twenty eight; kid in love

889 36 2
                                    

Kasih aku satu alasan, kenapa kalian pengen banget Alvis sama Nadiar bersatu?

Alvis duduk lesu di tempatnya sambil membiarkan Devan berjalan mondar mandir dengan bahu yang bergetar hebat akibat tertawa, menertawakan Alvis. Ya, menertawakan kebodohan Alvis, dan entahlah. Kenapa juga Devan harus tertawa selama itu hanya untuk menertawakan kebodohan Alvis? Ayolah, ini sudah 5 menit terjadi.

"Oke," Devan berhenti mondar mandir dan mulai bersuara dengan nada orang menahan tawa. Devan lalu mengembuskan napas panjang, dan mencoba untuk tidak membiarkan bibirnya melengkung ke atas. "Coba lo ulangi? Apa tadi? Lo? Lepasin si Andra demi Nadiar?"

"Lo salah paham-"

"Lo sendiri yang bilang kalo 2 hari ini Nadiar gak seceria dulu, dan bikin lo terpaksa lepas si Andra," Devan memotong cepat, membuat Alvis bungkam dengan rahang yang mengeras. Devan kembali tertawa. "Ayolah, dude. Lo akui aja kalo lo dah move on ke Nadiar! Lo bahkan-"

"Itu karna kerjanya gak fokus, Dave! Gue gak mungkin biarin kerjaan gue kacau karna dia!"

"-curhat panjang lebar lewat telfon dengan nama Nadiar yang selalu lo munculin." lanjut Devan, tanpa memperdulikan sanggahan Alvis.

Alis Alvis mengerenyit mendengar perkataan Devan. "Apa maksud lo? Kapan gue pernah curhat tentang dia?"

"Tiga minggu yang lalu, lo inget?" Devan menjawab dengan pertanyaan lagi, lalu duduk di samping Alvis. Lelaki itu menepuk pelan bahu Alvis. "Gue bahkan kaget banget sampe celangap lebar karna lo emosi banget ngomongnya. Makanya, gue minta lo gak pecat Nadiar dulu karna gue tau kalo dia bisa luluhin lo. Tapi, gue gak nyangka bakal secepet ini."

Alis Alvis mengerut dalam. "Kapan? Gue gak inget."

"Waktu lo abis di keroyok sama berandalan!" jawab Devan sambil mendelik jengah. "Waktu lo minta nyari sekertaris yang lain. Lo inget?" [twelve; that should be me]

"Ah ...," Alvis bergumam pelan saat teringat. "Ya ..., itu ..." Alvis tidak sadar. Bahkan sampai sekarang, Alvis tidak sadar jika pernah curhat panjang lebar tentang Nadiar.

Devan mendengus, lalu menepuk pelan bahu Alvis. "Lo pikir, deh, kapan terakhir lo ngungkapin perasaan lo yang sebenernya sama gue? Waktu Irene lebih milih Andra, yang lo omongin cuma Bantu gue, Dave. Gue bakal rebut Irene. gak ada, tuh, ceritanya lo ngungkapin kalo lo kesel sama si Andra atau sakit hati sama Irene."

Alvis membasahi bibir bawahnya dengan lidah, lalu menghela napas panjang. Benar apa kata Devan. Terlalu benar, malah. Alvis jadi tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Ini tidak masuk akal. Tentu saja. Alvis tahu apa yang diinginkan hatinya. Dan, hal itu bukanlah Nadiar. Alvis bahkan masih sering menatap bingkai foto Irene dengan sendu. Jadi, sangat tidak mungkin jika Alvis sudah move on. Apalagi kepada Nadiar. Kepala Alvis menggeleng pelan. "Gak mungkin, Dave. Sangat tidak mungkin kalo gue jatuh cinta sama Nadiar."

Devan mengangkat bahunya sekilas. "Gue gak maksa lo mendalami perasaan lo sekarang. Gue juga dulu gitu, Vis, sampe gue nyakitin perasaan Dizi. Dan setelah gue berpikir bakal kehilangan Dizi, gue gak bisa fokus dalam segala hal. Dan seperti yang lo rasain, senyuman Dizi juga berarti buat gue. Sampe-sampe, gue rela ngebiarin diri gue sendiri terpuruk demi kebahagiaan dia."

Alvis mendengus keras-keras. Jadi, maksud Devan itu, Alvis melepaskan Andra demi kebahagiaan Nadiar, begitu? Alvis rasa, tidak.

"Vis, sekarang gue tanya ama lo. Apa arti Irene buat lo sekarang?" Devan kembali bersuara.

"Masih sama-"

"Kalo masih sama, kenapa lo rela lepasin Andra? Itu keliatan banget kalo-"

"Lo kenapa, sih, Dave?!" pekik Alvis marah. "Lo sendiri yang bilang barusan kalo lo gak akan maksa. Tapi sekarang? Lo terus berputar di fokus yang sama! Gue jadi bingung kalo gini! Gue gak bisa fokus!"

Handsome CEO [repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang