Museum

2 0 0
                                    

"Lu kemana aja sih?" Introgasi Hari. Padahal baru aja nyampek kantor.

"Balik ke kampung halaman. Aman kan disini."

"Ah, elu."

Kami beriringan berjalan menuju ruangan Hari. Mungkin sama karyawan mau di adili. Mungkin sih, hehe.

"Nih lihat, apa yang terjadi 3 hari lalu." Hari memperlihatkan sesuatu di PCnya.

"Apaan sih?" Menghampirinya.

Kulihat gambar-gambar puing-puing bangunan yang hancur. Tertera deskripsi kejadian, bahwa telah terjadi serangkain bombardir bom yang meledak. Dan lagi-lagi karena isu agama lagi. Seakan tak ada habis-habisnya menfitnah.

"Gimana, masa iya gak ngliput ini lagi?"

"Mau nih, bila ditutup beneran?"

"Tapi, pada gatel semua."

"Dah lah. Gak usah daripada ditutup. Kalau kamu dan yang lainnya mau ya silahkan."

Hari hanya diam saja berpikir. Matanya menyorot pada monitor PCnya.

"Udah lah Har, lagian kagak ngliput gituan kita masih jalan kan?"

"Ya deh."

"Ya udah. Aku mau kerja dulu." Kutinggalkan saja Hari.

Semua mata menuju kearahku, bagai lampu sorot ketika sang pangeran muncul. Namun, semua itu tak membuatku bangga atau sedih, tapi biasa saja.

"Hei Bud." Sapaku.

"Darimana mas?"

"Dari ruangan Hari. Ehh maksudku pak Hari."

"Bukan itu, tapi 4 hari kemarin?"

"Liburan. Dah kerja dulu."

"Emang pak Hari gak marah gitu?" Tanyanya serius.

"Kagak tuh. Katanya cuma dipecat aja, kalau kuulangi."

"Benaran?"

"Mungkin. Dah kerja dulu. Mau kamu dipecat." Candaku.

Budi pun segera melakukan pekerjaannya. Mau dipecat gimana, bosnya juga siapa.

Klunting! Notif Anto

[Yan, cepet ke rumah ku. Penting!!]

Ada apa ya? Tumben bener si Anto kirim pesan. Ya udahlah samperin.

Setelah pamit ke Hari, agar pada tak disangka bolos langsung saja ku berangkat.

Kulihat mobil terpakir di halaman rumah Anto. Anto ternyata sudah berdiri di tengah pintu.

"Ada apa sih, serius amat."

Anto tak menjawab. Aku hanya mengikutinya saja. Kulihat ada si Dea dan satu orang wanita lagi.

"Hei De. Makin cantik aja kamu." Godaku

"Gombal luu. Eh kamu bisa nggombalin cewek juga. Kesambet ya?"

Wanita di sebelah Dea itu pun menoleh. Ternyata dia cewek yang duduk bareng diriku di kereta.

"Kesambet paras cantikmu De."

"Kesambet bener nih. Eh nih kenalin, Rena."

Aku hanya mengangguk saja. Begitupun dia. Tak berbicara pernah ketemu.

"Jadi gini Yan. Kita harus cepat-cepat kumpulin yang lain. Jika bisa menghalau yang ini. Kita bisa menemukan otak semua itu dan mencegah renteten yang lain. Gimana?" Anto memandangiku serius. Begitu 2 perempuan disini.

HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang