seventeen; secrets

925 42 4
                                    

"JEPRI! JEPRI! JEP —eh, Bang Sat." teriakan Nadiar yang membahana itu terpotong saat matanya menangkap visualisasi seorang lelaki yang duduk di karpet dengan stik PS di tangannya. Lelaki itu setengah berbaring dengan siku yang menopangnya bertumpu pada karpet. Nadiar nyengir lebar saat laki-laki itu menatap malas ke arahnya. "Bang Sat ngapain disini? Si Jepri mana?"

Satria mendelik sebal. "Dia ada operasi bentar, katanya," jawabnya, yang membuat Nadiar mengangguk dengan mulut yang membulat mengerti. "Dan jangan panggil gue Bang Sat. Biasain panggil gue Andra."

Nadiar kembali nyengir. "Gak ah. Lebih enak manggil Bang Sat."

"Lo ini, ya!" seru Satria kesal, lalu mengubah posisinya menjadi duduk di karpet. "Kenapa, sih, lo selalu ngasih nama panggilan yang jelek ke orang? Nama gue itu Satria Inandra! Orang-orang manggil gue Andra!"

"Ah enggak. Bang Alden manggil lo Sat mulu."

Satria mendelik lagi, lalu berdecak sebal. "Serah lo, deh. Pergi sono!"

"Dih, ini rumah gue, juga. Lo aja yang pergi, sono."

"Ganggu banget lo, anjir. Mati aja sana!"

"Lo aja yang mati! Cih!" balas Nadiar sambil menuju ke arah tangga. "Karna gue lagi seneng hari ini, yaodah gue bakal ngalah. Bye, Bang Sat! Gue mau ngambil dompet buat bayar taksi di depan."

"Dih, siapa yang nanya?"

Nadiar hanya tertawa kecil dan berlari untuk mengambil uang di dompetnya yang berada di atas lemari kecil di kamarnya. Setelah mengambil beberapa lembar ribu uang, ia kemudian turun kembali ke bawah, lalu membuka pintu utama dan keluar. Baru saja Nadiar akan menghampiri taksi yang masih berada di depan rumahnya, Alden yang sedang memberikan uang pada pengemudi taksi tersebut membuat langkah Nadiar terhenti.

Alden sudah membuka pagar saat matanya menatap sebal pada Nadiar, dan di balas cengiran dari adiknya itu.

Nadiar langsung saja melingkarkan tangannya di lengan Alden sambil berjalan masuk. "Makasih, ya, Bang. Hehe. Emang dasar ya elo itu panjang umur. Waktu gue nyari lo buat bayar tuh taksi, ehh lo-nya dateng. Hehe."

"Serah lo, dah," balas Alden sambil menghela napas panjang. "Sono lu! Jangan ganggu gue dulu. Gue abis operasi pasien, dan masih cape."

Nadiar nyengir, lalu mengulum senyumnya. Ah, Nadiar lupa tentang satu hal. Alden itu, adalah seorang dokter yang jarang sekali masuk, tapi dibutuhkan. Entah apa yang membuat Alden selalu dibutuhkan padahal sangat jarang sekali masuk kerja, yang pasti, Alden akan pergi bekerja jika Rumah Sakit membutuhkannya.

Padahal, Nadiar lebih suka Alden tidak berguna dan tidak punya duit. Soalnya, Alden benar-benar pamrih. Apalagi, saat Nadiar baru saja lulus. Selalu saja memberi nasihat tentang kerjaan, lalu memuji dirinya sendiri. Alden memang sombong. Makanya Nadiar sebal.

"Oi, Sat!" sapa Alden pada Satria saat mereka sudah berada di sana.

"Oi, Bang Sat!"  tambah Nadiar dengan senyum jahilnya.

Satria hanya menatap tajam, lalu tos ala laki-laki dengan Alden. "Tumben lama amat."

"Bebegig sawah itu bohongin gue," balas Alden sambil membanting tubuhnya di sofa. "Dia bilang cuma 2 orang, ternyata ada 4 orang. Bangsat, emang."

Nadiar dan Alden terkekeh akibat kalimat terakhir Alden, sedangkan Satria hanya berdecak sebal, lalu memberi tatapan pada mereka yang mengatakan buah-jatuh-tak-jauh-dari-buah-jatuh-lainnya. Alden dan Nadiar kembali tertawa.

Satria kembali berdecak. "Bacot, jir! Ayo main! Gue dari tadi jomblo mulu disini."

Alden menggeliat di sofa, lalu menghela napas panjang. "Lo sama Nadiar aja. Gue cape," balasnya, lalu menatap Nadiar yang mulai duduk sambil memegang stik PS lainnya. "Btw, Nad, kenapa tumben-tumbenan lo balik jam segini?"

"Ada masalah, tadi. Makanya gue dipulangin," jawab Nadiar, dan tak ada suara lagi selain dari game PES yang mereka mainkan. "Oh, dan btw, Bang ..., Sat," Nadiar sengaja menjeda untuk melihat Satria yang memutar kedua bola matanya dengan kesal. "Mbak Irene napa gak kesini?"

"Main, biasa." jawab Satria dengan malas.

"Trus, napa gak ikutan? Dia kan istri lo. Lagi hamil, lagi. Masa gak di jagain?"

"Males. Malah bikin mereka canggung."

Nadiar hanya mengangguk, sedangkan matanya terus fokus pada permainan.

***

Irene tersenyum lebar pada ke-2 temannya, lalu melambaikan tangannya dengan pelan. "Gue balik duluan, ya!"

Kedua teman Irene hanya memberikan tatapan malasnya, lalu mengibaskan tangannya dengan pelan, seolah mengusir Irene.

"Jangan balik lagi, ya!"

"Kalo ada belokan, belok, ya! Dan jangan lupa, kalo ntar jatoh, pura-pura mati aja biar gak malu."

"Sialan," maki Irene sambil terkekeh, kemudian berlalu dari sana. Irene menyimpan tasnya di depan, lalu mengaduk-aduk isi tasnya, mencari-cari ponsel yang ia masukkan ke dalam tasnya. Baru saja ia akan mengeluarkan ponselnya, bahu Irene terbentur oleh sesuatu yang keras, dan membuat ponselnya tergelincir jatuh ke lantai.

"Maaf," ucap laki-laki yang di tabraknya, lalu mengambil ponsel yang baterai dan chasingnya yang sudah terpisah. Laki-laki itu berdiri, lalu mengulurkan ponsel Irene ke hadapan Irene. "Ini, mbak."

"Aduh," Irene mengambil ponsel di hadapannya, lalu mendongak dengan senyum di wajahnya. Saat melihat wajah orang yang sangat dikenalnya, Irene membeku. "Alvis ..."

Tatapan Alvis yang tadinya menatap ponsel Irene, kini terangkat dan menatap tepat pada wajah Irene. "Irene ..." panggilnya, lalu menatap pada perut Irene yang sudah membuncit, kemudian kembali menatap Irene. "Kamu ..."

Irene tersentak mundur ke belakang saat Alvis mulai mendekatinya.

"Irene, aku—"

"Berhenti di situ!" seru Irene dengan kencang, membuat langkah Alvis terhenti sejenak, sebelum Alvis kembali melangkah, dan membuat Irene berbalik dan berlari ke meja teman-temannya. Irene langsung memeluk salah satu dari mereka dengan tubuhnya yang gemetar ketakutan. "Tolong! Tolongin gue! Alvis ngejar gue!"

Kedua teman Irene dengan sigap membuat kuda-kuda untuk melindungi Irene di belakang mereka.

Alvis datang, dan menatap tanpa ekspresu pada kedua teman Irene. "Gue pengen ngomong sama Irene."

"Ngapain? Gak ada hak!"

"Pergi sono, Vis! Gak tau malu banget, sih?! Irene itu udah nikah!"

Wajah Alvis mulai memerah karena menahan amarah. "Sebentar doang."

"Irenenya gak mau!"

"Iya! Gak usah maksa deh!"

"Gue butuh ngomong sama Irene," ucap Alvis datar. "Sebentar aja."

"Maksa banget, sih?! Pergi, gak, lo?! Atau mau gue panggilin satpam buat usir lo dari sini?!"

Alvis terlihat makin marah. Alisnya sudah mengerenyit tidak senang, sedangkan matanya melirik pilu pada Irene yang bersembunyi di balik punggung kedua sahabatnya. Alvis lalu menghela napas panjang, kemudian berlalu dari sana.

Irene menghela napas lega, lalu menatap kedua temannya penuh rasa terima kasih. "Makasih banget, guys."

"No need, itu kewajiban kita sebagai sahabat. Lagian, si Alvis ini kenapa gak berhenti ngejar lo, sih? Brengsek, emang."

Irene hanya terkekeh kering. Jujur, ia masih takut dan syok. Kehadiran Alvis yang tidak di duga Irene benar-benar membuat tubuhnya gemetaran.

"Rene, mending, lo telfon Andra, deh. Gue khawatir kalo lo balik sendirian."

Irene tersenyum sekilas, lalu mengangguk. Setelahnya, ia lalu menyalakan ponsel dan menghubungi suaminya, Satria Inandra.

No edit
Segini, dah masuk konflik lom?

Handsome CEO [repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang