RINDU

14.6K 386 65
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak dan vote. Terima kasih

Arini duduk sendiri di bangku taman Malioboro. Ucapan dokter kandungan benar-benar mengganggu pikirannya.

"Selamat, ya. Usia kandungan Mbak telah memasuki minggu keenam."

Arini merasa semesta sedang memandang iba padanya. Bagaimana ia akan menjalani kehidupannya selanjutnya? Hamil tanpa sang suami di sampingnya, memiliki anak di tengah pernikahan yang tidak jelas ini. Ah, mengapa hidupnya terasa begitu runyam.

Andai ia menghubungi Hanafi lalu mengatakan jika ia hamil, apa yang akan dikatakan laki-laki itu? Percayakah dia kalau Arini benar-benar hamil meski baru sekali berhubungan? Tetapi, bukankah suaminya itu seorang dokter? Tentu ia lebih tahu tentang hal ini.

Nah, jika Hanafi telah mengetahui, lalu apa yang diharapkan Arini? Mengharapkan laki-laki itu mendampinginya sampai hari melahirkan tiba? Mengharapkan laki-laki itu menerima buah hati mereka? Atau mengharapkan belas kasihani dari laki-laki yang tidak mencintainya itu?

Tidak. Arini tidak akan menjatuhkan harga dirinya lagi di hadapan Hanafi. Arini tidak akan menjadikan janin di perutnya sebagai senjata untuk mendapatkan perhatian laki-laki itu. Ia akan mengurus bayinya seorang diri. Ia akan menjadikan anaknya kelak teman dan sahabat. Tentu amat menyenangkan, karena ia tidak memiliki sanak saudara. Lalu tiba-tiba akan memiliki anak.

Seketika mata Arini berbinar. Pelan dielusnya perutnya yang masih datar. Arini tersenyum.

"Baik-baik di sini, ya, Nak. Kelak kita akan menjalani hari-hari indah dan bahagia berdua." Arini berbisik pelan pada janinnya.

Senja di Malioboro terlihat makin temaram. Para pejalan kaki masih terlihat ramai di sepanjang emperan toko. Para pedagang makin semangat menawarkan dagangannya. Arini bangkit dan berjalan menuju masjid terdekat. Sebentar lagi azan magrib berkumandang. Ia akan sholat dulu sebelum pulang ke rumah kos.

Tadi Arini izin sama Dona untuk jalan-jalan sebentar menikmati angin sore Kota Jogja. Dona sudah menawarkan diri untuk menemani. Tetapi, Arini mengatakan ingin jalan sendiri. Entahlah, tiba-tiba ia ingin menikmati kesendirian untuk beberapa saat.

*****

Arini baru saja akan menutup pintu ketika matanya menangkap sosok laki-laki gagah di depan pagar rumah. Laki-laki itu baru saja turun dari minibus berwarna silver. Mata Arini menyipit. Dokter Adrian. Tetapi, dokter Adrian tidak sendirian. Di sampingnya telah berdiri seorang wanita cantik. Arini membuka kembali pintu yang sudah setengah tertutup. Arini memperhatikan keduanya melangkah menuju rumah. Adrian terlihat menenteng sebuah kantong kertas yang cukup besar.

"Assalammualaikum." Dokter Adrian dan wanita cantik itu mengucapkan salam bersamaan.

"Waalaikumsalam." Arini tersenyum manis. "Silakan masuk." Arini memberi ruang pada Adrian dan wanita itu.

"Sendirian?" Dona mana?" Adrian masuk diikuti oleh si wanita cantik.

"Dona masih di kampus, Da. Silakan duduk, Da, Mbak."

"Oh, iya, kenalkan Arini, ini Sandra, teman Uda." Adrian memeluk pundak Sandra lembut.

Arini mengulurkan tangan, Sandra menyambutnya dengan ramah. Mereka bersalaman dan saling menyebutkan nama. Entah mengapa, tiba-tiba Arini merasa lega melihat sikap mesra Adrian pada Sandra.

"Pacar Uda, ya?" Arini bertanya dengan mata berbinar setelah mereka bertiga sama-sama duduk di ruang tamu.

"Calon istri kalau dia bersedia." Adrian menjawab dengan tertawa seraya melirik Sandra. Sandra tersenyum.

Arini Bias RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang