Chap 8 ••Sebuah Janji••

68 27 4
                                    

Kenapa tetap diam?
Sedangkan kamu tahu jika dia bermain cinta dengan yang lain saat tak bersamamu.
Sebegitu besarnya kah cintamu untuk dia? Hingga untuk mengucap kecewa saja kamu tak bisa.
Takut jika akan membuat pertengkaran baru,takut jika nanti hanya akan membuat dia pergi...

-Cethar

❇❇❇❇❇❇❇❇❇❇❇❇❇❇❇❇❇❇❇❇

"Woyy.. Gak denger apa suara klakson mobil di belakang?!"

Farel tertegun mendengar suara laki laki disebelahnya. Ia mengerjapkan mata nya beberapa kali setelah tersadar dari lamunan panjangnya.

"Lampu nya udah hijau cepetan jalan"

Sungguh Farel tengah berusaha berbaik hati hari ini. Namun ocehan Ardhan sangat berhasil menghancur lebur kan pondasi kesabaran yang sedang dibangunnya saat ini.

"Iyaa tau sabar dikit napa"

Dengan malas Farel mengambil alih kemudi lalu menjalankan Mobil Lexus nya perlahan. Melintasi jalanan pusat kota yang tak terlalu padat mengingat hari ini adalah hari libur. Mata nya nampak fokus menyetir dengan kecepatan sedang, meskipun sebenarnya ia sama sekali tak bisa fokus.

Farel sangat sadar siapa dirinya, ia adalah orang nomor dua di sekolah kebanggannya. Segala kepentingan yang diurus Ketua juga akan menjadi tanggung jawab penuh darinya . Namun tidak bisakah urusan itu ditunda? Atau setidaknya diurus ketika hari sekolah saja? Jangan menyita waktu hari liburnyaa.. Apalagi sekarang Farel seolah menjelma menjadi supir pribadi Tuan muda Ardhan.

"Kenapa sih rel?"

Tanya Ardhan pada Partner Osis sekaligus Sahabat dekatnya ini.

"Bisa gak si urusan ini ditunda dulu pas sekolah entar? SMA Garuda juga gak minta berkas nya buru buru kok. Ngapain kita capek-capek kesana"

Bukannya mengeluh atau apa, tapi Farel hanya ingin memanfaatkan hari libur yang tidak lama ini dengan sebaik baiknya. Semenjak di lantik menjadi Wakil Ketua, Farel menjadi sangat sibuk di sekolah ataupun dirumahnya. Jam Tidur pun menjadi sangat berkurang karena kesibukannya di Organisasi.

Ditambah lagi ia dibuat pusing karena harus menyeimbangkan jadwal belajar dikelas dan jadwal kegiatan ekstra. Ada beberapa pelajaran yang membuat Farel tertinggal jauh dari teman temannya. Alhasil peringkat laki laki itu pun jatuh cukup jauh.

Ya jatuh

Sama seperti hatinya sekarang jatuh.

"Gak bisa rel.. Lebih cepat lebih baik. Lagian kan kita cuma nganterin berkas doang abis itu balik kerumah. Beres"

"Iya iya terserah"
Ujar Farel tidak ingin berdebat lebih panjang dan membuat perjalanan ini dua kali lebih lama dibanding seharusnya.

***

Semilir angin di pagi hari nampak begitu menyejukkan dan menentramkan hati.. Langit biru serta awan yang begitu tenang begitu memanjakan mata setiap orang yang melihat.

Meskipun hari libur, tak menutup kemungkinan orang orang akan menghabiskan waktunya untuk berjalan-jalan keluar.

Sama halnya yang dilakukan Saira.

Langkah kaki nya begitu semangat melintasi jalan setapak yang dikelilingi rumput-rumput hijau. Rambut nya yang di kuncir kuda terlihat melambai karena gerakannya yang lincah.

Kini dirinya sudah sampai di suatu tempat yang selalu ia kunjungi sedari dulu. Sama seperti hari-hari sebelumnya, selalu ada buket bunga lili di tangannya.

"Assalamualaikum Pa.. "
Ucap Saira memandang gundukan tanah yang kini sudah tumbuh rumput hijau diatasnya.

Serta batu nisan yang bertuliskan
Ritama Agustion. Sekaligus rumah peristirahatan terakhir almarhum papa nya.

"Hari ini Saira bawa bunga kesukaan papa.. Papa pasti bahagia kan?"
Gumam gadis itu sambil menaruh buket bunga diatas makam tersebut.

Menampilkan senyum paling cantik agar papa nya tahu bahwa ia baik-baik saja. Meski tak bisa dipungkiri rasa kesepian karena di tinggalkan itu menyakitkan.

Setidaknya sekarang Saira sudah besar.. Bukan lagi anak kecil yang dulu menangis tiada henti dan sama sekali tak ingin beranjak dari makam sejak pertama kali papa nya pergi untuk selamanya.

Tanpa sadar satu bulir air mata nya menetes, dengan cepat saira langsung menghapus dengan tangannya. Tidak boleh ada air mata di pemakaman.

"Saira gak nangis pa.. Saira cuma kangen papa dirumah itu aja.. Papa pasti udah bahagia sekarang jadi saira gak perlu sedih lagi"

Perempuan itu hebat..ketika ia lemah saat itu juga dia bisa menjadi kuat secara bersamaan. Rasa sakit dan air mata yang seharusnya keluar bisa ia ganti dengan senyum tulus yang menenangkan.

Segera pada saat itu juga saira berdoa. Ia memejamkan mata nya dan berdoa dengan hati yang begitu dalam. Segala doa begitu nyata tulus tanpa kepalsuan untuk papa nya. Ritama beruntung memiliki putri yang selalu mendoakannya setiap hari seperti Saira.

Beberapa menit kemudian gadis itu selesai berdoa kemudian tersenyum mengelus batu nisan didepannya.

"Sairaa.. Papa bawa kue coklat kesukaan putri papa.."

Dengan mata yang berbinar saira kecil berlari kearah Ritama yang baru saja pulang dari kantor.

"Horee! Punya saira yang paling gede ya paa?"

Sambil tersenyum Ritama langsung menggendong putri kecilnya kemudian berkata.

"Iya dong.. Papa belikan yang paling spesial untuk putri kesayangan papa"

Saira menunduk ketika bayangan itu muncul di kepalanya. Ia masih ingat betul betapa laki-laki paruh baya itu menyayanginya dan selalu menjaga nya. Hal yang sama dirasakan oleh seluruh anak perempuan atas kasih sayang dari seorang papa.

Bagaikan memiliki perasaan yang sama dengan saira. Langit berubah menjadi awan mendung dengan gemuruh yang berbunyi kencang.

Seraya ikut menangis kini langit menumpahkan seluruh air matanya. Hujan turun begitu deras membasahi bumi. Deras nya air hujan tak membuat gadis itu bergeser dari tempatnya.. Saira tetap duduk diam meski kini seluruh tubuhnya telah basah oleh air hujan.

"Pa.. Papa.."

Hilang sudah segala pertahanan saira. Dia tak bisa menjadi seorang gadis yang terlihat baik-baik saja padahal saat ini remuk hancur di dalam hatinya. Biarlah hari ini Saira menangis, karena hujan akan menghapus jejak air matanya.

"Andai papa masih hidup, Sa.. Saira pasti lebih bahagia. Gak ada lagi.. Laki-laki yang bisa menjaga Saira sebaik papa..."

Air mata itu dengan deras turun membasahi pipinya. Hanya isakan kecil yang keluar dari sudut bibir nya. Hawa dingin segera menyelimuti tubuhnya. Saira lantas memeluk kedua lutut nya sambil menangis.

"Siapa bilang gak ada? Aku bisa jaga kamu sebaik Om Ritama"

Bagai di sambar kilatan petir. Suara itu menghentikan tangisannya. Masih dibawah derasnya hujan.. Saira melihat sendiri kini disebelahnya berdiri laki-laki yang sangat ia kenal.

Kondisi nya juga tak jauh beda dengan saira. Ujung rambut laki-laki itu selalu meneteskan air hujan yang tak kunjung berhenti sejak tadi. Kuku jari laki-laki itu memutih karena sedari tadi mengepal kuat genggaman tangannya.

Menandakan ia tengah menahan amarah.

"Ka.. Kamu.."















































CHANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang