Belajar memaafkan.

47 10 3
                                    

;✧

Agustus 2017

Jam menunjukkan pukul 9.30 pagi, dan tak lama kemudian bel pusat sekolah berbunyi menandakan waktu istirahat pertama. Tapi gue masih sibuk berkutat dengan materi perbandingan zat kimia yang masih terasa hangat karena baru 5 menit yang lalu berakhir mata pelajarannya.

"Arfa, ke kantin gak?" tanya Lua mengagetkanku. Tampaknya aku terlalu fokus dengan pelajaran.

"Iya nanti."

"Apa mau nitip aja?"

"Enggak Lua makasiiih. Nanti aku ke kantin beneran."

"Ya udah. Jangan belajar terus! Makan! Nanti kamu sakit Arfa."

Gue udah pernah bilang belum sih kalo Lua itu saking ayunya, level perhatian ke temennya sampe ke tahap ini.

Setelah Lua yakin meninggalkan gue di kelas sendiri, gue langsung melanjutkan materi tadi. Gue kini jauh lebih ambis dari sebelumnya karena kini gue sudah menduduki kelas 12. Heran gak sih? Gue biasanya ambis sekarang lebih ambis. Gak aneh sih kalo Lua sampe khawatir gitu. Oh ya, gue masih berada di kelas yang sama, IPA 1. Dan lagi-lagi, gue sekelas dengan Lua, Mark, Renjun, dan Yoonbin walaupun sisanya adalah hasil acak siswa dari kelas sebelah waktu di tahun kedua.

Perihal Jihoon, entahlah. Gue belum bertemu dia hari ini. Tadi pagi gue berangkat bareng Yoshi, karena posisinya gue lagi nginep di rumah Eunbin. Gue kangen banget sama Eunbin. Kangen curhat sama dia. Kangen ngobrol sama dia. Sebenernya bisa aja Eunbin yang anter gue, tapi katanya SIM dia belum keluar. Jadi dia gak boleh bawa motor sama orang tuanya. Eunbin nganterin gue sampe rumah Yoshi yang ternyata cuma beda satu gang sama dia.

"Terus lo gimana kalo gue sama Yoshi?"

"Gue ada janji sama Baejin," jawabnya sambil berbisik pelan ke gue. Gue memberi tatapan curiga ke Eunbin karena memang gue tau akhir-akhir ini mereka dekat.

Ah betul. Rasanya aku mau sekelas lagi sama Eunbin. Semuanya terasa jauh lebih berwarna. Karena Eunbin yang berisik, gue yang gak berisik.

"Arfaaa!"

Baru aja gue pikirin, dateng si empu. Iya. Eunbin dateng ke kelas yang entah ngapain.

"Arfa mau sampe kapan lo ambis begini?!"

"Sampe gue keterima di ITB."

"Ya ampun Arfa. Percuma kalo nanti lo keterima di ITB tapi udahannya lo mati!"

"Bin kok lo jahat banget sama gue?!" Gue menengok sinis ke Eunbin. Gila aja dia perbandingan belajar ke mati itu jauh.

"Fa. Gue mau lo makan sekarang ke kantin bareng gue. GUE GAK TERIMA PENOLAKAN!"

"Gila lo ya? Mentang-mentang sekarang sekelas lagi sama Aiur lo jadi ketularan maksanya dia."

"Yeee ngapa jadi pacar lo sih? Cepetan."

Sebenernya ada alasan lain kenapa gue males banget ke kantin. Gue masih males ketemu perempuan bernama Nada. Maaf, bukan gue pendendam. Tapi gue trauma. Gue gak pernah nampar seseorang sebelumnya. Bahkan gue gak pernah diajarin untuk sekasar itu sama orang tua gue. Bayangan diri gue yang menampar Nada sore itu di rumah Jaehyuk selalu terpatri jelas setiap gue bertemu sosoknya. Membuat gue enggan hanya untuk saling tatap.

"Gue masih belajar. Gak liat Bin?"

"Ayo lah Fa. Gue tau kok lo gak seheboh ini kalo belajar. Gue tau lo pinter Fa. Lo baca sedetik juga langsung paham yakin gue. Makan sebentar ajaaa."

No ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang