MALAM TERAKHIR

15.5K 518 53
                                    

JADILAH PEMBACA YANG BIJAK. SILAKAN TINGGALKAN VOTE SETELAH MEMBACA

TERIMA KASIH. LOVE YOU ALL

Setelah Hanafi berangkat ke rumah sakit, Annisa dan Udin pergi sekolah, Arini mencari Etek Halimah ke kamar tamu. Etek Halimah terlihat sedang melipat sajadahnya, sepertinya baru selesai sholat duha. Etek Halimah mengangguk pada Arini, menyuruh Arini masuk. Arini masuk dan duduk di pinggir tempat tidur. Tidak lama, mertuanya pun datang mendekat. Perempuan yang memakai daster batik itu duduk di samping Arini.

"Apa Etek sudah merasa benar-benar sehat?" Arini memperbaiki posisi duduknya sehingga ia bisa menghadap pada mertuanya itu.

"Alhamdulillah, saat ini Etek merasa sangat sehat." Perempuan yang beberapa helai rambutnya sudah mulai terlihat putih itu tersenyum dengan wajah cerah pada Arini.

"Syukurlah, Tek." Arini balas tersenyum.

"Ada apa mencari Etek pagi-pagi?" Etek Halimah menatap ke manik-manik mata Arini. Arini menunduk menghindari tatapan sang mertua. Setelah menarik napas dalam, Arini membuka mulutnya.

"Tek, Arini berniat untuk melanjutkan kuliah." Arini berkata tanpa berani menatap pada Etek Halimah.

"Kuliah? Ke mana? Ke Padang?" Etek Halimah memburu Arini dengan beberapa pertanyaan. Arini menggigit bibirnya, menahan gejolak di dalam hatinya.

"Tidak, Tek. Arini akan melanjutkan ke pulau seberang." Arini menjawab pelan.

"Ke Jawa?" Etek Halimah langsung merasa dadanya ditimpa ribuan ton godam. Terasa sesak sekali.

"Iya, Tek." Arini mengangguk.

"Kenapa? Apa kamu sudah tidak sanggup lagi menghadapi Hanafi?" mata Etek Halimah mulai terasa panas. Begitu juga dengan Arini.

"Tidak, Tek. Aku ..." Arini memalingkan wajahnya ke samping. Satu bulir bening menetes dari matanya. Diikuti oleh bulir bening kedua. Arini menggigit bibirnya menahan isak.

"Pergilah ... Pergilah, Nak, jika itu yang akan membuatmu bahagia." Kali ini pipi keriput Etek Halimah pun telah basah oleh air mata.

"Etek ... maaf ..." Arini sungguh sudah tidak dapat lagi menahan isaknya.

"Tidak, Nak. Tidak perlu meminta maaf. Kamu tidak salah." Etek Halimah menggeleng dan mengambil tangan Arini. Digenggamnya erat tangan menantunya itu.

"Arini mungkin mengecewakan Etek." Arini membalas genggaman tangan mertuanya.

"Kamu sudah melakukan apa yang semestinya kamu lakukan. Etek mengerti jika akhirnya kamu menyerah, karena Hanafi telah bersikap tidak adil padamu."

"Tidak, Tek. Arini iklas menerima semua sikap Uda Hanafi pada Arini. Karena Uda Hanafi telah menjadi bagian dari hidup Arini. Hanya saja ..." Arini mencengkram kasur yang didudukinya. Dadanya kembali terasa sakit mengingat ucapan Bella di kantin Bunda dua hari lalu.

"Apapun itu, Nak. Etek merestui dan meridhoi langkah apapun yang akan kamu ambil. Jika itu untuk kebahagianmu, pergilah, Nak." Etek Halimah menarik tubuh Arini ke dalam pelukannya. Arini menyandarkan kepalanya ke dada sang mertua dengan pipi yang telah basah oleh air mata. Berdua mereka bertangisan dengan dada yang sama-sama sesak.

"Maafkan Etek, Nak." Etek Halimah mencium puncak kepala Arini berulang kali. Arini memejamkan mata mencoba menikmati kasih sayang seorang ibu yang sudah lama tidak dirasakannya.

"Etek tidak salah apa-apa." Arini berkata dengan suara parau. Dua hati yang sama-sama terluka, mencoba saling menguatkan dalam pelukan hangat penuh kasih sayang.

Arini Bias RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang