twenty seven; can't stop the feeling

782 33 2
                                    

Ada yang aneh dengan Nadiar 2 hari ini. Ya, 2 hari ini. Nadiar terlihat jadi lebih diam, dan sering melamun menatap ponsel atau layar komputer. Setelah itu, Nadiar hanya diam lesu di tempatnya dengan bahu yang merosot. Nadiar juga jadi tidak fokus dalam pekerjaannya. Alvis yang merasa agak aneh pun langsung memanggil detektif swasta yang waktu itu ia sewa. Namun, laporan mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan kegiatan Nadiar dan semuanya sama saja. Sehabis bekerja, gadis itu langsung pulang dan tidak keluar lagi ataupun kemana-mana lagi. Lalu, kenapa? Apa yang membuat Nadiar tidak seceria biasanya? Apa yang membuat Nadiar tidak menampilkan senyumnya lagi?

Alvis mendengus karenanya. Ia lalu mengangkat gagang telfonnya, kemudian menekan satu nomor di sana. Lama, namun tidak ada jawaban di sebrang sana. Mata Alvis memincing, menatap Nadiar yang ternyata sedang duduk diam menatap kosong ke depan. Alvis menghela napas panjang melihatnya. Ia kemudian berdiri dan keluar dari mejanya, menuju pintu, lalu membuka pintu tersebut dengan sekali gebrakan. "NADIAR!" teriak Alvis, namun Nadiar tetap saja bergeming.

Mata Alvis memincing menatap Nadiar yang tatapannya benar-benar kosong dan seolah jiwanya tidak ada pada raganya. Alvis kesal melihat Nadiar seperti ini. Ia kemudian menghampiri Nadiar, lalu mengguncang bahu itu pelan.

Reaksi Nadiar ternyata benar-benar tak terduga. Perempuan itu berjengit, lalu berdiri, kemudian menatap nyalang ke segala arah, seolah mencari sesuatu.

"Nadiar!" panggil Alvis, membuat Nadiar menoleh, lalu mengerjap bingung. "Saya telfon kamu, barusan."

"O-oh," Nadiar menjawab dengan gugup, lalu menunduk. "Ma-maaf, Bos. Saya ngelamun. Ada perlu apa, ya, Bos?"

Alvis menghela napas panjang. "Saya ingin kamu buatkan kopi."

"O-oke," jawab Nadiar cepat, kemudian pergi dan berlalu di hadapan Alvis.

Alvis masih penasaran. Ia masih ingin tahu apa yang menganggu pikiran Nadiar sehingga Nadiar benar-benar diam dan berlaku seolah itu bukan dirinya. Jadi, Alvis mengikuti Nadiar diam-diam dan mengintip aktivitas Nadiar di balik tembok yang berada tepat di samping pintu.

Nadiar terlihat mengerjakan segalanya dengan lancar saja. Namun, saat Nadiar menuangkan air panas, Alvis hampir saja berteriak saat tangan Nadiar bergeser sehingga air panas itu mengalir di lantai dan sedikit mengenai betis Nadiar. Untung saja, Nadiar menggunakan flat shoes, sehingga hanya sedikit air panas yang terkena kulitnya.

Alvis menggeram lirih di tempatnya, menahan diri agar tidak masuk dan berteriak pada Nadiar untuk hati-hati.

Sementara di sana, Nadiar terlihat tidak merasakan apapun dan hanya terduduk di lantai, lalu memeluk kakinya yang ia tekuk. Kepala Nadiar tenggelam di antara tubuh dan kakinya, sedangkan bahunya kini terlihat bergetar. Isakan yang terdengar membuktikan bahwa saat ini Nadiar sedang menangis.

Alvis diam di tempatnya, tetap memperhatikan.

Nadiar lalu mengangkat kepalanya, mendongak menatap langit-langit dapur kantor. "Bang Sat ...," ucapnya, membuat Alvis melotot. Nadiar kembali terisak. "Lo dimana, sih? Kenapa lo gak pulang-pulang? Lo udah makan apa belum? Kenapa lo ninggalin gue? Ninggalin Mbak Irene?"

Tubuh Alvis menegang mendengar kalimat akhir Nadiar. Dan mendengar seluruh ucapan Nadiar, jelas sekali bahwa Nadiar bukanlah mengumpat, melainkan memanggil seseorang yang bernama Bang Sat. Satu pemikiran buruk menghantui Alvis, membuat Alvis langsung menggeleng dan diam mendengarkan Nadiar. Ya, yang bernama Irene tidak hanya 1 di dunia.

"Bang Sat ...," panggil Nadiar lagi dengan sesegukan. "Lo marah karna gue panggil Sat, iya? Lo mau gue panggil Andra, gitu? Oke, gue bakal nurut, asalkan lo balik. Gue khawatir ama lo, Bang Sat ..., lo udah gue anggap abang sendiri, bukan cuma sahabat dari kecil. Balik, dong, Bang Sat ..., mbak Irene kasian nangis mulu. Lo gak kasian ama anak lo yang masih dalam kandungan? Hm?"

Alvis menahan napasnya. Ini terlalu sama. Benar-benar serupa. Irene yang hamil ..., dan Inandra yang Alvis sekap.

Dengan tergesa, Alvis berbalik dan berjalan cepat sambil segera mengeluarkan ponselnya, lalu menghubungi seseorang. Ia kemudian menempelkan layar ponsel di telinga. "Halo? Cari tahu hubungan Satria Inandra dan Nadiar. Saya butuh laporannya segera."

"Baik, tuan."

Masih sambil terus berjalan, Alvis mematikan sambungan, lalu kembali menghubungi salah satu nomor di kontaknya. "Dave, minta cewek lo buat kasih info tentang Nadiar dan Satraia Inandra. Gue butuh laporannya sekarang."

"Hah? Buat apa?"

"LAKUIN AJA!" teriak Alvis emosi.

"Iya, iya, b aja atuh."

***

Alvis mengusap wajahnya kasar, lalu membanting tubuhnya di kursi. Ia kemudian melonggarkam ikatan dasinya, lalu melepas 2 kancing teratas. Tangan Alvis lalu terulur, untuk menekan pangkal hidungnya dengan jari telunjuk dan jempolnya.

Alvis tidak tahu ternyata pengaruh Nadiar yang mengenal Inandra bisa sebesar ini pada Alvis. Masih terngiang jelas ucapan yang diucapkan Dave dan detektif swasta itu.

"Keluarga Nadiar dan keluarga Satria adalah teman. Lebih tepatnya, kedua keluarga itu berteman karena adanya ikatan persahabatan antara Reva selaku kakak Satria, dan Rosa selaku Ibunda Nadiar. Dan karena Satria sebagai adik Reva berumur tidak jauh dari keduanya, Nadiar dan Satria sangat dekat. Tidak jarang, mereka bahkan selalu berpergian berdua."

"Kata cewek gue, si Satria itu emang dari dulu lengket banget ama Nadiar. Gak tau deh, kenapa. Mungkin, mereka saling suka? Bisa lo ajak kerja sama noh, hehe."

"Sedari dulu, Satria selalu menganggap bahwa Nadiar adiknya. Alasannya, karena Satria memang menginginkan adik perempuan. Dan lagi, mungkin, karena pengaruh selalu bermain dengan Kakak Nadiar, Satria Inandra menjadi sangat dekat dengan Nadiar. Dan Satria Inandra memanjakan dan melindungi Nadiar sama seperti Kakak kandung Nadiar."

"Yee, gue becanda kali, Vis. Tapi katanya, si Andra itu pengganti kakaknya Nadiar kalo Kakaknya Nadiar gak ada. Misalnya, jemput sekolah, jemput kuliah, jemput main, ngajak makan es krim, movie marathon, dan lain-lain. Kayaknya, mereka deket banget, ya? Soalnya, Nadiar sering banget cerita ke cewek gue. Dan Nadiar selalu manggil Andra itu "Sat". Jadi, waktu pake embel-embel Bang kedengerannya bangsat. Aduh, lucu banget si Nadiar ini."

"Seperti yang anda sendiri tahu, karena Reva dan Rosa bersahabat, mereka mengenal sejak bayi dan dari umur yang sangat kecil. Mereka pernah berpisah selama beberapa tahun. Dan walaupun salah satu diantara mereka sudah menikah, mereka tetap sangat dekat hingga saat ini."

"AAAARRRRHHHH!!!" Alvis berteriak frustasi, saat suara itu saling bersahutan di pikirannya. Alvis mengacak rambutnya, lalu menggeram. Mata Alvis lalu mengarah kepada Nadiar yang hanya mentap datar pada layar komputernya. Kenapa Alvis harus se-frustasi ini? Apa hanya karena senyuman Nadiar?

Ini, konyol.

Dan Alvis benci. Benci memilih disaat ia sendiri tidak ingin memilih.

Alvis menjambak rambutnya frustasi, lalu menghela napas panjang. Matanya terus mengarah pada Nadiar yang menatap layar komputer tanpa fokus. Alvis tersenyum sinis. "Trus kenapa? Gue gak peduli lo kenal Inandra atau enggak. Gue tetep bakal bikin Irene balik ke gue."

Ucapan itu Alvis tujukan untuk Nadiar, namun, entah mengapa, ucapan yang Alvis lontarkan seolah untuk meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa Alvis, akan tetap pada pendiriannya.

Handsome CEO [repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang