Luka

13.9K 239 23
                                    

Arini baru saja selesai sholat duha ketika pintu kamarnya di ketuk. Arini bergegas membukakan pintu. Annisa berdiri di hadapannya dengan wajah cemas.

"Ada apa, Dek?"

"Umi pusing Uni, tadi mau bangun dari tempat tidur langsung terjatuh."

"Ya, Allah. Jadi gimana kondidi Umi sekarang?"

"Nggak apa-apa, sih, Ni. Umi sudah berbaring lagi."

"Baiklah Dek, kita ke rumah sakit sekarang, ya."

"Ya, Ni."

"Kamu bisa gantiin baju Umi nggak? Uni ganti baju juga bentar."

"Bisa, Ni."

"Oke, setelah itu kita langsung berangkat, ya."

Annisa mengangguk dan berbalik kembali ke kamar uminya. Arini meletakkan sajadah dan mukenanya begitu saja di atas kasur. Lalu segera mengambil gamis dan hijabnya. Hanya beberapa menit, Arini telah terlihat cantik dengan gamis dan hijab berwarna kuning gading.

Arini mengambil tas sandangnya dan kunci mobil. Setengah berlari Arini menuju kamar tamu. Membuka pintunya tanpa mengetuk. Di tempat tidur terlihat Etek Halimah duduk bersandar pada Annisa. Keduanya telah memakai jilbab, siap untuk berangkat.

"Etek masih kuat jalan?" Arini mendekati Etek Halimah. Terlihat Umi Hanafi itu mengangguk lemah.

"Ayo dek, kamu pegang Umi di sebelah kanan, Uni di sebelah kiri, ya." Arini mengambil tangan mertuanya dan membantunya bangkit. Annisa melakukan hal yang sama. Bertiga mereka ke luar dari kamar, berjalan pelan menuju pintu depan. Etek Pia yang melihat mereka langsung datang mengejar. Setelah mengatakan kalau mereka akan ke rumah sakit membawa Etek Halimah, Arini dan Annisa pun menuntun Etek Halimah masuk ke dalam mobil. Tidak berapa lama, mobil sedan Arini ke luar dari halaman menuju jalan raya.

Jalanan kota wisata Bukit Tinggi tidak terlalu ramai. Arini bisa mengemudikan mobilnya dengan leluasa. Hanya butuh waktu setengah jam, mereka sampai di rumah sakit tempat Hanafi bertugas. Arini sengaja membawa mertuanya ke sini agar Hanafi bisa merawat uminya jika nanti sang umi harus dirawat.

Arini turun dengan tergesa. Arini meminta Annisa dan uminya menunggu di mobil, sementara Arini akan mengambil kursi roda untuk membawa Etek Halimah masuk. Setelah mendapatkan kursi roda dari depan IGD, Arini segera kembali ke parkiran.

"Arini?" Arini mendongak begitu mendengar seseorang memanggil namanya. Dokter Adrian berdiri tidak jauh dari Arini. Sepertinya laki-laki itu baru ke luar dari mobilnya.

"Ya, Dok." Arini mengangguk hormat pada dokter Adrian.

"Buat siapa?" Dokter Adrian menunjuk kursi roda yang didorong Arini.

"Buat Umi, Dok."

"Umi?"

"Ya, Umi Dokter Hanafi, Dok."

"Oh, sini, biar saya aja." Dokter Adrian langsung mengambil pegangan kursi roda dari tangan Arini.

"Eh, nggak usah, Dok." Arini mencoba menolak.

"Sudah, nggak apa-apa. Saya lagi santai kok. Pasien saya masih 1 jam lagi." Adrian tetap bersikeras mengambil kursi roda dari tangan Arini. Akhirnya Arini pun melepaskan tangannya.

Arini membukakan pintu mobil dan membantu menurunkan Etek Halimah berdua dengan Annisa. Etek Halimah terlihat amat lemah. Dengan susah payah, akhirnya perempuan paruh baya itu bisa duduk di kursi roda. Dokter Adrian menunggu dengan sabar.

Bertiga mereka membawa Etek Halimah masuk ke bagian poli. Adrian mengarahkan kursi roda ke ruang tunggu.

"Tunggu di sini, ya. Biar saya daftarkan dulu."

Arini Bias RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang