9. Pillow talk.

408 51 8
                                    

"Apa yang harus kulakukan saat kau tak ada?"

"Yang biasa kau lakukan ketika aku tak ada."

"Um ... masak?"

"Iya."

"Bosan. Makannya sendirian."

"Ajak Jimin."

"Ia pergi ke New York, sampai akhir tahun."

"Kuliahmu?"

"Libur, 'kan. Lupa, ya?"

"Maaf, sayang. Kita sama-sama dirundung kesibukan akhir-akhir ini. Konsentrasiku sedikit rancu."

"Makanya. Aku sudah libur malah giliranmu yang pergi. Ini tidak adil, daddy. Padahal akhirnya, bisa peluk-pelukan begini yang tidak pakai begituan dulu .... "

"Kenapa? Besok aku tidak di sini memelukmu, loh."

"Iya, memeluk. Bukan menindih, daddy. Sampai pagi terus begini saja, ya? Aku rindu sekali. Kalau bisa tidak usah pergi sekalian. 'Kan bos."

"Itu masalahnya. Memang aku hanya angkat-angkat kaki di kantor?"

"Menurutku iya."

"Baby ... sekali-sekali kau harus berpikir dewasa. Kau sengaja polos begini, 'kan? Supaya aku tambah susah berangkat besok."

"Pastinya!"

"Kalau begitu, kita pelukannya lebih mesra lagi. Ya harus sampai menindih, supa—"

"Tidak mau! Sekali saja bermesraan tanpa berakhir pinggang dan bokongku sakit, boleh dong. Aku mau seperti pasangan lain yang cuma pelukan begini, daddy ...."

"Iya, sekarang lagi pelukan, 'kan?"

"Tapi, tadi mau lebih!"

"Kau tak mau?"

"Tidak."

"Yakin?"

"Iyaaa."

"Biarpun aku melakukan ini?"

"Daddy! Jangan rusak suasana, dong! Henti—daddy sudah! Geli! Tid—berhenti! Kutendang, ya!"

"Oh? Kenapa mukamu merah kalau begitu?"

"I-itu karena terlalu dek—daddy, jangan! Tidak mau, kubilang!"

"Sekali saja, sayang. Besok aku tak bisa melakukannya lagi."

"Daddy ... kau benar-benar pria mesum!"

"Dan, kau menyukaiku."

"Siapa bilang?"

"Oh? Sebentar. Dulu, ada bocah tanggung yang mengejarku dan dengan polosnya setuju walau marah-marah untuk jadi anak sewaan, yang malah mau lebih lama karena katanya kasihan padaku yang kesepian dan mau jadi pendamping tanpa peduli nanti aku miskin karena jatuh cinta sejak kuberi pelukan di bawah hujan dan—"

"Cukup! Iya, aku tahu siapa itu dan berhentilah sok dramatis, tuan. Ya, ampun ... suka sekali mempermalukanku, sih? Apa dendam kemarin karena tidak kuterima kencannya masih membekas?"

"Tidak juga."

"Terus? Kenapa memaksa pakai mengejekku segala? Aku cuma mau bermesraan biasa saja, daddy ...."

"Iya, iya. Aku tidak mengejekmu, tahu. Hanya suka kalau kau merona begini. Imut sekali wajah pangeranku yang biasa culas nan sombong itu. Jadi, tambah susah melepasmu."

"Kalau begitu, bilang saja mendadak demam tinggi."

"Jangan bercanda soal kesehatan. Aku benaran bukan muda lagi, sayang."

"Sehat, kok. Olah raga tiap hari, 'kan?"

"Mana sempat? Lebih banyak sama kertas dan komputer dari—"

"'Kan olah raganya denganku. Di sini."

"Sekarang kalau begitu."

"Cuma sebentar, 'kan? Tadi bilangnya  ...."

"Setuju."

" .... "

"Tapi, kalau sampai minta lebih—"

"Dua."

"Tiga."

"Dua! Tanpa pengaman atau tidak sama sekali?"

"Genapkan lima dan besok sarapan aku yang buat karena jadwal penerbangan diatur ulang sampai kau bangun dan mengantarku, bagaimana?"

"Kurang. Lima dan bawa pulang turkish delight yang banyak untukku."

"Kau bercanda? Itu sangat mudah, sayang."

"Sepakat! Tapi ... mainnya pakai jeda, 'kan?"

"Baby ... kau tahu aku dengan baik. Jadi ...."

"P-pelan-pelan, daddy! Ini piyama kesukaan!"

"Kubelikan satu lemari nanti."

"Jangan dirobek!"

*** *
;'))

Your Prompts | Vottom ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang