Dilema

11.2K 197 10
                                    

Hanafi duduk terpekur di sisi ranjang Bella. Hanya dalam waktu lima hari, kondisi Bella terlihat jauh berubah. Badannya terlihat lebih kurus, wajahnya pucat dan ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Menurut dokter jaga di IGD yang ditemui Hanafi tadi, sebelum pulang dinas tadi tiba-tiba Bella ambruk dan pingsan di ruang praktiknya. Perawat yang mendampingi Bella segera membawa Bella ke IGD. Diagnosa sang dokter, Bella sepertinya menderita tipes. Tetapi menurut Hanafi sakit Bella lebih cendrung kepada depresi klinis Sakit yang disebabkan karena depresi, kelelahan, dan rasa sedih yang berlebihan. Dan semua itu tentu karena dirinya, karena pernikahannya. Hanafi merasa amat berdosa.

Bella terlihat membuka matanya. Matanya kosong menatap langit-langit kamar rumah sakit. Hanafi meneguk ludahnya yang terasa pahit.

"Bella, Alhamdulillah kamu sudah bangun." Hanafi menyentuh puncak kepala Bella yang tertutup hijab. Bella membuang mukanya. Sungguh, melihat wajah tanpa dosa Hanafi hatinya terasa main sakit.

"Kenapa kamu ke sini? Bukankah ini malam pertamamu?" Bella berkata tanpa melihat wajah Hanafi.

"Jangan menghukum aku seperti ini Bella. Kamu pasti sangat paham dengan kondisi tubuhmu sendiri. Kenapa tidak istirahat jika telah merasa sedang tidak sehat? Mengapa tidak makan dengan baik, tidak minum vitamin. Apa kamu cuma bisa membantu pasien tetapi tidak bisa membantu dirimu sendiri?" Hanafi mencecar Bella dengan tidak sabar. Hanafi tahu, sakit yang diderita perempuan ini pastilah karena kurang tidur, banyak pikiran, tidak makan, dan mengabaikan semua hal tentang dirinya.

"Tidak usah berpura-pura perhatian padaku." Bella berkata dengan mata berkaca-kaca. Pelan Bella memutar tubuhnya membelakangi Hanafi. Lalu satu persatu air matanya pun tumpah. Gadis itu terisak dengan dada yang terasa sesak. Hanafi terpaku. Laki-laki itu bisa melihat pungggung Bella yang naik turun.

"Sayang, bukan kah kita telah sepakat dari awal. Kita akan bersabar satu atau dua tahun ini. Kamu sudah janji kan akan memberi aku waktu sampai Arini memilih pergi dariku."

"Pulang lah, biarkan aku sendiri. Datanglah satu tahun lagi dengan membawa janji yang telah kamu ucapkan itu." Bella menarik selimutnya sampai ke leher. Gadis itu mencoba memejamkan mata. Saat ini yang ingin dilakukannya hanyalah tidur agar bisa melupakan semua rasa sakitnya. Hanafi mengusap wajahnya dengan kasar. Tapi ia tetap duduk diam di kursinya. Ia tidak akan beranjak dari sisi Bella. Akhirnya karena rasa lelah dan kantuk yang mendera, Hanafi pun tertidur di kursinya. Bella yang tidak bisa tidur mencoba telentang. Dan matanya langsung menangkap sosok Hanafi yang tertidur bersandar di kursinya. Tak bisa dipungkiri, hati Bella pun terenyuh melihat kondisi laki-laki yang amat dicintainya itu.

Sementara di ruangan lain, di rumah sakit yang sama, Arini juga tercenung seorang diri. Dari IGD, ayahnya dipindahkan ke ruang ICU. Berbagai macam alat terpasang di tubuh ayahnya. Arini sungguh tidak tega melihatnya. Arini dan Etek Pia menungggu di ruang tunggu ICU. Etek Pia telah tertidur beralaskan bed cover yang diantarkan oleh Pak Munin. Ebberapa keluarga pasien juga terlihat telah lelap dalam tidurnya. Sementara Arini hanya duduk bersandar di samping Etek Pia.

Sebenarnya tubuh gadis itu juga lelah. Matanya juga mengantuk. Tetapi entah mengapa, ia tidak bisa memejamkan mata. Bayangan kepergian Hanafi yang telah resmi menjadi suaminya dan bayangan wajah sang ayah yang penuh penyesalan, silih berganti berkelebat di mata Arini. Ada rasa sesak mengingat semua itu.

Pukul 03.00 dinihari. Arini merapatkan jaket yang membungkus tubuhnya. Kota ini selalu terasa beku pada jam-jam segini. Ditambah lagi dengan pendingin ruangan yang pastilah dihidupkan secara sentral.

"Keluarga Datuak Sutan Bandaro." Seseorang menyebut nama ayahnya. Arini yang sudah hampir tertidur karena kantuk yang makin kuat menyerang, langsung menegakkan kepala dan bangkit dengan tergesa. Seorang laki-laki dengan seragam berwarna hijau berdiri di depan pintu ruang ICU. Arini bergegas menghampirinya. Sekilas Arini bisa melihat nama yang terukir di baju seragam laki-laki itu. Dokter Adrian. Dengan sedikit rasa heran, Arini mengikuti langkah kaki laki-laki yang ternyata seorang dokter itu. Biasanya perawat yang memanggil dan berurusan dengan keluarga pasien. Tetapi, dokter yang satu ini langsung turun tangan. Sampai di samping ranjang sang ayah, dokter Adrian menoleh pada Arini.

Arini Bias RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang