Ditinggal Ayah

11.1K 225 16
                                    

Datuak Sutan Bandaro telah dipindahkan ke kamar perawatan. Selain karena permintaannya sendiri, kondisi kesehatan ayah Arini ini juga terlihat makin membaik. Datuak Sutan Bandaro menempati kamar VIP di lantai lima. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit swasta terbesar yang baru diresmikan di kota Bukit Tinggi. Di rumah sakit ini juga Hanafi dan Bella bertugas.

Setiap jam bezuk, Etek Halimah dan Etek Pia datang ke rumah sakit. Etek Halimah yang sekarang telah menjadi mertuanya itu selalu membawakan makan siang dan makan malam untuk Arini. Sedangkan Etek Pia membawakan baju ganti untuk Arini. Beberapa kerabat dan saudara-saudara jauh Datuak Sutan Bandaro juga datang membezuk. Pisang, jeruk, papaya, dan roti telah penuh di atas meja. Arini menyuruh Etek Pia untuk membawa pulang sebagian.

Sementara Hanafi sudah dua kali datang membezuk bersamaan dengan uminya, Etek Halimah. Barangkali etek Halimah yang mengajak anaknya itu atau malah memaksanya. Arini tidak tahu. Hubungan Arini dan Hanafi juga masih tetap kaku. Tidak ada kemajuan apa-apa.

Ini hari kedua Datuak Sutan Bandaro berada di ruang perawatan. Kamar yang lumayan besar dan nyaman, membuat Arini tidak terlalu suntuk menunggui ayahnya. Apalagi sebagai anak tunggal, Arini sadar ia tidak punya tempat untuk berbagi tugas. Jadi ia harus dengan iklas menjalani semuanya. Harus iklas seorang diri menunggui dan menjaga ayahnya.

Arini berjalan ke arah jendela. Ayahnya tidur lagi setelah melaksanakan sholat subuh. Dari jendela kamar, gadis itu bisa melihat Gunung Merapi yang berdiri kokoh di kejauhan, matanya juga menangkap puncak jam gadang yang terlihat berkilau ditimpa sinar matahari pagi. Hotel, home stay, distro, gedung-gedung, rumah makan, semua berjejer rapi di sepanjang jalan. Arini tersenyum, kota ini selalu indah di matanya.

Dari lantai lima kamarnya, Arini juga bisa melihat halaman samping rumah sakit yang dijadikan taman. Beberapa orang terlihat sedang duduk di kursi taman. Mungkin ingin berjemur atau sekedar menghabiskan waktu karena suntuk semalaman menunggui keluarga yang sakit. Sedetik berikutnya, Arini menyipitkan matanya. Dari arah koridor rumah sakit terlihat dua orang yang sedang menuju kursi taman. Seorang perempuan yang duduk di kursi roda dan seorang laki-laki yang sedang mendorongnya. Mendadak dada Arini bergemuruh. Dua orang itu adalah Hanafi dan Bella. Lagi-lagi ia harus menyaksikan pemandangan yang tidak mengenakkan itu.

Arini berbalik dan berjalan ke sisi ranjang sang ayah. Terlihat ayahnya sudah bangun dan sedang melihat juga ke arah Arini.

"Ayah sudah bangun?" Arini mencoba tersenyum manis pada ayahnya. Ayahnya tidak boleh tahu dengan perasaannya.

"Ya, Nak. Kamu sudah sarapan?"

"Belum Ayah. Ayah ingin makan sesuatu?"

"Iya, Ayah nggak selera makan sarapan yang disediakan rumah sakit. Ayah ingin makan lontong."

"Baiklah, Ayah. Arini belikan di kantin sebentar, ya."

"Ya, kamu langsung sarapan aja di kantin. Setelah itu baru belikan pesanan Ayah."

"Nggak apa-apa Ayah sendirian di kamar?"

"Haha, kamu ini, Ayah sudah sehat. Kamu lihat kan?"

"Hehe, iya Ayah. Kalau gitu, Arini ke kantin bentar, ya, Yah."

"Ya, nggak usah terburu-buru. Kamu juga perlu angin segar."

"Ya, Ayah." Arini mengangguk.

Setelah merapikan selimut ayahnya, Arini pun melangkah ke luar kamar. Arini memilih turun melalui tangga untuk ke kantin di lantai satu. beberapa hari hanya duduk diam di rumah sakit, membuat tubuhnya terasa pegal dan kaku. Mungkin dengan turun naik tangga beberapa lantai bisa melemaskan otot-otot tubuhnya.

Arini Bias RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang