Gadis Kecil Ayah

207 17 33
                                    

"Bagi anak perempuan,
Ayah adalah cinta pertama. Namun, bagi Ayah,
anak perempuan adalah
jantung hatinya."

***

"Ibu ... minta uit." Kutadahkan tangan pada Ibu yang sedang menyiram bunga.

"Ga ad duit, jangan jajan-jajan aja," ucap wanita tinggi itu seperti biasa.

"Tadi Abang minta ada! Adek minta ga ada!" Suaraku mulai meninggi.

"Minta sama Ayah, sana!" ucap bibir tipis tanpa lisptik, milik wanita yang telah melahirkanku.

Kuputuskan duduk di depan pintu. Tidak berselang lama, di kejauhan kulihat Ayah baru pulang bekerja.

"Ayah ...." sambutku berlari. "Ayah, minta uiiit, mau jajan," renggekku sambil memeluk kaki Ayah.

Lalu, lelaki tinggi berkulit coklat itu menggendongku. Dengan lembut ia berkata, "Adek mau jajan apa? Ini Ayah bawa kue kesukaan Adek." Ayah memberikanku  kantung plastik dengan nama toko yang sudah kuhapal luar kepala.

"Tapi, Adek mau jajan, Ayaaah," rengekku lagi.

"Ya, udah. Ayo, ke kede."

Seperti itulah Ayahku. Tubuh yang lelah belum ia sandarkan. Wajah penatnya belum ia segarkan. Kakinya yang seharian di luar bahkan belum memijak rumah. Tapi, Ayah menggendongku membeli jajan, yang pada akhirnya tak kumakan. Ibu menyebutnya kenakalan. Ayah menyalahkan jajanan. Gadis kecil Ayah tidak pernah salah.
***

"Abang dikasi seribu. Adek lima ratos." Lagi-lagi aku membuat keributan di pagi hari.

"Adek masih kelas satu. Ngapain jajan banyak-banyak. Abang udah kelas enam, udah besar. Jangan jajan banyak-banyak, nanti bodoh," ucap Ibu sambil mencepol rambut gelombangnya. Aku diam dengan mulut maju ke depan.

"Ayo, sini. Ayah antar sekolah," ucap Ayah di ambang pintu. Bersiap ingin berangkat kerja. Tapi, malah mengantarku dan Abang sekolah. Sesampainya di sekolah, Abang pergi ke kelasnya duluan. Sedang aku diantar sampai ke depan kelas. Ayah berjongkok di hadapanku. Menyodorkan uang lima ratus. Aku menatap Ayah sumringah.

"Jangan dihabisin semua, ya. Setengahnya disimpan. Banyak-banyak jajan nanti bodoh." Aku menyanggupi permintaan Ayah. Nyatanya, uang lima ratus diberi Ibu pun tak habis. Hati kecilku hanya ingin bagian yang sama dengan Abang. Ibu menyebutnya kenakalan. Ayah menyebutnya keadilan. Gadis kecil Ayah tidak pernah salah.
***

"Ayah ... Ayah, di sekolah, teman-teman adek semua pakek gelang. Adek aja yang ga ad." Saat SMP, aku mulai menaruh minat pada perhiasan. Aku pernah minta pada Ibu. Ibu bilang Ayah tidak punya uang. Sebab, harga perhiasan yang kumau mencapai angka jutaan.

"Adek mau gelang? Nanti, kita beli, ya?!" ucap Ayah sambil mengusap kepalaku.

"Adek mau kalung aja, Yah."

"Iya, nanti kita beli, ya." Ayah memang begitu, tidak perlu meminta. Cukup cerita, Ayah langsung tahu apa yang kumau.

Setahun, dua tahun, tiga tahun, kata nanti Ayah tak kunjung tertepati. Hingga aku lupa apa yang kupinta. Tapi ...

"Adek ... Adek ...," panggil Ayah. Pulang-pulang, ayah menyodorkanku dompet berbulu. Melihat isinya, aku terkejut bukan main. Sebuah kalung yang dijanjikan Ayah dulu. Kata Ayah, hadiah ulang tahunku kesembilan belas. Bagiku, ini janji Ayah yang dibayar lunas.

Ayahku memang begitu. Ayah selalu bilang nanti. Tidak ada kata 'tidak', 'ga ada uang', atau sejenisnya. Saat kutanya, kenapa selalu bilang nanti, kata Ayah 'rezeki ke depan ga ada yang tahu. Dengan kata nanti, kita tidak mematikan harapan seseorang. Siapa tahu, dengan Ayah bilang nanti, keluar rumah dapat rezeki'. Anehnya, Ayah selalu ingat dengan kata nantinya. Ucapan Ayah benar. Selalu benar.
***

"Kamu ga boleh nikahi dia!" ucap Ayah dengan wajah memerah. Ini kali pertama, Ayah bicara dengan nada yang tinggi.

"Tapi, dia serius dengan Seruni, Ayah. Seruni udah dua puluh empat tahun, udah tau mana yang baik, mana yang enggak. Ayah bilang ga boleh menilai orang dari kerjaannya!" ucapku dengan suara yang lebih tinggi.

"Bukan masalah pekerjaannya, Adek. Masalahnya, dia bukan pria yang bertanggung jawab. Bagas itu pemalas. Kerjaannya nongkrong ga jelas. Apa Adek ga lihat?"

Malam harinya, aku meninggalkan lelaki yang mencintaiku sepenuh hati demi lelaki yang baru tiga tahun kukenali. Kami menikah, tiga bulan pertama, semua baik-baik saja. Aku bangga, ternyata dugaan Ayah salah. Ya. Untuk kali ini, nasihat Ayah salah.

Hingga tahun pertama, Mas bagas mulai malas bekerja. Aku ke rumah-rumah tetangga mengambil upah cuci baju dan setrika. Dulu, aku tidak pernah bekerja.

Tahun kedua kelakuan Mas Bagas semakin parah. Berjudi. Pergi malam pulang pagi. Lalu, tidur sepanjang hari. Seringkali, kristal bening itu menelusuri pipi, menyesali nasibku kini. Namun, ego lagi-lagi menahan diri untuk kembali pada lelaki yang mencintaiku sepenuh hati.

Hingga tahun ketiga, tangan Mas Bagas seringkali mendarat di pipi. Uang pencarianku habis untuk mabuk-mabukan dan berjudi. Aku tak sanggup lagi. Kuputuskan kembali.

"Maafkan Seruni, Ayah." Isakku bersimpuh di kaki lelaki yang kini tampak lebih tua. Sejak aku pergi, kata Ibu, Ayah sakit-sakitan. Kurang tidur malam. Wajah Ayah tampak kuyu, binarnya sendu menatapku.

"Enggak pa-pa. Jangan nangis, kamu masih muda wajar melakukan kesalahan. Ayah ga marah, kok, tapi jangan diulangi lagi ya, Nak. Kamu satu-satunya anak gadis Ayah, kalau kamu pergi, ayah gimana?" tanya Ayah lembut sambil mengusap kepalaku. Matanya memerah, kesedihan terlihat jelas di sana.

Sesak menghujam dada. Jantungku bagai diremas. Hingga bulir-bulir di pipi mengalir semakin deras. Sesalku bagai godam yang menghancurkan hati.

Kini aku sadar, tidak ada lelaki yang lebih mencintaiku melebihi Ayah. Tidak ada penjagaan setulus hatinya. Di matanya, aku selalu kecil, bukan karena dianggap tak dewasa melainkan karena penjagaan, cinta dan kekhawatirannya tidak pernah termakan usia.

Mungkin bukan hanya aku. Banyak di luar sana, anak gadis salah mengartikan kekhawatiran seorang Ayah sebagai pengekangan. Aku menyesal karena tidak mengikuti nasihat Ayah. Jadi, kau jangan sampai menyesal juga. Kini, hanya air yang berurai di mata mewakili sesal di dada. Karena aku sadar, permintaa maafku tak'kan menghilangkan bekas luka di hati Ayah.

"Sudah, jangan nangis. Suamimu biar Ayah yang kasi pelajaran," ucap Ayah dengan tangan terkepal.

"Sudahlah, Ayah. Seruni mau cere, aja."

"Lelaki itu harus diberi pelajaran. Ayah saja ga pernah nyelentik kupingmu, seenaknya saja dia memukulimu. Kamu bukan hanya istrinya, tapi juga putri dari seorang Ayah. Memangnya, dia sudah merawat dan mengasihimu, lebih banyak dari Ayah. Enak saja dia main pukul! Dunia boleh menyakitiku, tapi jangan sentuh gadis kecilku!" ucap Ayah menggebu-gebu. Gurat-gurat amarah tercetak jelas di wajahnya yang memerah.

Ayah memang begitu, dia pahlawanku. Selalu membela ketika aku dimarahi Ibu. Selalu melindungi ketika ada yang ingin menyakiti. Kata Ibu, aku terlalu dimanja. Kata Ayah, aku jantung hatinya.

Jika, kata anak perempuan seorang Ayah adalah cinta pertama. Maka bagi Ayah, anak perempuan adalah jantung hatinya. Begitu kata Ayahku.

Tamat

Langsa, 14 Juli 2019

Jejak-Jejak KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang