Gerbong

1 0 0
                                    

Kulihat kakakku yang sedang duduk di teras. Lalu kuhampiri dia untuk memberitahukan rencana kembali naik kereta.

"Mas aku nanti naik kereta aja. Motor titip di sini aja, surat-suratnya ada di dalam joknya." Kuusap-usap handuk ke rambutku.

"Oh, iya dah. Berangkat jam berapa?"

" Ambil yang jam 7 malem ntar, sih. Biar sampai sana pagi."

"Nanti biar aku yang nganter."

Kujawab dengan anggukkan, lalu kutinggalkan dia masuk rumah. Hari ini pumpung Sasya libur dan nanti sudah harus balik, kuajak dia jalan-jalan.

Kuputuskan untuk ke tempat bermain di dalam sebuah mall dekat taman kota. Ntah rasanya jadi ingin punya anak sendiri, melihat gelak tawanya. Terlihat polos nan bahagia.

Berhubung sudah siang kuputuskan untuk mengajaknya pulang. Ketika berbelanja snack untuk Sasya tak sengaja bertemu dengan Nia. Dan disitulah mulai obrolan sejenak.

Karena penasaran dengan kejadian semalam, kutanyai dia. Dan ternyata dia juga mengalaminya.

"Yang bener?" Tanyaku menyakinkan diri.

"Iya mas."

"Jadi memang benar nyata kejadian itu. Semua yang kulakukan kepadamu kau juga tau?"

"Sangat jelas, mas. Aku sebenarnya tadi juga menganggap itu hanya mimpi sebelum mas tanyakan hal itu."

"Oh ya sudah kalau gitu. Aku pulang dulu." Kataku.

"Iya, hati-hati mas."

Kami pun meninggalkan Nia yang sedang berbelanja. Panas terik menyengat. pepohonan yang hijau pun ikut mengering. Kemarau yang sangat extrim dari 2 tahun terakhir.

"Om beli es di bu Isni ya?"

"Iya deh." Jawabku fokus kejalanan.

Kami pun akhirnya mampir untuk membeli es cendol. Ini nih yang masih bertahan di kampung halaman. Walau sudah menjadi wilayah pemukiman kota masih aja ada penjual kuliner jaman dulu, meski alatnya kini sudah instan.

"Lihat deh om, ada tante Afi."

Ku cuma menoleh saja kearah telunjuknya seperti kata Sasya. Fia tengah duduk di kursi, mungkin juga beli sesuatu.

"Hai, tante cantik." Centil sekali tingkah Sasya.

"Eh Sasya yang cantik. Pasti mau beli es ya?." Balas Fia.

"Iya. Kok tau sih."

"Ya tau dong. Kan kamu suka beli es cendol"

"Oh, jadi kamu yang ngajarin nih anak jadi centil gini." Selaku duduk di sebelah Fia.

"Sya kek ada suara gitu dimana ya?" Seru Fia.

"Hantu kali ya." Jawab Sasya dengan polosnya.

Ku gelitiki Sasya, karena gemesnya. Sampai akhirnya dia pun berkata ampun ala polosnya anak kecil.

"Iya om ampun, ampun."

"Nah gitu dong."

"Te, om nanti pulang ke kota lagi loh."

Fia menoleh kearahku. Diriku hanya mengangguk-ngangguk.

"Wah Afi, nggak ikut Riyan aja nih." Celetuk bu Isni dari dalam.

"Ngikut dipikir liburan gitu Bu. Ada-ada aja Bu Isni." Protesku.

"Ye kali kalian jadi nikah gitu. Kan sama-sama belum laku, inget umur tuh." Serunya santai.

"Apa, nikah?" Tanyaku menggelayut dalam hati.

"Gak laku. Emang cendol apa, Bu?" Balas Fia.

"Iya om, kan tante Afi cantik dan baik." Celetuk Sasya sontak kuuyel-uyel.

Apalagi nih bocah, tau apa nih. Gemes amat aku. Ada benernya sih. Fia cantik dan lagi baik, tapi hati siapa yang tahu. Jika bukan diri sendiri.

"Ya ntar, kalau jodoh Bu."

"Yan, jodoh ya jodoh. Tapi niye, ibarat tuh gorengan kalau gak dicomot ya gak bakal kamu makan." Jelasnya sambil mengasihkan pesenan Fia dan lalu nyelonong aja.

"Strategi marketing nih maksudnya ya Bu?" Aku tertawa.

"Ya iyalah. Kalau gak di pasarin mana laku."

Fia dan aku hanya bisa terdiam dan saling berpandangan.

"Lagian, kalian itu sepertinya serasi kok."

"Aku duluan ya. Dada Sasya." Fia pulang meninggalkan kami.

Sasya terlihat melambaikan tangannya.

"Karena aku juga perempuan niye. Kalau menurutku si Afi itu tertarik padamu." Memberikan pesananku.

Kubayar dengan uang pas. "Makasih ya Bu. Ayo Sya."

Barang bawaan sudah siap. Tinggal berangkat saja. Okey makan dulu lah.

"Ri, gimana Afi?" Tiba-tiba terdengar kalimat yang tak biasa.

"Oh Fia. Biasa aja sih." Balasku malas.

"Udahlah Ri, kenapa nggak kamu mulai saja dengannya? Lupakan masa lalu mu."

"Udahlah mas. Tak perlu bahas itu. Aku tau kapan kok. Kali ini aku belum bisa." Jelasku.

Kakakku pun diam saja. Seakan menahan sebuah untaian kata yang ingin keluar darinya.

Sesampainya di stasiun, kakak, mbak Sari, dan Sasya ikut mengantarku di ruang tunggu. Di saat itu kami berada di ruang tunggu, terlihat Nia dan adiknya juga.

"Balik sekarang juga mas?" Tanya Rei.

"Iya nih." Balasku.

Nia memberi salam kepada mas Dharma dan yang lain. Mungkin kakakku sekarang lagi memikirkan sesuatu tentang Nia. Pastilah itu, karena tadi kebetulan bahas masa lalu sih.

Tak lama dari operator menginformasikan kereta akan segera tiba. Aku pun pamit kepada kakakku dan lainnya. Sekilas kulihat kakakku memperhatikan Nia. Walau sebenarnya kakakku hanya tau mungkin sedikit dari ceritaku dan waktuk berpapasan waktu Nia menemui almarhum ayahku.

Kususuri ruangan gerbong. Toleh kanan-kiri memastikan nomor duduk. Setelah beberapa lama berjalan akhirnya ketemu juga.

"Di sini juga mas. Wah kebetulan." Rei merapikan barangnya.

"Lah iya nih." Walau sebenarnya malas dekat dengan Nia.

"Kalau jadinya harusnya ku ambil kelas eksekutif, ekonomi jadi gini nih. Sial!" Membatin.

Tak beberapa lama kereta pun berjalan membawa seluruh penumpanya, termasuk diriku. Sesekali Nia memandangiku di balik niqobnya. Diriku cuek begitu saja, walau sesekali Rei ngajak ngobrol.

"Mas Riyan sama Kakak kok diem-dieman gini sih. Padahal dulu deket." Celetuk Rei menelisik kami berdua.

"Lah ini deket. Hadap-hadapan juga." Balasku.

"Lah, bukan deket gitu, tapi hubungannya gitu."

"Itu dulu Rei." Jelasku.

Sebenarnya tak enak juga membicarakan ini, tapi apa daya Rei memang mencing-mancing. Terlihat jelas dari sikap, lagi pula dia bukan anak kecil lagi. Bila diteruskan tak enak dengan cewek di sebelahku yang baru saja naik dari stasiun barusan.

HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang