Kakek Biang Keladi Perusak Kenikmatan

38 3 5
                                    


Namaku Riyan, hidup sebatangkara di tengah situasi carut-marutnya manusia yang teramat kacau. Dunia didominasi oleh manusia-manusia yang bisa dikatakan hilang akal sehat dan nuraninya. Dan bahkan sistim keTuhan, keagamaan telah tersingkir, serta dianggap sebagai kelompok extrimis. Iya, seakan semua telah hilang.

Di dunia yang hanya beberapa yang masih memiliki belas kasih. Atau mungkin, hanya pada pengendalian secara teroganisir tertutup.

Liteatur kehidupan hanya pada satu titik temu, yaitu saling curiga. Dan kebijakan-kebijakan nyeleneh menjadi jalan aman.

Berawal dari kompetisi politik yang disuguhkan dengan drama yang sebetulnya dengan akting yang kaku. Namun, karena temperamen, ego, dan kebutaan sosial membuat itu menjadi seolah buah karya yang nyata.

Dan lagi, saat 3 tahun lalu dengan apa yang terjadi di hidupku, mulai merubah kehidupanku seperti saat ini. Iya, saat pada malam hari 3 tahun lalu, dengan kejadian-kejadian dramatisnya. Meski hanya sedikit sih perubahanya. Namun itu, membuatku masih membingungkan kejadian itu hingga saat ini.

*******

Flash Back

"Nak mau kemana?" Tetiba Ucap
seorang kakek yang baru saja ku lewati.

Tanpa perintah langkah kakiku terhenti lalu tubuhku menghadapnya. Tertankap dengan jelas sosoknya, tua renta yang bungkuk dengan tongkat kayu ditangannya serta peci putih, kaos oblong, dan celana lusuh yang ia kenakan.

"Mau kemana tengah malam begini?" Tanyanya lagi.

"Hanya lewat saja." Balasku singkat dengan mengoyak sosoknya.

Ia nampak tersenyum. Senyuman yang membuat bulu kuduku berdiri tegak seakan sedang upacara bendera.

"Ada apa kek?" Tanyaku sopan.

Kini matanya terlihat lebih tajam, seakan siap menguliti tubuhku. Entah seperti memikirkan sesuatu.

"Tidak ada apa-apa," ia merogoh saku celananya, "tapi tolong simpan batu ini untukku." Tambahnya menyodorkan batu berwarna hijau.

Batu hijau yang seperti batu akik atau apalah itu, ku tak tau tentang jenis bebatuan. Namun, terasa sekali ada gelombang-gelombang elektromagnetik pada batu itu. Sesekali seperti bercahaya.

"Untuk apa?" Ku tatap ia tajam, karena jelas selintas terlihat ada muslihat sesat darinya.

Ia hanya tersenyum dan malah semakin mendekatkan batu itu. Terpaksa saja kuambil, daripada tak enak padanya. Jika ada hal aneh tinggal buang saja, kan beres.

Takku lepaskan pandanganku ke batu hijau yang kini di tanganku ini. Terasa ada hal yang seakan menariku.

"Untuk apa me-" Bicaraku terpotong, melihat kakek itu tak ditempatnya.

"Kemana kakek itu?" Dia hilang tanpa jejak dan bekas, bahkan baunya. Hanya tersisa citra garis zebra cross yang tertuju pandanganku.

"Kesendirian adalah temanku. Tidak ada rasa sepi, hanya kekosongan yang tertahan. Lebih baik begini, tak perlu mencari-cari sesuatu yang tidak ada." Kataku pada bayanganku pada cermin di lemariku.

Entah rasanya berbincang pada diri sendiri melalui cermin terasa nyata. Aku tak begitu mengingat sejak kapan mulai terbiasa seperti ini, walau tanpa sebuah cermin pun sejak kecil selalu saja berbicara sendiri.

HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang