Perjuangan Seumur Hidup

61 8 20
                                    


"Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama."

***

"Mas, kamu itu keluyuran mulu. Giliran aku ajak keluar, kamu ga bisa. Giliran temanmu yang ngajak, kamu langsung iya!" ucapku menggebu-gebu. Dadaku sesak, kepala rasanya mau meledak.

"Aku capek kerja seharian. Aku butuh waktu bersenang-senang, Day!" ucap Mas Arga dengan nada tinggi. Lalu tubuhnya menghilang di balik pintu yang dibanting keras. Kurasakan air hangat merembes di kedua pipi, semakin lama semakin deras.
***

Aku terbangun dari tidur. Sebab, tenggorokkan terasa kering. Air putih yang selalu tersedia di atas nakas ternyata habis. Kulihat jam sudah pukul satu dini hari. Bagian kasur di sebelahku tak berpenghuni.

Dengan mata yang masih mengantuk, aku beranjak ingin mengambil minum. Namun, sebelum tiba di dapur langkah terhenti. Ada Mami dan Mas Arga sedang berbincang di meja makan.

"Kamu itu bukan anak lajang lagi. Bukan kamu aja yang capek kerja seharian. Istrimu itu juga penat. Dari terbuka mata sampai tertutup mata, pekerjaan rumah ndak ada habisnya. Dia juga butuh udara segar. Beruntung, istri kamu itu ndak pernah kelayapan. Mau kamu, istrimu kelayapan sendiri?" Dari tempatku berdiri, masih dapat terdengar sayup-sayup suara Mami memarahi anak semata wayangnya.

"Maaf, Mi. Arga salah," ucap Mas Arga dengan kepala tertunduk. Aku hanya mengamati di kejauhan. Itu urusan ibu dan anak, pikirku.

"Istri bukan pajangan, Arga! Kalau kamu tidak siap mengistimewakan Daisy, tidak seharusnya kamu mengikatnya dalam pernikahan. Mami juga wanita, Mami tau yang Isy rasa. Muliakan dia seperti kamu memuliakan Mami."

Mas Arga hanya diam saja. Kepalanya masih tertunduk. Kuputuskan kembali ke kamar. Rasa hausku menguap entah ke mana.

Lama aku berbaring, kantuk belum juga menjemput. Terdengar derik pintu, lalu kurasakan seseorang naik ke ranjang. Tangan besar dan hangat mengusap kepala, lalu diberikannya juga kecupan lama di sana. Aku masih betah menutup mata. 'Maafkan Mas, Dayang', ucap pemilik tangan besar itu. Lalu mendekapku.

Keesokan harinya, aku masih bersikap dingin. Segala keperluan Mas Arga masih kusiapkan. Hanya saja, berbicara dengannya masih terasa enggan. Bahkan, melepasnya pergi bekerja kulakukan dalam diam.

Ketika ingin kurapikan meja makan. Kulihat Mami masih duduk di sana. Tidak seperti biasanya.

"Loh, Mi. Belum keliling, Mi?" tanyaku pada wanita yang masih betah dengan kebaya dan kain jariknya. Tidak lupa dengan tusuk konde yang selalu menghiasi kepala serta kaca mata tuanya. 'Zaman boleh berubah, Mami tetap cinta budaya'. Begitu kata Mami, ketika kutawarkan baju ala ibu-ibu tetangga.

"Mami, mau keliling di hati anak Mami dulu," guyon Mami. "Duduk sini."

"Apa-an sih, Mi," ucapku tersipu malu. Lalu, duduk di samping Mami.

"Nduk, pernikahanmu ini usianya masih baru. Masih setahun, toh? Kamu harus banyak-banyak sabar, yo, Nduk. Arga itu memang anaknya keras kepala, tapi hatinya lembut. Kalau suamimu api, kamu harus bisa jadi airnya, Nduk," ucap Mami sambil mengenggam kedua tanganku.

"Susah, Mi. Isy susah mengontrol emosi, Mi. Mas Arga kalau dikasi tau, ngeyel. Isy kesel." Kuseka air mata. Dengan Mami, aku bisa mencurahkan segala rasa. Mami memang mertua. Tapi, ia menyayangiku seperti putri sendiri. Aku yang besar di panti, tidak pernah tahu kasih sayang seorang Ibu. Dari Mami, aku mendapatkan itu.

Mami mengusap kepalaku lembut. Senyum kasihnya tidak pernah surut.
"Mempertahankan rumah tangga itu perjuangan seumur hidup, Nduk. Usiamu masih muda, wajar kalau kamu masih mengedepankan egomu dalam menghadapi masalah. Tapi, ga mungkin selamanya begitu, toh? Kalau ada yang mengganjal di hatimu, langsung bicarakan. Jangan dipendam. Nanti meletus, dor! Hahaha," gelak Mami.

"Mami, ih. Isy akan belajar, Mi. Makasi ya, Mi, petuahnya." Kupeluk wanita paruh baya itu.
***

"Dayang ...," bisik merdu Mas Arga di daun telinga. Kulihat pantulannya dari kaca, ia masih memakai baju kerja. Aku sedang duduk di meja rias, mengeringkan rambut sambil memikirkan petuah Mami. Hingga, tanpa kusadari Mas Arga sudah memeluk pinggang dengan mesra dan berbisik manja.

"Dayang, Dayang ... Dayang," Kebiasaan Mas Arga, jika ucapannya tidak disahut, maka ia akan memanggil namaku berkali-kali sambil mencium pipi. Oh, iya, Dayang singkatan dari Daisy sayang ya, bukan pelayan ratu. Panggilan khusus Mas Arga terhadapku. Jomlo ga boleh baper loh, ya?

"Iya, Mas," sahutku akhirnya. Atau, tingkah lakunya takkan terhenti. Sebenarnya aku menikmati. Hanya saja, kasihan kalian yang masih belum punya suami atau istri. Lagi pula, tidak baik mengumbar kemesraan di publik, kata Mami.

"Kencan, yuk, Day," ajak Mas Arga bagai petasan yang meletus di hati. Bukan apa, setahun menikah ini kali pertama terjadi. 'Senangnya dalam hati', eh?

"Malas. Aku capek," jawabku acuh padahal mau. Wanita 'kan memang begitu.

"Pokoknya kamu siap-siap. Dandan yang cantik, tapi jangan terlalu cantik, nanti banyak yang melirik. Aku mandi dulu, jam delapan kita dinner di restoran tempat aku melamar kamu dulu, oke?" Tanpa mendengar jawabanku, tubuhnya telah menghilang di balik pintu. Entah karena tidak ingin mendengar penolakan lagi. Entah karena dia tahu keinginanku dalam hati.

Sebenarnya, aku juga tidak akan menolak. Bukan hanya karena mau setengah mati, tapi karena aku juga ingat petuah Mami tadi pagi. Bahwa, istri harus menjadi air untuk suami. Kurasa Mas Arga juga mengamini nasihat Mami.

Petuah Mami bagai jembatan dalam pernikahan kami. Setiap kali bertengkar, petuah Mami adalah perekatnya. Bukan hanya satu dua kali pertengakaran itu terjadi. Seperti kata Mami 'pernikahan adalah perjuangan seumur hidup'. Hem, Kurasa akan banyak yang menginginkan mertua seperti Mami. Bukankah begitu?
***

"Mau berangkat, Mi?" tanyaku sambil menyapu halaman. Mas Arga sudah ke pabrik lima belas menit yang lalu.

"Iya, Nduk," jawab Mami yang sibuk membenarkan kain gendongnya.

"Biar Isy antar aja deh Mi, jamunya. Mami di rumah aja, ya?"

"Ndak usah, Nduk. Biar Mami aja. Sekalian silaturahmi. Silaturahmi bisa memperpanjang umur, toh? Mami berangkat, Nduk. Hati-hati di rumah. Jangan lupa kunci pintu dan ja ...."

"Jangan bukain pintu untuk orang ndak dikenal. Gitu toh, Mi?" guyonku mengikuti logat Mami. Lalu, kami tertawa bersama.

Mami melambaikan tangan. Lalu melangkah bersama tubuh rentanya. Dulu, Mami menjual jamu gendong keliling. Membesarkan Mas Arga seorang diri. Papi meninggal ketika Mas Arga berusia satu tahun. Setiap hari, di belakang, Mami menggendong jamu. Di depan, Mami menggendong Mas Arga. Terpaksa dibawa karena tidak ada yang menjaga. Mami tidak punya sanak saudara.

Ketika Mas Arga berusia lima tahun. Ada sebuah pabrik jamu menawarkan kerja sama pada Mami. Allah memang menyayangi hambanya, usaha bersama itu maju pesat. Sekarang, pabrik cabang di pimpin Mas Arga sendiri.

Hidup senang tidak membuat Mami lupa diri. Setiap hari, Mami membagikan jamu gendongnya secara cuma-cuma di perumahan kumuh tempat Mami dan Mas Arga tinggal dulu. Kata Mami 'Dikasi umur panjang, gunakan sebaik-baiknya. Dan sebaik-baiknya manusia, yang paling bermanfaat untuk sesama. Melakukan kebaikan juga merupakan perjuangan seumur hidup, Nduk.' Itu sebabnya, Mami ingin di usia senjanya bermanfaat untuk orang lain.

Ya, begitulah bidadari tak bersayapku beserta petuah-petuahnya. Seorang panutan untukku yang yatim piatu.

Tamat

Langsa, 05 Agustus 2019

Jejak-Jejak KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang