Prolog

12.6K 375 9
                                    

Sebab, yang lebih menakutkan dari pada kepergian yaitu sebuah pertemuan.

Di penghujung senja yang hangat, langit memamerkan warna jingganya yang begitu indah. Meskipun beberapa saat yang lalu hujan mengguyur bumi, tidak bisa di pungkiri bagaimana sensasi dari aroma petrichor itu tercipta sangat menggoda indra penciuman seorang lelaki yang sedari tadi teruduk di halte bus.

Seorang siswa berusia 18 tahun dengan gaya rambut curtain haircut yang lepek akibat terkena air hujan itu membuat tangannya bergerak untuk menyibak rambut basahnya ke belakang menggunakan jari tangan.

Lelaki itu masih mengenakan seragam sekolah yang melekat di tubuh berisinya. Nametag yang bertuliskan nama Jake Alvaro itu sangat pantas dimiliki oleh seorang lelaki yang berwajah tampan juga tampak sempurna untuk dilihat dari sisi manapun.

Ia membasahi bibirnya yang sedikit pucat sebelum kakinya melangkah masuk kedalam bus yang berhenti beberapa detik lalu. Ia menduduki kursi bus paling belakang sebelum akhirnya mengeluarkan sebuah earphone dan memasangkan di telinganya. Alunan lagu dari Justin Bieber - Ghost itu mengalun dengan merdu di telinganya.

Jake yang sedang memejamkan mata sambil menikmati lagu yang didengar melalui earphone-nya itu tersentak saat seseorang menepuk bahunya pelan.

"Sorry, bisa bergeser sedikit ngga?" tanya seorang perempuan yang terlihat sedang memijat kakinya perlahan setelah berbicara.

Jake menjawab dengan nada yang sangat santai, "nggak, kursinya udah sempit, harusnya lo dateng lebih cepet kalau mau duduk."

Perempuan itu terbelalak dengan jawaban seorang lelaki berseragam siswa SMA di hadapannya ini. "Ngga sopan banget jadi siswa, kamu Sekolah dimana?."

Lelaki itu berdecak, "ngga penting banget, ganggu orang aja." Kemudian kembali memejamkan matanya tanpa peduli dengan perempuan yang baru saja mengganggu ketenangannya.

Tidak mau jadi pusat perhatian, perempuan itu hanya bisa mendengus kesal dengan berbagai macam sumpah serapah yang ia lontarkan dalam hatinya, dengan sangat terpaksa ia memutuskan berdiri di dalam bus. Namun naas, tangannya tidak sampai untuk meraih pegangan bus tersebut. Perempuan itu sedikit berjinjit hingga saat tangannya bisa meraih pegangan itu, bus berbelok secara tiba-tiba membuat tangan perempuan itu terlepas dari pegangan dan terpental kesamping. Dirasa tidak ada yang sakit dengan tubuhnya, perempuan itu membuka matanya perlahan, ternyata siswa laki-laki tadi menahan tubuhnya agar tidak jatuh.

Laki-laki itu menatapnya dari jarak yang cukup dekat dengan tatapan datar, "nyusahin banget" ketusnya.

Lagi-lagi perempuan itu terbelalak, "apa?"

"Lo duduk, biar gue aja yang berdiri" gerutu laki-laki itu sebelum kembali membenarkan posisinya.

Perempuan itu menurut tanpa banyak bicara lagi, hingga lima belas menit berlalu, lelaki bernama Jake itu bersiap untuk turun di persimpangan jalan. Sebelum bus benar-benar berhenti, ia mendekat ke arah perempuan tadi dan berbisik pelan. "Ngga usah ge-er, gue nyuruh lo duduk karena rok belakang lo merah, bukan karna kasian liat lo berdiri." Bisik lelaki itu yang membuat perempuan tersebut meringis dan mematung di tempat.

Senja sudah berganti malam, lelaki itu melangkahkan kakinya gontai dengan satu tangan di masukan kedalam saku celana dan tangan lain memegang ponselnya. Sepanjang jalan ia berfokus pada ponsel yang ada di genggamannya itu, entah apa yang sedang ia lakukan hingga tak terasa langkahnya terhenti pada sebuah bangunan rumah bergaya Federal. Bangunan ala Amerika pada masa 1780-1820 itu adalah rumah yang di tempatinya bersama kedua orangtuanya.

Jake Alvaro adalah anak tunggal dari keluarganya. Ayahnya yang bernama Shim Jae Alvaro adalah pemilik International High School, ia dikenal sebagai sosok yang sangat tegas dan disiplin terhadap apapun, berbanding terbalik dengan sifat anaknya Jake yang pemberontak dan pembuat onar meskipun tidak dapat di pungkiri lelaki itu sangat pintar dalam banyak bidang.

Sedangkan Ibunya bernama Mille Nataly, sosok ibu yang cukup hangat namun tidak peka secara garis besar, kedua orangtuanya itu sangat sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak bisa di pungkiri laki-laki itu selalu merasa kesepian ketika berada di rumahnya.

Kakinya kembali melangkah menuju lantai 2 setelah memastikan bahwa kedua orangtuanya tidak berada di rumah, lagi. Tanpa banyak aba-aba ia langsung saja melempar tas selempang dan sepatunya ke sembarang arah kemudian merebahkan dirinya di atas kasur dengan ukuran yang cukup besar.

Kamar bernuansa hampir serba berwarna putih itu terkesan sangat kelam namun terlihat rapih secara bersamaan karena tidak terlalu banyak barang di dalamnya. Tidak ada yang ia lakukan selain memejamkan mata namun beberapa menit kemudian ia bangkit, duduk di sisi ranjang sebelum tangannya mengambil sebuah gitar di samping nakas. Suara petikan gitar mulai mengalun indah di iringi dengan vokal merdu dari pemilik suara bariton yang bergema di dalam kamarnya.

Ingatannya mencoba menelisik memori dua tahun yang lalu, namun beberapa saat kemudian suara petikan gitar dan vokal merdu itu berhenti di tengah-tengah lagu. Tubuh laki-laki itu seketika lemas dengan tangan yang bergetar hebat, memori menyakitkan itu masih ada dalam ingatannya. Ia mencoba menarik napasnya dalam-dalam, berusaha meredam semua gemuruh yang memuncak di dalam dadanya. Namun akhirnya cairan bening itu lolos menembus matanya yang telah berubah menjadi sendu.

My Lovely Teacher [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang