Wajah murung Weeby seketika terganti oleh senyuman yang merekah kala bel tanda istirahat baru saja bernanyi-nyanyi.
Perasaan kalut dan sebal kepada Marcell langsung pupus begitu saja, kemudian Weeby memutuskan menoleh ke samping.
"Uti, ke kantin yuk? Perut gue udah mau meledak nih!"
Uti menoleh, menatap Weeby dengan dahi berkerut, "kok meledak? Bukannya belum makan, ya?" Uti menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal, perkataan Weeby barusan membuatnya bingung setengah mati.
"Iya, gue kan, emang belum makan, makanya gue minta elo nemenin gue ke kantin, lo mau, kan?" Wajah Weeby tampak berbinar, ia sangat yakin kalau Uti akan menyetujui permintaannya ini.
"Kalo belum makan, terus kenapa meledak? Aneh banget lo By," cibir Uti dengan bibir yang mengerucut ke depan.
"Gue salah ngomong." Weeby hanya menyengir, memperlihatkan gigi putihnya yang berjejer dengan rapi.
Menghela napasnya secara gusar, Uti memutar bola matanya, "iya gue temenin, tapi tumben banget lo mau ditemenin gue, biasanya juga sama Kenya dan Netta."
"Mereka lagi sibuk, gue juga maunya sama elo," balas Weeby cepat.
Uti hanya membalas dengan anggukan kepala, ia lalu ber-oh ria.
"Lo nggak malu gitu?"
Alis Weeby tampak tertarik ke atas karena pertanyaan Uti barusan, a berpikir sejenak, mencoba mencerna ucapan Uti. Namun Weeby tidak kunjung paham.
"Malu? Emang gue malu kenapa?"
"Lo nggak mal—"
"Gue nggak malu kalo gue pakai kaos kaki yang berbeda," ucap Weeby lagi, memang tadi pagi ia sangat buru-buru dikejar waktu, alhasil Weeby tidak sadar kalau dirinya mengenakan dua kaos kaki yang berbeda, satunya wana kuning dan satunya lagi warna pink. Benar-benar melenceng jauh dari aturan. Apalagi warna yang dikenakan terlihat sangat kontras.
"Bukan gitu Weeby!" Uti semakin gemas karena Weeby menyela ucapannya, alhasil hidung mancung milik Weeby ditarik oleh Uti dengan sangat keras hingga wajah Weeby terhuyung mengikuti arah kemana hidungnya ditahan oleh jari jemari Uti.
"Ih sakit Ti, hidung gue bisa copot kalo lo ngelakuin kayak gini," kata Weeby dengan bibir yang mayun ke depan, sesekali ia mengusap usap ujung hidungnya yang masih sedikit terasa nyeri.
"Ya karena elo motong omongan gue sih, bagaimana gue nggak kesel coba?" Uti lalu membuang napasnya sedemikian rupa, sedetik kemudian ia kembali menatap Weeby dengan malas.
"Iya, maksud lo gue nggak malu apaan?" Weeby memutar ke topik awal, saat Uti bertanya dengan pertanyaan ambigunya itu.
Uti langsung memilin bibir tipisnya sebelum mengangkat suara, lalu tidak lama setelah itu ia berbicara, "lo nggak malu pergi ke kantin sama gue?"
"Ngapain malu sih? Ada-ada aja pertanyaan lo ini," kata Weeby diiringi cekikikan pelan.
"Gue kan gemuk, lo nggak takut kena buli gitu kalo temenan sama gue?"
"Biasa aja tuh, ngapain malu Ti, gue kan juga sama-sama kayak lo, sama-sama cewek maksudnya. Udalah yuk, gue udah laper banget nih."
Bukan alasan Uti melempar pertanyaan seperti itu, ia hanya ingin memastikan saja. Dan sebelumnya, Uti sama sekali tidak akrab dengan Weeby. Saling berbicara pun hanya ketika ada perihal yang benar-benar harus dibicarakan.
Uti seketika sadar dari lamunannya, kini ia menatap Weeby dengan raut wajah terkejut, jantungnya masih memburu tak tentu arah.
"Woy Ti, kenapa bengong sih?" kesal Weeby lantaran Uti yang asik melamun, sedari tadi ia menyebut namanya pun, Uti sama sekali tidak menggubrisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Late To Realize (END)
Подростковая литератураWeeby tahu, Marcell itu cowok yang menyebalkan. Kerjaan setiap harinya adalah mengganggu dirinya. Sialnya lagi, Marcell satu kelas dengan Weeby, dan cowok itu juga merangkap menjadi teman sebangku dengannya. Namun, saat kedatangan Resti. Murid sorti...