"Di saat kau kesulitan, banyak mulut mengatakan kasihan, tetapi belum tentu ada yang mengulurkan tangan. Maka, jangan jadi pribadi yang ditinggalkan Tuhan."
***
[Mel, Abang pinjam duit satu juta, ya? Udah dua bulan nunggak cicilan rumah.]
[Mel ga ada duit, Bang. Sawah belum panen, udah pinjam sama Putra?]
Setiap bulan, Abang selalu mengirim pesan yang sama, dan selalu kubalas dengan jawaban yang sama pula. Sepeser pun aku takkan meminjamkan ia uang. Tidak, setelah apa yang ia lakukan.
Rasa sakit yang ia torehkan, sulit untuk dihilangkan. Bahkan setelah tiga tahun berlalu, pedih itu masih saja sama. Bukan maksudku ingin mendendam, hanya saja hati terlalu sulit untuk melupakan. Ada saat dimana hati, benar-benar hilang toleransi.
[Amel, kamu ada duit? Ibu pinjam dulu, ya. Ga banyak, satu juta aja.]
Lima menit kemudian, pesan dari Ibu diterima gawai. Kutanyakan untuk apa Ibu meminjam uang, meski kutahu untuk apa uang itu. Ibu beralasan memiliki keperluan mendesak, dan memaksaku untuk segera mengirimkan uang. Kubalas dengan jawaban yang sama seperti yang kuberi pada Abang.
Ibu selalu saja begitu, ketika Abang kesulitan finansial, aku yang selalu ketiban sial. Padahal dulu, Ibu bukan main marahnya kepada Abang beserta isterinya.
Waktu itu, dua tahun sudah aku bertunangan. Pihak lelaki sudah mendesak ingin segera dilaksanakan. Namun, Ayahku yang hanya pekerja serabutan, belum memiliki dana untuk melangsungkan pesta pernikahan.
Calon suami meminta akad dahulu, tetapi Ayah tidak setuju, aku pun begitu. Bukan apa, bila resepsi di kemudian hari, pastilah tak wangi lagi, sudah basi. Belum lagi ancaman takkan pernah terjadi. Sebab, rezeki datangnya pun tak pasti.
Sejak hari di mana aku dilamar, Ayah menjual sebidang tanah. Rencananya, hasil penjualan digunakan untuk acara walimah. Namun, dua tahun berlalu, tanah tak kunjung laku, sedang calon suami sudah mendesak melulu. Pertengkaran, perdebatan, bahkan pembatalan hampir terlaksanakan. Kata orang itu biasa, cobaan menjelang pernikahan.
Aku patah arang. Hati mulai menyalahkan keadaan. Desakan keluarga lelaki, pertanyaan 'kapan lagi' dari sana sini, bagai teror yang menghantui hari-hari. Aku tertekan, bahkan menyalahkan mengapa nasibku begitu menyedihkan.
Aku anak perempuan semata wayang dari dua bersaudara. Abangku seorang pekerja dengan gaji per bulan yang lumayan, sudah duluan menikah, dengan biaya dibantu Ayah. Hingga, untukku tak tersisa.
"Adekmu udah dua tahun tertunda, calon suaminya udah mendesak terus. Malah minta akad dulu, gimana ini, Bang?" tanya Ibu saat kami berembuk mengenai diriku. Ayah diam saja. Mungkin menunggu apa jawaban si sulung.
"Abang pun ga ada duit, Mak, tapi kalau mau ngutang, Abang bisa pinjamkan sama teman. Tempo sebulan harus bayar."
Entah kenapa mendengar jawaban Abang, hatiku bak disambar parang. Pedih, saat kau berada di ambang batas, orang yang jelas kau tahu mampu membantu, malah seakan lepas tangan.
Dia satu-satunya saudara yang kupunya, jika bukan padanya, siapa lagi? Baru tiga hari yang lalu, istrinya membeli sepuluh gram mas. Itu haknya kutahu, tapi tak adakah secuil rasa ingin membantu di hati, untuk pernikahan adik semata wayangnya?
Dengan mata berlinang, kukatakan pada Ayah, "Camelia, akad aja ga pa-pa, Yah. Jangan dipaksain ngutang."
Seketika aku terisak. Hati tak mampu dibohongi. Ayah mendekapku, meminta untuk menunggu, bersabar dan berdoa. Semoga Allah berkenan memberi rezeki padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak-Jejak Kehidupan
Short Story"Ketika bibir tak mampu bersuara. Biarkan kata menyampaikan makna." Buku ini berisikan kumpulan cerpen dengan berbagai kisah kehidupan. Bijaklah dalam membaca. By: R_samayoeri (Penulis amatir yang masih membutuhkan kritik dan saran). Cover by, @agy...