Arini Pergi

16.1K 428 46
                                    



Pembaca tercinta, jangan lupa tinggalkan vote setelah membaca. Makasih ...

Hanafi terbangun dan meraba kasur di sampingnya. Kosong. Hanafi langsung bangun dan turun dari tempat tidur. Hanafi tersadar, ternyata tidak memakai apa-apa. Hanafi mengambil selimut dan melilitkan ke pinggangnya. Laki-laki itu berjalan menuju kamar Arini. Digesernya pintu kaca dan melangkah masuk ke dalam. Mata Hanafi terpaku melihat Arini yang tengah bergelung di bawah selimut tebal. Hanafi mendekat dan berdiri tepat di samping tempat tidur istrinya itu.

Hanafi berjongkok, wajahnya kini sejajar dengan wajah cantik Arini. Hanafi memperhatikan setiap inci wajah istrinya itu. Alisnya, matanya yang terpejam, hidungnya, pipinya, dan bibirnya yang terlihat menggemaskan.

Dada Hanafi kembali berdesir. Kemesraan dan penyatuan dua jiwa yang penuh gairah kembali terbayang di pelupuk mata Hanafi. Duh, indahnya. Ternyata beginilah rasanya menjadi laki-laki sejati, Hanafi tersenyum dengan raut wajah bahagia. Tak dapat menahan diri, Hanafi mendekat, lembut diciumnya kening Arini. Ciuman yang begitu dalam dan penuh perasaan.

Dan entah mengapa tiba-tiba Hanafi merasa amat takut. Bagaimana jika Arini benar-benar pergi? Apa yang harus dilakukannya? Arini menggeliat. Hanafi segera bangkit dan berbalik. Buru-buru Hanafi meninggalkan kamar Arini kembali ke kamarnya. Hanafi langsung masuk kamar mandi. Hanafi ingin bersujud kepada sang pengasih, untuk meminta satu saja permohonan, meminta Arini untuk tetap di sini. apakah sudah terlambat untuk mengetuk pintu langit dengan memohonkan sesuatu yang memang pantas untuk dimintanya?

Setelah mandi dan berwudu, Hanafi memakai sarung dan baju kokonya. Pukul 03.400 dini hari. Ini adalah waktu yang paling mustajab untuk memohon kepada sang pemilik hati. Setelah membentangkan sajadah, Hanafi pun mulai menghadapkan wajah dan hatinya pada Yang Maha Kuasa.

Selesai dengan enam rakaat tiga kali salam, Hanafi menadahkan tangannya. Dalam hati sebenarnya ada rasa malu pada sang pemilik bumi, karena ia hanya datang ketika merasa membutuhkan pertolongan. Tetapi, Hanafi merasa tidak punya lagi tempat mengadu dan meminta. Untuk memohon kepada Arini, rasanya Hanafi belum punya keberanian. Apalagi, rasanya ia masih punya harga diri untuk mengemis pada istrinya itu.

Hanya Tuhan yang tentunya masih mendengarnya tanpa takut ditertawakan. Sampai azan subuh berkumandang, Hanafi masih duduk di atas sajadahnya. Hanafi kemudian bangkit dan mengambil sajadahnya. Pagi ini, ia rindu datang ke masjid. Sudah lama sekali ia tidak sholat berjamaah. Mungkin sejak tamat dari SMA, Hanafi tidak pernah lagi sholat di masjid. Mulai hari ini, Hanafi bertekad untuk mulai memperbaiki diri, mulai menjadi mukmin sejati. Hal pertama yang harus dilakukannya adalah dengan mulai sholat berjamaah di masjid.

Arini terbangun begitu azan berkumandang. Untuk pertama kali sejak ia mengikuti liqo di kampus, Arini melewatkan sholat malamnya. Arini turun dari tempat tidur dengan tergesa. Seluruh badannya terasa ngilu dan sakit. tetapi, Arini mencoba mengabaikan rasa tidak nyaman itu. Arini harus cepat, pesawatnya pukul 08.30. Setelah sholat subuh, Arini sudah harus berangkat. Tadi malam Arini telah memesan taksi.

Selesai sholat subuh, Arini segera berganti pakaian. Kulot lebar berwarna milo, blus warna krem pucat dan cardigan panjang berwarna senada dengan kulotnya. Jilbab dengan warna milo juga, menutup hingga ke dada. Arini menyapukan bedak dan lipstik. Arini mengambil tas sandangnya dan mendorong kopernya. Tetapi, sebelum ia ke luar dari kamarnya, Arini menyapukan pandangannya sekali lagi ke sekeliling kamar. Ia akan meninggalkan kamar ini, rumah, dan semua kenangan yang pernah ada di sini. Entah untuk berapa lama, Arini tidak tahu. Ada yang terasa hangat di sudut-sudut matanya.

Terlalu banyak kenangan di sini. Arini tengadah dan mengerjabkan matanya mengusir bulir bening agar tidak tumpah membasahi pipinya. Ia tidak boleh lemah, tidak boleh cengeng. Ayahnya telah mengajarkan banyak hal pada Arini. Arini tahu bahwa hidup tidaklah seindah yang ada di novel atau di film.

Arini Bias RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang