Ribut?

5.3K 793 146
                                    

Semenjak kejadian Mark memberitahu bahwa Sandra pergi dengan orang lain ke Faunaland, Doyoung terlihat uring-uringan. Termasuk waktu kita menginap di hotel tempat Chenle singgah. Biasanya, dia senang banget kalau udah liat kolam renang. Tapi kali ini, cowok itu diam seribu bahasa. Bahkan waktu kita sudah sampai di kost gue pun cowok itu masih terdiam. Gue mengusap wajah pelan.

"Lo masih kepikiran Sandra?" Gue menatap Doyoung yang duduk di balik kemudi. Bahkan ketika kita pulang pun Doyoung masih terlihat gusar.

"Kay, Bali yuk?" Doyoung malah berucap random membuat gue memutar mata malas.

"I was talking about what's on your mind."

"Yang ada di pikiran gue ya Bali." Kilah Doyoung.

"Doye, serius!"

"Kenapa, sih?" Doyoung tiba-tiba menatap gue.

"Ya, kalau lo kepikiran, selesai-in." Jawab gue.

"We're done. Dan lo bukannya udah tahu?"

"Gue kira cuma nyaris?" Gue mengerutkan dahi samar. "Lo serius ngelepas Sandra gitu aja?"

"Lo tahu perasaan gue buat siapa." Balasan Doyoung bikin gue kaget, dan gue yakin pipi gue sudah memerah sekarang, soalnya gue merasa temperatur di pipi naik.

Gue tentu saja teringat obrolan dengan Doyoung tempo hari, dimana Doyoung meminta maaf kalau sepertinya ia sayang sama gue lebih dari sahabat.

Tapi gue masih nggak mau ge-er. Gue berdeham kecil dan bertanya, "lo punya gebetan baru?"

Doyoung mengangguk sebagai jawaban. Kan. Gue cuma bisa tersenyum tipis menahan pahitnya kenyataan. Doyoung ternyata emang nggak seserius itu ketika meminta maaf karena sudah menyimpan rasa lebih. Gue tertawa dalam hati. Kayaknya gue nggak akan pernah dilihat sebagai perempuan oleh Doyoung.

"Entah dia mau atau nggak," Doyoung buka suara. "Namanya Diandra."

Hening. Gue terlalu sakit buat ngerespon. Gue terlalu kaget.

"Lo gimana? Terakhir lo punya gebetan kan yang waktu lo nangis di cafe, yang gue berantem sama Mark. Sialan. Malu banget gue waktu itu. Ternyata si Mark malah nolongin lo." Doyoung menyugar rambutnya.

"Nggak," gue menggeleng. "Gue masih trauma."

"Mark butuh orang lain juga. Kalau lo nggak mau sama Mark, ya cari cowok lain," Doyoung mengusap puncak kepala gue. "Lo nunggu siapa sih? Kalau lo ada cowok yang lo tunggu, kenapa nggak pernah bilang gue?"

Gue nunggu lo, bego.

"Udah lah," gue menjauhkan tangan Doyoung dari kepala. "Gue sendiri aja nyaman kok."

"Tapi lo nggak ngerasa kalau lo bisa aja ngeganggu Mark buat jadian sama orang lain? Maksud gue, lo kemaren liat kan, Mark ngantre sama cewek? Lo tahu kalau itu gebetannya?"

Hah?

Maksudnya gimana?

Apa Doyoung bilang gitu itu karena khawatir dengan Mark, atau cowok itu sebenarnya jenuh juga karena hubungannya selalu berakhir dengan diminta untuk memilih pacarnya atau gue? Sori, tapi gue sedikit tersinggung jika Doyoung mempunyai niat gitu. Kenapa nggak bilang langsung aja? Maksudnya, hubungan gue dan Mark itu kan, bukan urusan Doyoung. Gue malah sibuk ngenalin Mark ke temen gue dan berakhir Mark yang menjauh. Katanya sih, belum ada yang memenuhi tipenya.

"Doye," panggil gue. "Kalau lo capek karena hubungan lo selalu berakhir dengan disuruh milih antara gue atau pacar lo, kenapa lo nggak pilih pacar lo aja? Gue maklum kok."

"Lo ngomong apa sih?" Doyoung mengernyit bingung. Gue sekarang berusaha mati-matian biar nggak terisak atau meneteskan air mata.

"Nggak usah pura-pura nggak ngerti," gue tersenyum kecil. "Bilang, Doyoung. Atau gue yang harus ngejauh?"

Yes, Doyoung [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang