tentang hal-hal yang berbau sekolah. Dia cukup pintar dan bisa dikatakan social butterfly. Makanya, sebenarnya bisa aja ia punya temen rumah. Tapi sayangnya, tidak ada anak yang sebaya dengannya. Bahkan yang sebaya gue dan Kayra pun nggak ada.

Oh, jangan lupakan Chenle yang datang ketika kami menginjak kelas sebelas SMA. Suasana di kediaman meluarga Kayra pada saat itu mendadak mencekam. Gue yang waktu itu sedang bermain lego sama Kayra di kamar harus pulang karena merasa sungkan berlama-lama disana. Pasalnya, tiba-tiba saja datang keluarga kecil dari China dengan tergesa-gesa dan panik setengah mati. Anak laki-laki yang mereka bawa menangis pelan karena ketakutan. Dia Chenle.

Gue baru berani main ke rumah Kayra lagi setelah sekitar lima hari. Kayra menceritakan apa yang tengah menimpa keluarga Chenle. Gue cukup terkejutㅡah, sangat terkejut malahㅡkarena Chenle mau diculik. Jadi langsung berasa terlibat di film mafia-mafia. Tapi gue jadi pemeran pembantu.





Kalian pasti bertanya-tanya, apa gue tahu kalau Kayra suka sama gue atau nggak. Jawabannya, nggak. Gue cuma dengar rumor tentang itu, tapi gue nggak percaya. Gue nggak mau ge-er, karena yang ada gue juga yang sakit. Hahaha, emang nggak mau rugi.

Jujur aja, bohong kalau gue nggak mau hubungan gue sama Kayra lebih dari sahabat. Tapi, gimana ya? Gue masih terlalu pengecut buat ngehadapin fakta nantinya Kayra bakalan bisa pergi dari gue. Dan dilihat-lihat lagi, perlakuan Kayra ke gua seperti biasa aja. Berbagai cara udah gue coba buat bikin Kayra salting, tapi dia keliatan biasa aja. Gue waktu itu konsultasi sama Kun, temen cowok yang paling deket sama gue. Katanya, kalau Kayra salting, ada kemungkinan dia punya perasaan yang sama kayak gue.

Tapi nyatanya nggak. Ditambah, ada adik kelas ganteng yang tiba-tiba hadir di sekitar Kayra. Namanya Lee Jeno. Sialnya, dia bisa langsung akrab sama Chenle yang anaknya tuh nggak bisa akrab sama orang baru. Apalagi dia beneran nggak tahu apa-apa kan di Surabaya. Gue makin mundur waktu gue liat, pipi Kayra merah setelah Jeno ngajak dia jenguk Kakaknya yang baru ngelahirin. Padahal, apa spesialnya sampai Kayra harus bersemu gitu?

Udah deh. Fix. Kayra naksir Jeno, bukannya gue. Tapi bukan berarti gue nyerah gitu aja.

Terbukti, tiba-tiba muncul jarak di antara Kayra dan Jeno. Samar, tapi gue bisa ngerasain. Tapi bukannya senang, gue malah bingung. Gue... harus nembak dia biar nggak diambil orang lain? Tapi gue nggak mau kalau kita jadian. Soalnya, kalau pacaran itu kan putusnya antara pernikahan atau perpisahan.

Ya Tuhan. Jujur gue geli ngetik bagian itu.





Oke, balik lagi.

Karena gue merasa gue nggak bisa bertahan di zona aneh kayak gini, gue mutusin buat coba suka sama orang lain selain Kayra. Bukannya pengecut, tapi posisi ini benar-benar merugikan gue dan Kayra. Menurut gue. Karena dengan posisi gue yang pengen dia jadi milik gue, itu bisa bikin dia tertekan kalau sampai dia tahu. Siapa tahu, dia naksir orang lain, kan? Makanya. Dengan gue suka sama orang lain, gue harap Kayra juga bisa bareng sama cowok yang dia sukain itu.




Waktu lulus SMA, gue malah semakin bucin. Kayra mau ambil Farmasi di kampus ternama yang ada di Jakarta. Gue yang waktu itu udah daftar di universitas swasta ternama di Surabaya panik dong. Mana yang Kayra mau tuh perguruan tinggi negeri. Gue belum tentu bisa dapet. Tapi kalau dapet, habis deh tuh duit nyokap gue. Nekat, gue coba bilang sama nyokap.

"Aku mau coba ke UI." Nyokap langsung kaget waktu denger gue ngomong gitu.

"ASTAGA? Yang bener, Doy?" Bunda natap gue berbinar-binar nggak percaya. "Hm, SBM dan Simak ya? Bunda panggil tutor ya sekarang."

Nyokap beneran manggilin tutor private.

Kayra nggak kalah kaget waktu gue bilang mau ikut coba ke UI. Gadis gue ini berkaca-kaca bahagia terus meluk gue. Padahal gue kan belum tentu keterima juga. Ah, iya. Gue baru inget. Setelah gue bilang mau cobain ke UI juga, dia jadi lebih berseri sekarang. Sebelumnya dia murung terus. Gue boleh ge-er kan, kalau dia seneng gue ikut ke UI juga? Hahaha, soalnya gue ge-er waktu itu.

Singkatnya, gue dan Kayra sama-sama lolos SBM dan kita jadi mahasiswa di universitas yang sama. Gue merasa semesta memang sengaja menyatukan gue sama Kayra. Lucu banget, bahkan orangtua kita mencarikan kost yang jaraknya tidak berjauhan dan menitipkan pesan khusus bahwa Kayra atau gue bebas berkunjung. Untungnya, para Ibu Kost bisa mengizinkan. Semesta sengaja menyatukan gue sama Kayra lagi.







Nah, sampai sini kalian pasti menyimpulkan gue suka sama Kayra, kan? Bener. Kalian bener banget.

Ada yang masih mengganggu pikiran kalian tentang gue? Coba komen deh. Gue bakal coba jawab dan ceritain alasannya.

ㅡdoyoung kim

Yes, Doyoung [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang