Malam yang begitu panjang di kampung ini. Entah seakan kembali ke masa lalu. Saat dimana diri ini berteman dengan malam dan cuek pada mentari.
Masa lalu tetaplah masa lalu. Tak pernah bisa terganti, selayaknya janji sebuah hati. Meskipun dengan ikatan suci.
"Ri, kenapa belum tidur?" Suara mbak Laila mengagetkanku.
"Enggak ada sih, kebiasaan mbak." Bohongku.
"Oh, ya udah kalau gitu." Dia berlalu begitu saja.
Lalu kuputuskan untuk ke kamar. Mungkin bisa segera tidur. Tak perlu beberapa lama rasa kantuk memberat pada kedua mataku.
"Nak, bangun." Suara lelaki tua.
Perlahan pasti kubuka mataku. Samar-samar kulihat langit-langit kamar. Tertangkap sosok kakek tua berdiri di pingir tempat tidur.
"Kakek!" Aku terkejut melihatnya.
"Apa kabar, lama tak bertemu." Dia tersenyum.
"Ada apa lagi?" Tanyaku setengah protes.
"Tidak ada sih." Dia berjalan menjauhiku.
"Jangan bercanda, pasti kau mau aku melakukan hal bodoh lagi." Seruku.
"Apa kamu tadi melihat tulisan di lontar itu?"
"Memangnya kenapa?" Aku penasaran.
"Apa kau ingin bisa membacanya, atau mungkin kamu berpikir bisa tahu seperti apa sosok ibumu?" Tiba-tiba saja ada keris di tangannya.
Ya aku tak terkejut sih, kenapa harus terkejut jika kedatangannya seperti itu.
"Lalu?"
"Aku akan mengajarimu. Semua tentang tulisan itu. Walau aku tak menjamin kau akan bisa." Dia tersenyum sinis.
"Baiklah, aku mau." Walau sebenarnya ragu diriku mempercayainya.
Pada akhirnya, hampir semalam suntuk aku tak tidur. Aku terus belajar cara membaca tulisan yang aneh. Dan sekaligus artinya.
Saat menjelang subuh, berakhirlah sudah. Tak bisa kupercaya, dengan sangat mudah aku mempelajarinya. Padahal, yang kualami selama ini kesulitan dalam belajar bahasa asing.
Deg, rasanya diriku seperti terjatuh. Tak lama kudengar suara adzan berkumandang. Aku segera bangun dan menuju kamar mandi.
Setelah selesai berdzikir di langgar atau mushola aku pulang. Namun, saat di teras aku terhenti.
"Apa kabar Yan?" Tanya lelaki paruh baya.
Lelaki itu adalah imam sholat tadi. Dia adalah guru ngajiku dulu. Namanya pun Imam. Jadinya gak ribet kalau ditanyakan. Siapa imamnya? Ya pak Imam.
"Alhamdulillah sehat, Pak. Bapak sendiri gimana?" Aku mendekatinya.
"Alhamdulillah sehat." Tatapannya terlihat teduh.
Kami berbincang-bincang tentang pekerjaan, sampai ke hal sebuah pernikahan. Tak lama kemudian aku memutuskan pulang.
********
"Om, kesana yuk."Tanganku ditarik Sasya.
Aku menurut saja. Berhubung hari ini libur, Sasya mengajakku jalan-jalan. Apa boleh buat untuk ponakan satu-satunya.
Sasya mengajaku ditaman bermain yang kebetulan di dekat rumah. Lokasinya pun di lingkup langgar tempatku sholat.
Terlintas seorang wanita menuju ke arah kami.
"Sasya lagi main sama siapa?" Tanyanya dengan penuh senyuman.
Ah, ternyata Fia teman kecilku. Terlihat sedikit sama sih dari terakhir bertemu. Dia juga adalah anak pertama dari pak Imam.
KAMU SEDANG MEMBACA
HILANG
AdventureBagaimana seandainya kamu hidup di dunia yang kacau, lalu kau juga terjebak dalam dimensi lain pula? Cerita ini berawal dari seorang lelaki yang bernama Riyan. Riyan hidup sebatangkara dikota tempatnya tinggal. Dia adalah seorang yang bisa dibilang...