22. Sangat Marah

4.6K 212 0
                                    

Marcell kesal setengah mati, ia malah tidak fokus pada jalan di depan sana, sorot matanya malah terus menerus menatap Weeby dengan hidung mancungnya yang kecil. Disaat mata sejuk itu terpejam, Weeby seringkali terlihat lebih cantik di mata Marcell.

Langkah kakinya mulai melambat, sengaja ia melakukan hal seperti itu, ini hanya sebentar, Marcell ingin menatap Weeby lebih lama. Sekarang, wajah cantik Weeby seperti candu bagi Marcell, senyum yang tertahan, akhirnya perlahan mulai terbit, semakin lama, senyum tipis itu menjelma menjadi tarikan bibir yang indah.

"Marcell!"

Merasa namanya tengah disebut, Marcell memilih untuk mengedarkan pandangannya, menyapu suasana sekitar apakah yang tadi telinganya tangkap benar-benar nyata. Marcell kemudian tercekat, menatap Resti yang memanggilnya, sekarang pacarnya itu sedang berjalan menyusul dirinya.

"Resti, lo ngapain ada di sini?" Marcell terjerembab, memandangi Resti penuh tanda tanya, rasa terkejutnya dengan kedatangan cewek itu belum kunjung hilang.

Resti menyilangkan kedua tangannya di depan dada, mulutnya tampak berdecak, dan bola matanya terlihat berputar. Seperkian detik setelahnya, Resti mulai angkat bicara.

"Justru gue yang tanya kayak itu, lo ngapain di sini?" Nada suara Resti terdengar tidak bersahabat, Marcell langsung membuka mulutnya untuk menjawab, namun perkataan Resti langsung menyelanya, membungkam mulut Marcell lagi.

"Gue harap lo punya alasan yang nggak klasik untuk menjelaskan situasi sekarang ini."

"Res, gue mohon lo jangan omelin gue sekarang, gue harus bawa Weeby ke UKS dulu, dia pingsan. Habis itu, elo boleh marahin gue sepuasnya," ucap marcell, intonasi suaranya melemah.

Baru saja mau melangkah maju, Resti langsung menghentikan langkah Marcell, ucapan yang meluncur dari bibirnya membuat Marcell seketika tertahan. Cowok itu kembali menoleh ke samping.

"Udah gue bilang, jangan deket-deket sama Weeby, lo lupa atau gimana sih?" Omelan Resti membuat Marcell diam, lalu cewek itu kembali menghentakkan kakinya ke tanah lantaran kesal dengan Marcell yang tidak mendengar penuturannya.

"Tapi Weeby habis pingsan, dan ini semua gara-gara gue. Please, kali ini aja gue bantuin Weeby." Marcell memohon, detik berikutnya ia menandingi wajah Weeby yang sedikit tertutup oleh rambutnya.

Mendengkus sebal, Resti masih tidak mau kalah, apa yang diinginkan sama sekali tidak boleh goyah, Resti tidak mau mengijinkan Marcell begitu saja. "Lo lupa sama permintaan gue?"

"Enggak Resti, gue ingat, bahkan sudah diluar kepala gue. Dan lo harus ngerti, kalo gue ninggalin Weeby di sini? Apa yang bakal terjadi sama dia? Sementara dia sendiri lagi pingsan."

"Bodo amat, itu terserah lo. Sekarang gue punya pilihan yang baik buat lo, pilih Weeby atau gue!" Resti tersenyum kecut, menunggu jawaban yang keluar dari pacarnya, ia sudah tidak sabar mendengar. Sementara itu, Marcell tercekat, pilihan itu sangatlah sulit. Bahkan, Marcell ragu untuk menentukan pilihannya.

"Gue pilih lo, karena lo pacar gue," ucap Marcell pada akhirnya.

"Oke, kalo gitu tinggali Weeby di sini dan ayo ikut gue."

"Tapi."

"Nggak ada penolakan, ayo buruan!" Gigi Resti sudah bergemelutuk menahan geram, sampai lengan seragam Marcell juga ia tarik. Wajahnya sudah menyimpan amarah.

Marcell tergagap di tempat. Meninggalkan Weeby di sini? Marcell hampir saja tertawa dengan sumbang, ia tidak setega itu, apalagi sekarang cewek yang berada pada gendongannya sedang tidak sadarkan diri.

"Ayo buruan! Kok malah ngelamun sih?" paksa Resti lebih geram, lalu kakinya ia hentakkan ke tanah berulang kali. "Ikut gue atau kita putus sekarang!"

Dengan terpaksa, Marcell menurut pada Resti karena pacarnya itu memberi ancaman kalau Marcell tidak menurut pada kemauannya, Resti akan segera meminta putus. Tentu saja Marcell tidak mau, rasa sayangnya sudah terlanjut dalam, rasa cintanya sudah terpupuk sedemikan rupa dihatinya. Ya, Marcell suka dengan Resti.

Too Late To Realize (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang