"Beberapa wanita mungkin pantas diceraikan. Namun, semua wanita tak pantas mendapatkan pengkhianatan."
****Hari ini, kencan bersama Pia di kafe milik Azalea berjalan lancar. Sehabis mengantarnya pulang, aku kembali ke kafe sahabatku itu. Tadi, ia terlihat marah. Ada yang harus kami selesaikan.
Tok! Tok! Tok!
"Aku masuk ya, Lee?" Tanpa menunggu jawaban dari dalam kubuka pintu. Lea sedang duduk di sofa tengah ruangan. Kudaratkan diri tepat di seberangnya.
"Siapa dia?" tanyanya bahkan aku belum bernapas lega. Parahnya, gadis berbulu mata lentik itu tak menawariku minum seperti biasa.
"Ayolah, Lee. Kau sudah tahu dia siapa. Kami akan menikah bulan depan. Kau akan mensponsoriku, 'kan?" candaku.
"Bosku kekasihku, heh?" Lea mendengus jijik. Sahabatku sejak kuliah itu menatap tajam. "Lalu, bagaimana dengan Ara, Saga!" serunya.
"Dia ga perlu tahulah, Lee," jawabku santai. "Kalau pun tahu, ya harus terima kalau tidak mau kuceraikan. Lagipula, aku kepala rumah tangganya, Lee. Ara harus mematuhiku, 'kan?
"Cih! Aku tidak tahu kau semenjijikkan itu, Ga." Benci. Aku melihat kebencian di mata coklat Lea. Mata sendu seperti mengantuk itu menatap nyalang. Tak pernah dia seperti itu sebelumnya.
"Hei, slow down, Baby. Kenapa marah begitu, cantik?" Kucoba mencairkan suasana. Berharap wanita berwajah bulat dengan rambut gelombang warna kecoklatan itu kembali ramah. Namun, rautnya semakin mendingin buatku merinding.
"Mengapa, Ga? Bukankah kau mencintai Ara?"
"Ya. Aku mencintai istriku, tapi dia mulai membosankan, Lea. Kau tak tahu betapa kumuhnya dia sekarang. Entah kemana perginya primadona kampus kita," ucapku kesal.
"Baiklah. Meski alasanmu terdengar seperti pecundang. Lalu, apa kau tak memikirkan Sheila?" tanyanya yang kujawab dengan kebungkaman.
Azalea menghembuskan napas lelah. Wanita tinggi berkulit putih itu menyandarkan diri di kepala sofa. Tangan-tangan lentiknya memijat-mijat dahi.
"Kau tahu, Ga." Gadis bergaun merah itu kembali mengeluarkan suara, matanya terpejam dengan tangan terletak di atas dahi. "Ketika cintamu sebagai ayah terbelah. Ketika itu kehancuran masa depan anakmu di depan mata. Kau ...."
"Kau bicara apa, Lea. Aku hanya menikah lagi, oke?" seruku kesal. Apanya yang membahayakan masa depan Sheila. Memangnya aku berbuat apa?
"Ayahku juga menikah lagi." Aku terlonjak kaget. Aku menatapnya lekat. Anita balas menatap. Ada sorot luka di binarnya. Luka yang selama ini sukses ditutupinya dengan sikap ceria.
"Saat itu umurku sembilan tahun. Masih belum mengerti mengapa Ibu ingin bercerai. Yang kutahu hanya menangis tak ingin keluargaku terberai. Mengapa Ayah jarang pulang ke rumah. Abangku pun putus sekolah. Tapi, aku tetap tak ingin Ibu dan Ayah berpisah. Hingga pada akhirnya Ibu menyerah. Mempertahankan rumah tangga demi kedua anak yang belum dewasa." Aku tertegun. Sahabat yang sudah kuanggap saudara tak pernah mau mengungkit tentang keluarganya. Ini kali pertama.
"Aku baru mengerti, apa yang terjadi. Ketika umurku lima belas tahun." Sambung Lea. "Kau tahu, Ga. Yang terberat menghadapi tetangga. Mereka seakan bersimpati, tapi seringkali bertanya yang menusuk hati. Sudah tahu Ayahku menikah lagi masih juga bertanya kemana Ayahku pergi. Menatap kami iba namun di belakang punggung bergosip ria. Anehnya, mereka mencibir, menyindir bahkan nyinyir bukan pada pelaku, tapi pada kami, sang korban. Mereka tidak mengerti, tidak ada dari aku, Abang atau Ibu yang mau semua ini terjadi," ucap Lea parau. Kaca-kaca di matanya meluruh. Menganak di pipi putihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak-Jejak Kehidupan
Historia Corta"Ketika bibir tak mampu bersuara. Biarkan kata menyampaikan makna." Buku ini berisikan kumpulan cerpen dengan berbagai kisah kehidupan. Bijaklah dalam membaca. By: R_samayoeri (Penulis amatir yang masih membutuhkan kritik dan saran). Cover by, @agy...