Keknya hari ini harus kerumah Anto deh. Siapa tau ada data yang masuk dari yang lainya.
Klunting!
[Siap bos, dirumah.] Balasnya.******
Kuparkir motorku di depan rumah yang berukura yang kurasa hanya 5x9 persegi. Tepat dirumah Anto, si dektektif telat kalau kata Parjo.
Kupencet bel lalu ku mundur menghadap cctv. Tak lama kemudian Anto membukakan pintu.
"Masuk Yan." Serunya tanpa keluar pintu.
Gak sopan nih, kebiasaan. Apa dektektif selalu gitu ya. Ah palingan cuma si Anto doang.
Ruanganya yang tak begitu rapi seperti biasanya terpampang olehku. Tak ada yang berubah semuanya sama seperti terakhir kali kesini.
"Tetep aja kamu To, gak ada perubahan." Kulihat-lihat seluruh ruangan rumahnya.
"Kamu, kan tau sendiri. Ruangan aslinya bukan disini." Anto mengotak ngatik jam tangannya.
Lemari yang ada diruang tamunya bergeser. Lalu terlihat lantai dari besi berwarna hitam di lantai yang tadinya lemari berada.
Anto lalu berdiri di atasnya. Lalu aku mengikutinya. Dan akhirnya lantai itu turun kenawah layaknya lift.
"Ye, malah berantakan di sini to." Aku duduk di sofa.
"Ini seni bosku." Dia tertawa.
Aku hanya menggeleng-geleng. Di ruangan yang berantakan penuh benda aneh.
"To, kamu dapet data nggak?" Mataku menganalisa semua yang ada pada ruangan.
"Ada, nih. Dapet dari si Dea. Ya bukan yang kamu maksud sih, tapi menurutku ada hubungannya, " Anto masih mengutak-ngatik laptonya, "Dea kemarin ngasih gue cip. Gila tau! Isinya rekaman cctv dan sadapan telpone ajudan presiden." Dia terlihat serius.
"Terus, ternyata dibalik semua ini, termasuk bom kemarin. Ada kelompok yang ngendaliin perputaran kejadian kemarin. Bahkan ada satu rencana selanjutnya. Coba deh luu denger." Anto menyetel rekaman yang dia maksud.
Kusetel rekaman itu, terlihat jelas seseorang sedang transaksi sesuatu.
"Beneran To, ini bahaya." Ungkapku khawatir.
"Sebenarnya ngapain sih elu Yan, mau-maunya ngurus kek gini?" Anto penasaran.
"Entahlah. Yang jelas melakukan kebaikan sesuai kodratnya manusia sebagai makhluk ciptaan. Bukankah gitu To" Aku sebenarnya juga bingung atas apa yang kulakukan.
"Tapi rencana sabotase kita yang kemarin gimana?" Tanya Anto.
"Ya, kita persiapkanlah. Oh iya, kamu kemarin lihat cewek nggak waktu di Restoran?" Kualihkan tatapanku ke Anto.
"Kagak tau sih. Ada apa?" Anto kembali fokus pada laptopnya.
"Sepertinya dia ngikutin Parjo deh. Mungkin ada sesuatu?"
"Hmm, begitu" Balas Anto ngangguk-angguk.
"Ya udah To, aku cabut dulu. Kalau ada apa-apa kabari. Kita kumpulin temen-temen" Aku pamit karena sudah dapat yang aku cari.
"Oke siap bos." Dia hormat.
Kutinggalkan Anto dengan alat-alat nyelenehnya. Namun, karena adanya dia sangat membatu dalan berbagai oprasi. Mungkin tanpa dia bakal lebih susah mengetahui apa saja yang harus dilakukan.
Malam ini kok terasa mencekam sekali. Lapar lagi, tapi stok makanan habis. Ya udah ahh, belanja dulu.
Akhirnya dapat juga nih, tinggal pulang lalu santap. Kenapa tadi gak bawa kendaraan aja ya, kan bisa cepet.
Sssst!
Sayup angin menghembus di tengkukku. Seperti ada yang meniup. Ku toleh ke belakang tidak ada siapapun.
"Whaaaha!" Teriakku kaget, hampir aja makananku jatuh.
Kulihat sesosok wanita berdiri tepat di depanku. Dari mana dia datang. Tidak ada persimpangan, kurasa tadi juga tidak ada orang sejauh mata memandang.
"Mas Riyan kan?" Tanyanya.
"Iya. Siapa kamu?" Kutatap dia dari ujung kaki sampai kepala.
"Mas mau pulang kan, aku ikut. Nanti di sana aku beritahu." Dia tersenyum tipis.
"Apa, lagian aku gak pengen tau kamu banget."
"Dah, ayo!" Dia menarikku.
Tak lama kemudian kami sampai di depan rumahku. Dia kok bisa tau, padahal aku tak pernah memberi tahu apalagi tempe.
"Cepet buka." Perintahnya.
Kuturuti saja kemauannya. Entah tak berani diriku menolak. Rasanya aku seperti dihipnotisnya.
Kutaruh makananku di dapur. Lalu ke ruang tamu untuk menemuinya lagi. Aku jadi penasaran padanya.
"Kamu siapa?" Kududuk di kursi.
Dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Aku terkejut dibuatnya.
"Pasti kamu ingat keris dan batu ini kan?" Dia menaruh 2 benda tersebut di meja.
"Keris itu seperti yang ada di mimpiku dulu. Dan batu itu." Batinku.
"Aku tak ingat." Kuberalasan agar dia cepat pergi.
"Ketahuan sekali bohongnya." Katanya sedikit tertawa.
"Dah lah, lebih baik kamu segera pergi. Dan bawa itu semua!" Tegasku.
"Apa sayang, pergi?" Dia menatapku.
Dia lalu mendekat padaku.
"Kamu tak mengingatku. Aku ibumu." Matanya kini berkaca-kaca, seakan air matanya mau keluar.
"Apa, jangan bercanda. Ibuku sudah meninggal sejak aku kecil." Kataku tegas.
"Nak, peluklah ibu." Dia memelukku.
Spontan aku bringsut menjauh.
"Jangan bercanda. Walau ibuku masih hidup, dia tidak akan semuda dirimu."
Tiba-tiba kuteringat mimpi aneh itu. Terpapar sosok pelayan waktu itu.
"Iya, sekarang aku ingat. Kamu pelayan itu kan?" Kumundur menjauhinya.
"Iya, kau benar. Namun, aku benar-benar ibumu. Tanyalah kakakmu, tanyakan foto ibu." Tangisnya pecah.
Aku terdiam melihatnya. Apa benar dia ibuku. Tidak mungkin, dia tidak mungkin. Ini mustahil, sangat mustahil.
Kakak, iya aku harus tanya dia. Ini gila, ini semua pasti mimpi.
Dia berjalan ke arahku. Lalu tiba-tiba memelukku. "Ri, kalau kamu tidak percaya tidak apa-apa. Tapi, ijinkan aku memelukmu sejenak."
Aku hanya diam mematung. Tak bisa berbuat apa-apa. Diriku masih tak percaya akan semua ini. Ini sangat mustahil.
"Tuhan tunjukkanlah padaku. Tampakkan 2 garis hitam atau putih dengan jelas. Kini aku tak mampu melihatnya Tuhan." Batinku.
Akhirnya dia melepaskan pelukkanya. Namun, dia tetap terisak-isak. Kupandangi dia, begitupun dia memandangiku.
"Baiklah aku pergi dulu. Kutitipkan 2 benda itu." Diapun berjalan mengambil tasnya.
Beberapa detik setelahnya dia berjalan menuju pintu. Sepersekian detik menatapku.
Ceklek!
Dia menutup pintu depan dari luar. Dan dia hilang begitu saja. Namun, meninggalkan 2 benda yang amat mengerikan.
Kulihat ke benda itu bersinar hijau terang selayaknya lampu.
Baiklah besok aku akan menemui kakakku. Iya aku, harus menemuinya. Harus!
Bersambung...
Kritik dan saran sangat membantu bagi saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HILANG
AdventureBagaimana seandainya kamu hidup di dunia yang kacau, lalu kau juga terjebak dalam dimensi lain pula? Cerita ini berawal dari seorang lelaki yang bernama Riyan. Riyan hidup sebatangkara dikota tempatnya tinggal. Dia adalah seorang yang bisa dibilang...