Ketika Cinta Terbelah 2

46 8 62
                                    

Hay ... met malam minggu.
Saya bawakan sebuah kisah untuk menemani para jomlo. :D
Semoga syukaaahh.
Jangan lupa kritik dan sarannya. ^^
_

____

"Ketika cinta terbelah, hancurlah segala hubungan yang dibina."

***

[Lea, Mas Tama menikah hari ini. Aku yang menjadi perias pengantin wanitanya. Ini gila Lea, bagaimana mungkin? Bukankah hubungan kalian baik-baik saja?]

Tangan menyerahkan kembali gawai di meja. Pesan singkat yang dikirim sahabatku, bagai bilah mengoyak-goyak dada. Bak kaset rusak, kisah seminggu lalu berputar kembali di dalam kepala. Berulang-ulang, tak mampu kubuang.

Mas Tama membawaku ke rumah orangtuanya. Mereka ingin melihat sebelum datang melamar. Selama ini, aku selalu mangkir bila diajak ke pertemuan keluarga. Ada ketakutan yang tak mampu terjelaskan.

Diterima dengan tangan terbuka, sungguh diri merasa dicinta. Ibu Mas Tama sangat menyukaiku, Ayahnya pun bersikap ramah. Ibunya bahkan meminta dipanggil 'Mama'. Katanya, dia sangat menginginkan anak perempuan. Sedang Mas Tama anak satu-satunya dan Mama tidak bisa hamil lagi, sebab operasi pengangkatan rahim yang pernah dilakukan. Mereka bilang akan melamar seminggu kemudian. Mereka tidak sabar ingin menjadikanku menantu. Namun, ini barulah awal. Ya, awalnya saja.

"Jadi, kedua orangtuamu sudah berpisah? Sejak kamu SD?" tanya wanita yang telah melahirkan Mas Tama. Entah kenapa membuat jantungku berdebar kencang.

"I-iya, Tan- Ma!" jawabku gugup. Tangan yang sejak tadi mengenggam jemariku hangat, kini terlepas begitu saja.

"Tama, Mama dan Papa mau bicara sama kamu," ucap wanita bermata sendu itu pada lelaki di sampingku.

"Bentar, ya, Sayang," pamit Mas Tama sebelum mengikuti kedua orangtuanya. Sepertinya, aku tahu apa yang akan mereka bicarakan.

Sayup-sayup terdengar perdebatan di dalam sana. Perdebatan yang membuat luka lama kembali menganga.

"Mama dan Papa ga bisa memberimu restu, Tama. Keluarga besar kita ga akan bisa nerima menantu dari keluarga yang berantakan!" Kudengar suara seorang wanita yang beberapa menit lalu minta dipanggil Mama.

"Kamu anak tunggal, cari istri dari keluarga baik-baik. Jangan bikin malu keluarga!" ucap Papa Mas Tama bagai belati yang menusuk hati.

Saat di perjalanan pulang, Mas Tama menjelaskan apa yang sudah kudengar. Dia tetap ingin kami menikah, dengan atau tanpa restu kedua orangtuanya. Aku meminta waktu untuk berpikir.

Tiga hari kemudian, aku mendapatkan pesan bahwa Mas Tama akan dijodohkan dengan anak relasi Papanya. Ia mengajakku kawin lari. Aku memilih mengakhiri kisah kami.

Untuk apa? Setelah menikah, sebutan bagi wanita bukan hanya seorang istri. Aku akan menjadi menantu, ipar, dan cucu menantu. Semua gelar itu takkan tergenggam, jika menikah tanpa restu.

Aku banyak belajar dari pengalaman teman-teman. Memaksakan menikah tanpa restu orangtua bukan pilihan yang bijak. Akhir, yang didapat hanya tekanan batin saja.

Kesalahan kecil akan dibesar-besarkan mertua. Dipertemuan keluarga akan disudutkan. Tidak ada yang mengajak bicara, hanya dipandang sebelah mata. Dibanding-bandingkan, disindir-sindir akan menjadi menu utama. Apalagi, bila ekomoni tak memadai. Meskipun, ada beberapa yang kulihat, mertua akan lunak bila sudah ada cucu.

Tetap saja, hati tak mau lagi merasakan seperti itu. Dikucilkan dan dipandang sebelah mata. Aku tak mau lagi merasakannya, cukup dulu saja. Kini, duduk di bingkai jendela, netra hanya bisa memandang hampa pada langit biru di sana. 'Kenapa semua ini terjadi, Tuhan?. Baru sebulan lalu, Abang gagal menikah untuk yang ketiga kalinya, kini aku pun mengalami hal yang sama. Dengan alasan yang sama pula.

Jejak-Jejak KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang