Mimpi Anak Si Tukang Cuci

86 9 35
                                    

"Hidupmu urusanmu, mulut mereka urusan Tuhan. Roda hidup terus berputar. Nasib akan tertukar."

****

Mengenakan atasan putih kusam penuh jahitan, serta rok merah yang bagian belakangnya menipis, kaki berbalut sepatu hitam yang bolong bagian depan, melangkah menelusuri jalan sempit di pematangan sawah. Aku siap menenun mimpi.

Sepanjang perjalanan banyak mata memandang. Ada binar kasihan. Ada binar meremehkan. Tapi, netra mereka bukan tujuan. Tujuanku gedung kumuh tempat menimba ilmu. Tidak ada gedongan untuk gratisan, begitu kata penduduk desa. Untung saja, ilmu tidak memilah-milah untuk singgah. Jika tidak, matilah mimpiku.

"Besok bajunya ganti, ya?" ucap guruku. Dari aku duduk di bangku kelas tiga hingga kelas lima, itu-itu saja yang disuruh guru. Hingga banyak teman-teman menawarkan seragam bekasnya. Aku malu, bahkan lebih malu daripada memakai seragam koyak.

Bel berbunyi, tanda jam istirahat dimulai. Seluruh anak di kelas menghamburkan diri. Aku? Aku mengeluarkan bekal dari Ibu. Karena setiap berangkat tak pernah sarapan, Ibu menyiapkan bekal. Teh manis yang dimasukkan ke dalam botol aqua ukuran sedang. Ya. Hanya teh manis, yang kadang-kadang terasa hambar.

Satu per satu teman masuk ke kelas dengan tangan penuh jajanan. Aku menyibukkan diri dengan buku. Pura-pura sibuk tepatnya.

"Mau? Aku dah kenyang," kata teman yang duduk di depan bangku, sambil menyodorkan makanan bekas gigitannya.

"Enggak, makasi." Tolakku sembari tersenyum. Kata Ibu, jangan terima sisa makanan orang, nanti aku disepelekan.

Teman sebangkuku kembali dengan menjinjing plastik penuh makanan. Ia meletakkannya dalam laci, agak menjorok keluar. Lalu, mencolek pahaku.

"Ambil aja kalau mau," ucapnya berbisik. Dia satu-satunya teman yang kalau menawari makanan selalu berbisik pelan.

Di kelas enam, kelas kami kedatangan siswi baru. Entah apa yang dipikirkan guru, aku dipindahkan duduk di belakang seorang diri. Menjadi awal beratnya aku meraih mimpi.

Bagaimana tidak, kelas enam sistem belajar menggunakan buku cetak Erlangga. Harganya setara sekarung beras. Kuputuskan untuk tidak bilang pada Ibu.

Jadi beginilah caraku belajar. Menumpang buku pada meja teman di depan bangku, sedang aku berdiri. Ya. Aku berdiri sambil menulis. Jika sedang baik, mereka mengajakku duduk bertiga. Jika sedang buruk, bahkan bukunya ditutupi dengan tangan. Jadilah aku, mencari meja lain yang bisa kutumpangi menulis sambil berdiri. Aku tidak mengeluh pada Ibu. Bagiku, itu caraku mewujudkan mimpi.

Lalu, apa mimpiku? Nanti kau akan tahu sendiri.
***

"Udah, ga usah lanjutkan SMP. Bantuin aja Ibu kau nyuci di rumah tetangga," kata Buk Wita yang selalu melarang anak gadisnya bermain denganku, anak tukang cuci, katanya.

"Iya. Ga ada duit mamakmu nyekolahkan kau. Uang sekolah iyalah gratis, karena ada BOS. Ongkos kau tu, kemana mamak kau cari. SMP jauh dari sini," sahut Buk Ana. Yang kalau buang sampah tepat di bawah jendela kami. Padahal, halamannya masih tanah kami.

"Untuk makan aja susah, Ja," sambung Pak Wan suami buk Ana. Yang kalau berzakat pada Ibu selalu berkata 'aku ini bingung mau zakat sama Kakak, janda bukan punya suami pun bukan'. Jangan tanya ke mana Ayahku. Dia sudah lelap dalam pelukan wanita lain.

Jejak-Jejak KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang