13. Bapak Telepon?

15.3K 1.2K 15
                                    

Dari mata turun ke kebetulan!


Setelah dinyatakan bisa rawat jalan, Abi akhirnya diizinkan pulang. Aku dan Mbak Ana yang paling sibuk mengurusi surat kepulangannya sehingga kami baru bisa sampai rumah siang hari setelah semua urusan selesai.

Meskipun sudah diizinkan pulang, Abi tidak terlihat sembuh total sebab sepanjang perjalanan tadi ia lebih banyak diam. Wajahnya juga masih pucat.

"Ki, tolong bantuin Abi masuk dulu," pinta Mbak Ana. Ia lalu keluar dan membawa barang-barang di bagai masuk ke rumah.

Aku membantu Abi yang terlihat ogah-ogahan masuk rumah. Dari kacamataku, ia sepertinya masih lemaa terlebih di rumah sakit hanya makan infus dan buah-buahan saja.

"Pelan-pelan," kataku.

Aku memapah Abi masuk rumah. Meskipun ia terlihat memiliki badan kurus, tapi kalau Abi sepenuhnya menumpukan beban badannya pada tubuhku, sama saja terasa berat. Aku sampai harus mengatur napasku yang ngos-nggosan.

"Habis ini banyakin makan Bi, udah nggak pakai infus lagi," ingatku padanya.

Dengan sisa tenaganya, Abi mengangguk. "Iya Mbak."

"Masih lemes ya?"

Aku membuka pintu kamar Abi dan memapahnya masuk. Kududukkan tubuhnya pelan-pelan di atas ranjang.

"Iya, habis di lepas infus langsung lemes."

Aku ngekek. "Jelaslah."

Ia langsung menjatuhkan tubuhnya, berbaring di atas ranjang. Wajahnya makin pucat dan sayu. Keringat memenuhi keningnya Aku jadi tidak tega melihatnya.

"Mau diambilin apa?" tawarku.

Kunaikkan kaki Abi yang tadinya menggantung.

"Belum ada."

"Makan ya?" tawarku lagi.

Perutnya harus diisi makanab supaya bertenaga.

"Makan apa? Semua makanan rasanya nggak enak," cicitnya.

Aku paham perutnya pasti masih kurang enak barang di masukin makanan berat.

"Mbak bikinin bubur mau?"

Ia mengangguk. Lengannya tergerak menutup matanya. "Boleh deh."

"Okay, istirahat dulu nanti kalau sudah jadi langsung Mbak antar ke sini."

Aku tidak mendengar jawabannya tapi cukup dengan tidak ada penolakkan darinya tandanya ia mau.

Aku mengambil selimut di almari lalu menyelimuti tubuh Abi. Badannya memang berkeringat tapi kalau di sentuh dingin.

"Tunggu sebentar ya," kataku sebelum menutup pintu kamar.

Di dapur aku menemukan Mbak Ana yang sedang membongkar isi tasnya.

"Cari apa Mbak?"

"Obatnya Abi dimana ya Ki?" tanyanya tanpa berpaling dari tasnya

"Di tasnya Abi kan Mbak."

Mbak Ana berdecak. "Oh iya, Mbak lupa! Pantas saja nggak ada di sini."

Aku terkekeh.

"Oh ya Mbak, karung berasnya dimana?"

Mbak Ana mengernyit. "Buat apa?"

"Bikin bubur buat Abi."

"Beli aja Ki."

"Nggak Mbak. Orang aku bisa bikin juga. Lagian sehat bikin sendiri."

Mbak Ana mendekat padaku. Ada gurat lelah dari pancaran wajahnya. Aku tahu, perempuan ini pasti belum tidur.

KIRANA ANAK MAGANG | TAMAT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang