Kolak Pisang

44 6 37
                                    

"Orang bilang, jangan tunggu susah dulu untuk merasakan kesusahan orang lain. Nyatanya, kebanyakan orang baru benar-benar memahami, setelah mengalami sendiri. Jika tidak, jangankan untuk mengerti, untuk berempati saja sulit sekali."

****

Aroma santan yang gurih, beserta rasa pisang yang manis, ditambah harum pandan yang semakin menyesakkan rongga hidungku. Sesekali, tampak tangan Buk Sumiarti mengangkat centong dan menuangkan isi dalamnya perlahan, perutku semakin terasa bergejolak. Bagaimana tidak, aku hanya bisa menatap selera melalui jeruji jendela.

Rumahku tepat di belakang rumah Buk Sum. Pintu depan rumahku hanya berjarak tiga langkah dari pintu belakang rumahnya. Jendela kami pun berhadapan, kebetulan wanita paruh baya tersebut meletakkan kompor di depan jendela, hingga tak jarang, apa yang ia masak terlihat dari rumahku.

"Tutup jendelanya!" Suara Ibu mengagetkanku yang sedang asik menonton tangan Buk Sum mengaduk-aduk kolak pisang yang ia masak. Aku melirik jam, masih jam lima sore. Biasanya, Ibu baru menutup jendela menjelang maghrib. Kendati begitu, aku tetap menutup jendela seperti yang Ibu mau.

"Bu, mau kolak pisang." Setelah menutup jendela aku menghampiri Ibu di kamar, di rumah sepetak ini, kami hanya tinggal berdua. Bapak sedang merantau di luar kota.

Ibu hanya diam tak menanggapi.

"Bu, aku mau kolak pisang," ulangku. Ibu hanya menatapku sekilas, lalu mengambil keranjang dan mulai melipat cucian kering milik kami dan juga tetangga.

"Kolak, Buuu, kolaaak." Aku mulai merengek karena merasa Ibu tak menanggapi seperti yang kumau.

"Nanti, kalau Bapak sudah kirim uang, Ibu belikan."

"Ck, cuman tiga ribu pun, Buk. Ibu kan baru gajian."

Pekerjaan Bapak di luar kota hanya sebagai kuli bangunan, kiriman uangnya tak mencukupi kebutuhan. Hanya cukup untuk bayar listrik, kontrakkan dan air. Itu pun listrik dan air, kami mengambil dari rumah Buk Sum dan membayarnya tiap bulan. Tidak ada apa-apa di rumahku, hanya ada lampu kamar mandi yang dibagi dengan dapur, lampu kamar dibagi dengan ruang tamu.

"Gaji Ibu buat bayar uang sekolah sama uang ngaji kamu."

Lalu Ibu beranjak ke dapur, aku mengikutinya. Kulihat Ibu mengambil arang dan membakarnya di dalam setrikaan. Ya, Ibu masih menyetrika dengan setrikaan arang.

Untuk menambah penghasilan, Ibu mengambil upah mencuci baju dan menyetrika milik tetangga. Tidak banyak, hanya dua pintu rumah saja. Aku berusia delapan tahun, tak ada yang bisa kukerjakan untuk menghasilkan uang. Pernah sekali, aku menjual risol punya teman di sekolah, hasilnya Ibu marah habis-habisan. Pasalnya, aku terlalu sibuk dengan dagangan, sampai tugas sekolah pun terabaikan.

"Masa tiga ribu aja ga ada, Bu." Aku mulai kesal, tidak percaya Ibu tidak memiliki uang dengan jumlah segitu. Ibu tak menanggapi, hanya diam sambil mulai menyetrika.

"Kolak, Buuu, kolak." Aku mengesekkan kedua kaki di lantai, airmata pun mulai berderai.

"Kolaak."

Ibu bergeming.

"Kolak, Buuu. Aku mau kolaaak," tangisku mulai kencang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jejak-Jejak KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang