sixteen; something just like this

852 43 2
                                    

Alvis tidak bisa fokus. Sesaat setelah Nadiar pergi dan Alvis kembali berbincang dengan kliennya, ia tak bisa fokus sama sekali.

Alvis benar-benar tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Sebenarnya, Alvis menyadari ketidaknyamanan Nadiar. Dan Alvis juga menyadari tatapan lapar yang laki-laki itu berikan pada Nadiar. Makanya, Alvis menyuruh Nadiar membeli makanan ke kasir. Namun, lelaki itu tak berhenti menatap Nadiar. Dengan senyum miringnya, dan dengan tatapan laparnya.

Sesuatu dalam diri Alvis terasa bergejolak, saat itu. Alvis tidak suka. Alvis merasa benci dengan tatapan laki-laki itu. Dan tidak ada korban untuk pelampiasan kemarahan Alvis, sehingga, saat Nadiar berbuat ceroboh seperti tadi, Alvis melepaskan segalanya keresahannya kepada Nadiar. Namun, Alvis tidak menyangka bahwa hal sekecil itu dapat membuat Nadiar menangis.

Alvis menghela napas panjang, namun kemudian mengerenyit heran saat rasa ngilu menghampiri jantungnya. Alvis kembali menghela napas panjang. Ia kemudian mengeluarkan pulpen, dan mengambil kliping proposal yang berada di meja, kemudian menandatangani proposal tersebut dengan cepat, membuat penjelasan yang dilakukan rekannya terhenti.

Alvis berdiri dengan cepat, lalu tersenyum tipis. "Saya setuju dengan ide Anda. Jadi, saya putuskan untuk ikut bekerja sama dengan proyeknya."

Rekannya ikut berdiri, lalu mereka bersalaman. "Terima kasih, Pak Alvis."

Alvis mengangguk. "Ya. Dan ..., apakah saya boleh meminta sesuatu?"

Sekilas, ada kilatan heran dari rekannya. Namun kemudian sebuah senyum tercetak, dan kepala rekan Alvis mengangguk pelan. "Apapun untuk Anda."

"Pecat dia." ucap Alvis sambil menunjuk lelaki hidung belang yang sudah cukup untuk membuat Alvis sangat geram karena ketidaksopanannya pada Nadiar.

Orang yang ditunjuk Alvis itu terlihat kaget, lalu menatap Alvis heran. "Kenapa?"

Alvis menatap tajam lelaki tersebut. "Memangnya, saya tidak tahu kelakuan kamu pada sekertaris saya? Kamu sedari tadi memperhatikan sekertaris saya dengan tatapan mesum. Dan saya tidak suka itu. Saya tidak ingin rekan saya mempunyai sekertaris seperti kamu. Makanya, segeralah mengundurkan diri atau kamu akan saya masukkan pada daftar hitam dan menyebarkannya ke perusahaan lain. Dan kamu tahu, kan, apa yang akan terjadi setelah saya melakukan hal tersebut?"

Wajah lelaki mesum itu terlihat pucat pasi. Namun, Alvis dapat melihat kilatan benci dari matanya. Alvis pikir, lelaki itu akan menyerah dan mengiyakan ucapan Alvis. Namun ternyata, laki-laki itu malah berdecih dan memberikan senyum miring. "Saya sudah 5 tahun bekerja menjadi sekertaris di perusahaan itu. Memangnya, Anda mempunyai hak apa untuk menyuruh saya? Anda hanya seorang CEO perusahaan lain, dan anda tidak bisa berbuat seenaknya pada saya. Anda tidak punya hak atas diri saya."

Mata Alvis menajam. Ia mengalihkan pandangannya ke arah rekannya.

Rekan Alvis mengangguk mengerti, lalu menatap pada sekertarisnya. "Albert, kamu saya pecat, dan seperti yang Pak Alvis bilang, saya akan menyebarkan blacklist pada perusahaan lain sebagai hukuman."

"Apa? Mengapa begitu, Pak? Saya sudah bekerja hampir 6 tahun!"

Rekan Alvis hanya mengabaikannya, lalu menatap Alvis kembali, kemudian mengangguk sopan.

Alvis membalas anggukannya, lalu berbalik pergi tanpa mempedulikan rengekan sekertaris itu pada bosnya yang bahkan tidak peduli sama sekali dengan ucapan lelaki itu. Alvis melewati pintu keluar, lalu berbelok ke arah toilet yang berada di kafe tersebut. Ia menghela napas panjang di depan pintu toilet wanita, lalu mendorong pintunya pelan dan masuk ke dalamnya.

2 orang perempuan yang sedang bercermin menoleh dan langsung berteriak kaget saat melihat Alvis. Mereka lalu berlarian keluar dengan berteriak, "ADA PK!" saat melewati pintu.

Handsome CEO [repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang