Hukum Mencaci Allah subhanahu wa ta'ala

24 1 0
                                    

Ada seorang muslim yang sering mengalami kegagalan dan ditimpa berbagai persoalan hidup. Ia kemudian merasa kecewa dan marah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan mulai mencaci maki Allah subhanahu wa ta’ala, serta berburuk sangka kepada-Nya. Setelah amarahnya mereda, timbul rasa penyesalan atas tindakan tercela yang telah ia lakukan itu.

 

Pertanyaan:

Apakah tindakan orang tersebut termasuk kufur akbar?

Apakah ia perlu memperbaharui keIslamannya dengan cara mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan ulama dan saksi-saksi?

Bagaimanakah cara bertaubat bagi orang tersebut?

Bagaimanakah caranya agar orang tersebut tidak lagi mengalami kegagalan dan tidak ditimpa kesulitan hidup?

Bagaimanakah seharusnya orang tersebut menyikapi segala kegagalan dan kesulitan hidup yang dihadapinya?

Bagaimanakah cara mengatasi rasa kecewa dan amarah yang timbul, jika ditimpa kegagalan dan kesulitan hidup?

Mawardi, Banjarmasin, Kalimantan Selatan

Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari:

 

        Alhamdulillah wabihi nasta’in.

        Mencaci Allah subhanahu wa ta’ala adalah perbuatan haram yang merupakan kekufuran (kufur akbar). Ini adalah ijma’ di kalangan ulama. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah memiliki pembahasan tentang ini, menukilkan penjelasan para ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan yang lainnya. Lihat Fatawa Ibnu Baz (1/91—94).

        Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/270, terbitan Darul Atsar), “Aku berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mencaci Allah subhanahu wa ta’ala atau menyifati-Nya dengan aib/celaan, dan celaan yang paling keji adalah melaknat Allah subhanahu wa ta’ala atau memprotes/mengkritik hukum-hukum Allah subhanahu wa ta’ala berupa kejadian-kejadian yang Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan atau aturan-aturan syariat yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan, meski kritikan itu dalam bentuk isyarat dan sindiran; sesungguhnya pelakunya kafir.

        Sebab, ini adalah penghinaan terhadap kedudukan Allah subhanahu wa ta’ala sebagai satu-satunya Rabb, Penguasa yang mencipta, memberi rezeki dan mengatur alam ini. Ini adalah perkara besar.

        Barang siapa mencaci Allah subhanahu wa ta’ala, sama saja baik dengan ucapan atau dengan isyarat, dengan serius atau hanya bercanda–bahkan dengan bercanda lebih keji, karena menjadikan Allah subhanahu wa ta’ala sebagai bahan candaan dan ejekan–lalu mencari alasan agar tidak disalahkan, dia kafir berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

          وَلَئِن سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ٦٥ لَا تَعۡتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ إِن نَّعۡفُ عَن طَآئِفَةٖ مِّنكُمۡ نُعَذِّبۡ طَآئِفَةَۢ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ مُجۡرِمِينَ ٦٦

        ”Jika engkau (wahai Nabi) menanyakan kepada mereka (tentang perbuatan mereka mengolok-olok sahabat radhiallahu ‘anhum), mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau.’ Katakan (kepada mereka):

Aqidah Dan AkhlaqTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang