Assalamu'alaikum, Qalbi

34 7 11
                                    

"Setahun berlalu, rindu ini tak kunjung layu. Hanya saja, ia tak lagi meraung temu. Melainkan menjerit pilu."


***

"Assalamu'alaikum, Qalbi," Iris coklat itu memandangku. Binar sendu menggetarkan kalbu, mengantarkan dentum-dentum rindu.

"Wa'alaikum salam. Aku masih marah!" rajukku membuang muka. Tak ingin menatap wajahnya lama-lama.

"Maaf, 'kan Abang, my Qalbi ...," rayunya. Lelaki berkulit sawo itu tersenyum sendu, kala pandangan kami beradu. Duh, dadaku berdebar tak menentu.

"Ngapain Abang ke rumah Qalbi" rutukku. "Sana! Kerja aja sana! Aku ga mau liat, Abang!"

Sudah dari kemarin aku menahan semua kekesalan, saat melihatnya semua termuntahkan. Seakan lahar panas meluap dari dalam dada, lahar yang tanpa kutahu, kini membakar jiwa dan raga, menyisakan isak dalam penyelesaian yang meronta.

"Yakin, ga mau lihat abang? Abang ngangenin loh ...?" Ia tersenyum genit, hingga menunjukkan lesung pipit di ke dua pipi tirusnya.

"Dih, apaan! Aku ga pernah tuh, kangen Bang Fajar," balasku dengan wajah yang tertekuk dalam.

Lagi, lelaki yang kucintai tujuh tahun belakangan ini tersenyum geli.

"Qalbi Senja, Abang ga lupa, kok. Sungguh, Abang ingat hari ini tepat tujuh tahun hubungan kita. Makanya Abang ...."

"Boong! Abang Boong! Kalau ingat, kenapa baru datang sekarang! Satu lagi, tujuh tahunannya kemarin, Abang. Kemarin!" bentakku. "Abang jahat!"

Bendungan itu akhirnya pecah, hingga airnya melimpah ruah. Membanjiri kedua pipi, menyesakkan hati.

Lelaki jangkung berkulit sawo matang itu berpindah duduk di sampingku. Saat ini kami sedang duduk di ruang keluarga rumah. Ayah dan Ibu di kamar. Dia mengusap kepalaku lembut. Hati berdenyut. Kata putus tertelan kembali.

Sambil menyodorkan kotak beludru warna merah, ia berujar, "Ayo! menikah, Bi! Jangan terus mengitung hari jadi. Abang ga lupa, kok. Sungguh ... Abang, 'kan cuma mau kasi kejutan aja. Abang romantiskan, Bi?"

***
Aku tergugu. Menangis pilu. Kupukul-pukul dada ini berharap sesaknya menghilang. Luka ini belum juga mengering. Sakitnya masih sama seperti kemarin.

"Aku rindu kamu, Bang," lirihku pedih. Binarku nanar memandangi cincin bertahtakan permata biru. Warna kesukaanku dan juga dirinya.

Bersambung ....
Lanjut tidak, nih?


Jejak-Jejak KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang