💖Chapter 6 : Harga diri Sang ketua osis.

116 15 11
                                    

Pertemuan yang hanya sekali, biasa aja. Tapi ... kalau sering, sungguh mencurigakan.

Mysha Gladis Madison

Senin pagi termasuk waktu yang sangat meresahkan bagi siswa-siswi yang menghuni gedung ini. Teriknya fajar mulai memberikan hawa panas menerpa tubuh mereka sedari berdiri di lapangan. Sehingga, ada yang cemberut, mengibas-ngibas tangannya, menggerutu, bergelut sesama teman, ada pula yang pingsan. Nah, poin terakhir ini sangat mencurigakan bagi Mysha Sang ketua osis. Mengapa tidak, baru saja mereka dibariskan kurun waktu lima belas menit, yang pingsan sungguh banyak, seakan-akan murid yang sekolah di sini mengidap penyakit jantung saja. Rekor paling terbanyak dipecahkan oleh siswi di sini. Salah satu korban paling parah adalah si Jaenab. Paling parah lebaynya mungkin.

Jaenab Febrina Gea adalah siswi sekelas dengan Mysha. Centil, memakai make up setebal lima senti, muka merah kayak ditonjok preman parkiran, menor sekali bukan, terlihat tak lebih dari kuntilanak mau kencan. Dari kelas sepuluh dia selalu seperti itu. Mungkin saja tasnya dipenuhi alat-alat make up saja. Lebih herannya lagi, kenapa setiap upacara selesai tubuhnya kembali sehat sempurna. Kepala sekolah menyarankan dirinya agar mengikuti tes kesehatan. Anehnya, hasil visum mengatakan bahwa Jaenab Hartuti baik-baik saja alias sehat wal'afiat.

Mysha berdiri di barisan perempuan paling depan. Sesuatu mengganjel di benaknya.

Tumben tuh anak belum pingsan. Biasanya lima belas menit yang lalu seharusnya udah ada di tandu. Batin Mysha sembari menengok ke belakang.

Mysha selalu kesal dengan perilaku Jaenab, karena dia selalu melanggar aturan-aturan Mysha selaku ketua osis. Tidak ada hari kalau tidak ribut dengan gadis centil itu.

Ih pak Tono ... kelamaan banget sih pidatonya. Padahal ... pidato dikemukakan intinya itu adalah kita harus mencintai bangsa dan negara.

Pak Tono memperhatikan sekelilingnya. Terlihat para murid terlihat lesu mendengarkannya pidato. Mengapa tidak, pidatonya sudah sampai ke menit sembilan puluh disebut juga telah mencapai satu setengah jam.

Pak Tono menghela nafasnya. "Baiklah, inti yang harus kita kutip dari pidato ini adalah kita--tolong digaris bawahi, kita harus mencintai bangsa dan negara. Mengerti!" tegas pak Tono.

"Mengerti," balas semua murid pasrah. Pak Tono tersenyum puas. "Bagus! Sekarang kita kedatangan pemimpin tertinggi sekolah ini. Mari kita sambut, Marvin Allaver," titah pak Tono menyilahkan.

Dug

Mulut Mysha menganga lebar.
Jantung Mysha berdebar kencang. Lagi-lagi nama lelaki itu terdengar jelas di telinganya. Semoga saja hari ini ia tak terkena masalah lagi.

Mysha mencoba memperhatikan wajah lelaki yang mengambil alih tempat kepsek botak itu berdiri sedari tadi.

Kok bisa sih dia ada di sini. Mysha tak menerima.

Marvin berdiri gagah dengan tuxedo dongker di tubuh kekarnya. Karena matahari semakin terik, ia tak melepaskan kacamata hitam menutupi bola mata cokelat pirangnya itu.

"Baik, kedatangan saya ke sini adalah untuk memberitahukan kalian semua bahwa sekolah kita telah menjalin kontrak kerja sama dengan delapan negara. Salah satunya adalah Canada."

Suara riuh tepuk tangan meramaikan suasana sekolah. Sedari tadi murid yang mengeluh kini penuh semangat mendengarkan apa yang dilontarkan oleh Marvin kecuali Mysha.

Not Love But Menikah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang