Gadis Buluh Perindu

46 7 41
                                    

"Tiada lekang wajah terkenang. Sebab suaramu, bak buluh perindu."

****

Tersentakku dari lelap. Nun di halaman belakang rumah, terdengar alunan yang begitu sayu mendayu, begitu sendu, seakan kesedihan sedang dikabarkan pada desau angin.

Aku melangkah ke balkon kamar. Duduk di sana, demi memandang sebuah gubuk yang bahkan tak sebesar kamar mandiku. Dindingnya terbuat dari bambu dengan beratapkan daun rumbia. Dari sanalah, terdengar alunan itu. Setiap malam, mengusik mimpi serta hati. Sebab, kutahu lelaki bermata madu itu, sedang terjaga di sana. Entah sedang memikirkan apa atau siapa.

Kukatupkan kedua netra. Meresapi setiap alunan yang ada. Semakin hari, semakin bergejolak rasa dalam dada. Menghentak-hentak, hingga kadang membuat sesak. Mencabik-cabik, setiap rindu yang kususun apik. Hingga, aku tak sanggup lagi untuk menampik.

Suara sayu nan merdu itu kian merasuk kalbu, memporak-porandakan hati dan kewarasan diri. Hingga, membawa kaki menelusuri rumput-rumput basah yang bermandikan embun dini hari. Tanpa sadar, aku telah berdiri di sini.

Kuketuk pintu gubuk tua di pekarangan belakang rumah, milik sahabatku sejak kecil. Ia anak ibu pengasuh dan sekarang menjadi tukang kebun di rumahku. Ibu pengasuh telah lama tiada, sekarang dirinya tinggal sebatang kara. Sebab itu jugalah, Ayah mengizinkannya tinggal di sini. Suara buluh terhenti, terdengar langkah kaki mendekat.

Cekreeek.

Wajahnya menyembul dari balik pintu. Hidung tinggi dengan bibir semerah delima, wajahnya bersih nan menawan, membuat siapa saja terpesona.

"Jasmine?" Mata sayu di bawah naungan alis yang tebal itu terbelalak. Nampaknya, ia cukup terkejut, melihatku berdiri di depan rumahnya pada dini hari begini.

Aku mendorong Samir. Membuatnya mundur beberapa langkah. Menerobos masuk dan kututup pintu.

"A--apa yang kau lakukan di sini, Jasmine? Larut malam begini, keluar kau!"

"Hohoho. Kau berani mengusirku, heh? Anak majikanmu?"

Aku berjalan mendekati tubuh tinggi tegap itu. Bidang bahunya yang lebar, seringkali membawa akal berfantasi liar. Satu langkah kakiku maju, satu langkah ia mundur. "Kenapa Samir ... kau takut?"

Kutarik tali piama sutra yang membungkus diri. Hingga tubuh polos terekspos seutuhnya. Aku memeluknya. "Tidurlah denganku, Samir. Besok rombongan dari kota seberang akan tiba untuk melamarku. Bertahun-tahun sudah aku memendam cinta untukmu."

"Tidak, Jasmine. Demi Allah, lepaskan aku!"

Samir menarik dan menahan bahuku, kedua netranya menatap tajam. Di mata teduh itu, dapat kurasakan kemarahan.
Aku berusaha merapatkan dada sekalku di tubuhnya, tetapi tangannya terlalu kuat menahan. Kupikir, tidak akan ada lelaki yang bisa menolak tubuh molek ini. Namun, Samir bahkan tak melirik, walau hanya sekejap.

"Ayolah, Samir. Aku tahu kau juga mencintaiku. Jika aku mengandung anakmu, Ayah pasti akan segera setuju."

"Kau gila, Jasmine! ucapnya membentak, "wanita dihargai sebanyak ia menghargai dirinya sendiri. Tidakkah kau paham itu, hah?! Kau tak ingin menjadi permata dunia? Menjadi Fatimah untukku? Jika kau memilih cara setan, bagaimana Lillah akan rida?"

Samir membalikkan tubuhnya yang terbungkus baju muslim berwarna putih. Kulihat ia mengusap wajah seraya mulutnya terus beristighfar. Aku tergugu, kata-katanya bak petir menyambar hati, segala rasa bercampur mengundang angkara. Penolakan Samir melucuti harga diriku hingga tak tersisa. Namun, kutahu bukan ia yang membuat hati dicengkeram amarah. Melainkan diriku sendiri.

Jejak-Jejak KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang