Malam Pertama yang Kelabu

11.5K 199 10
                                    

Hanafi melipat surat yang baru dibacanya dan meletakkannya di atas meja. Rumah sakit swasta tempat Hanafi mengabdi ini membuka cabang di Bukit Tinggi. Dan Hanafi ditugaskan untuk ikut merintis di rumah sakit baru tersebut. Hanafi adalah seorang yang sangat bertanggung jawab. Tugas dan amanah yang diberikan padanya dianggap sebagai sebuah penghargaan dan kepercayaan kepadanya. Tetapi, jika ia pindah ke Bukit Tinggi, itu berarti ia akan berjauhan dengan Bella. Karena Bella tugas dan praktiknya di kota Padang. Dan jika ia memang akan pindah, maka Bella juga harus ikut pindah ke Bukit Tinggi. Besok Hanafi akan coba bicara dengan Bella. Semoga Bella mau menuruti keinginannya.



Esok malamnya, sebelum Hanafi pulang ke Bukit Tinggi, Hanafi membicarakan masalah kepindahannya kepada Bella. Hanafi juga menawarkan untuk pindah tugas pada Bella. Jawaban Bella sungguh membahagiakan hati Hanafi. Bella megatakan akan meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk ikut pindah ke Bukit Tinggi. Karena dari dulu Bella memang ingin tinggal dan menetap di kota wisata tersebut. Kota yang memiliki keindahan alam mempesona itu, selalu membangkitkan rindu di hati Bella. Ditambah lagi dengan cuacanya yang dingin dan sejuk, membuat tubuh nyaman sepanjang hari.

Sampai di Bukit Tinggi, Hanafi melihat rumah gadang telah dihias dengan dengan berbagai kain warna khas Minangkabau. Di dalam rumah, pelaminan sederhana sudah terpasang dengan indahnya. Padahal hari pernikahannya dengan Arini masih dua minggu lagi. Melihat itu semua, tulang-tulang Hanafi serasa begitu lemah seperti tak bertenaga.

"Wah, Uda dokter sudah pulang." Annisa menyambut Hanafi di ruang tengah. Hanafi hanya membalas ucapan adiknya dengan senyum yang terlihat patah.

"Uda dokter kenapa? Kok seperti tidak bersemangat gitu? Annisa bikinkan teh hangat ya, da?" Annisa mengikuti langkah kaki udanya ke meja makan di ruang tengah. Hanafi duduk di salah satu kursinya. Meja makan ini telah ada di rumah gadang ini sejak Hanafi masih duduk di sekolah dasar dulu.

"Mau teh hangat, da?" Annisa masih penasaran dengan sikap udanya.

"Ya, boleh. Gulanya satu sendok aja, ya." Hanafi mencoba tersenyum pada adiknya. Annisa mengangguk senang. Akhirnya udanya bersuara juga.

"Siap, Uda dokter!" Annisa mengacungkan jempolnya pada Hanafi. Hanafi kembali tersenyum, adiknya telah beranjak dewasa sekarang. Dan dia tumbuh menjadi gadis yang cantik, pintar, juga periang. Meski kondisi keluarga mereka jauh dari kata senang, tetapi adiknya ini tidak pernah murung ataupun minder dengan kondisi keluraga mereka. Di sekolah, Annisa menjadi anak yang berprestasi. Karena umi mereka selalu berpesan, mereka tidak memiliki harta, tetapi mereka bisa mendapatkannya kelak asal punya ilmu. Maka dari itu, pendidikan bagi umi adalah yang nomor satu.

Sekarang, Hanafi telah mampu mengambil semua beban dan tanggung jawab umi. Biaya kuliah Harun dan sekolah Annisa, Hanafi yang memberikan. Untuk hidup umi sehari-hari, juga Hanafi yang menanggung. Hanafi tidak ingin uminya bekerja keras lagi mengurus petak-petak sawah mereka yang tidak seberapa itu. Sudah cukup perjuangan uminya selama ini kepada Hanafi dan kedua adiknya. Kini saatnya Hanafi membalas semua jasa dan pengorbanan uminya.

"Ini, Da. Minum dulu." Annisa meletakkan gelas berisi the hangat di hadapan Hanafi.

"Ya, Dek. Makasih, ya." Hanafi mengaduk gelas di depannya dengan sendok kecil yang telah disediakan Annisa di dalam gelasnya.

"Ya, Da. Sama-sama."

"Umi kemana, Dek?"

"Katanya tadi ke rumah Uni Arini, Da. Tadi menemani Uni Arini mengambil baju nikahnya di tukang jahit."

"Oh." Hanafi menjawab enggan. Ah, andai semua ini hanya mimpi, Hanafi menggumam dalam hati.

"Annisa dan Umi juga dibikinkan baju sama Uni Arini, Da. Cantik sekali."

Arini Bias RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang