twenty nine; sorry

967 35 1
                                    

Basah, dan berat. Nadiar merasa tidak mampu membuka matanya. Ia merasa dirinya sudah bangun dari tidur, namun matanya sulit untuk di buka. Perlahan, Nadiar membuka kelopak matanya sedikit, lalu kembali menutup matanya saat cahaya menyerobot masuk memenuhi penglihatannya. Sekali lagi, Nadiar berusaha membuka matanya saat ada panggilan dari sana sini. Nadiar penasaran, suara siapa dan berapa banyak orang yang memanggilnya. Mengapa terdengar banyak? Ada berapa kira-kira?

Mata Nadiar akhirnya sepenuhnya terbuka. Awalnya, penglihatan Nadiar buram, namun setelah berkedip beberapa kali dan melihat siluet yang menutupi cahaya, pandangan Nadiar menjadi jelas dan ia dapat melihat wajah khawatir Bundanya yang berlinang air mata.

"Nadiar! Syukurlah ..." ucap sang Bunda, lalu memeluk Nadiar dengan erat, hingga Nadiar merasa tubuh bagian atasnya sedikit terangkat. Bunda lalu melepaskan pelukannya, kemudian mengelus pipi Nadiar penuh haru. "Kamu tidak apa-apa, sayang?"

"Diar dima—" Nadiar menghentikan ucapannya saat ia merasa tenggorokannya tercekat. Ia lalu berdeham. "Diar dimana?"

"Kamu di rumah sakit, sayang."

Suara itu berasal dari sampingnya. Nadiar lalu menatap ke samping dan disana ada sang Ayah yang menatap Nadiar dengan ekspresi lega.

"Bun, Yah, Alden tadi ..." pintu terbuka lebar, bersamaan dengan Alden yang tidak selesai mengucapkan kalimatnya saat melihat ke arah Nadiar. Mata Alden melotot, dan Alden buru-buru menghampiri ranjang Nadiar, lalu memeriksa seluruh tubuh Nadiar. "Lo udah sadar? Lo gak papa? Apa yang sakit? Bilang ke gue. Hm? Lo tau gue, kan?"

Mendapatkan kalimat terakhir dari Kakaknya, membuat Nadiar memiliki ide jahil untuk mengerjai Alden. Nadiar memincingkan matanya, dan membuat wajah se-bingung mungkin. "Kamu ..., siapa? Kamu kenal aku? Aku ..., siapa?"

Alden terlihat menahan napasnya. Ia menatap Nadiar dengan pandangan tidak percaya, dan tangannya yang tadi berada di kepala Nadiar kini turun lemas ke bahu Nadiar. "Gak mungkin ..."

Nadiar mengulum senyumnya, lalu tertawa terbahak-bahak. "Aduh, aduh, HAHAHA! Sinetron banget ekspresi lu, Bang!"

Alden mengerjap. "Lo ngerjain gue? Lo inget gue?"

"Yah, masih aja bloon, lo, Bang!" ucap Nadiar sambil terkekeh.

Alden melotot, lalu menjitak Nadiar. "Ngeselin, lo! Gue kira lo amnesia."

"Gue cuma pingsan! Gak mungkin amnesia karna pingsan."

"Pingsan itu bukan cuma, sayang," Ayah menyela sambil mengusap kepala Nadiar dengan sayang. "Kenapa kamu telat makan? Kamu, kan, biasanya banyak makan. Tumben banget kamu gak makan."

Nadiar kini diam, memandang lampu rumah sakit lamat-lamat walaupun terasa silau di matanya. "Diar gak mau bahas itu. Orang yang bikin Diar telat makan juga gak ada disini."

Hening sejenak, sebelum Ayahnya kembali mengusap rambut Nadiar dengan sayang. "Satria tadi—"

Pintu yang terbuka tiba-tiba dan teriakan, "Nadiar!" sukses membuat kalimat Ayah terpotong.

Nadiar yang sudah mengetahui pemilik suara itu, hanya diam dan tidak mau melirik sedetikpun. Nadiar bisa merasakan Ayahnya berdiri.

Sebuah kecupan mendarat di pipi Nadiar dari sang Ayah. "Baik-baik sama Satria. Dia yang gendong kamu kesini sebelum tiba-tiba pingsan saat sampai di rumah sakit. Dia tidak makan 2 hari lebih lama dari kamu."

Dan Nadiar sukses terdiam dengan jantungnya yang melompat sejenak, kaget dengan fakta yang dikatakan Ayahnya. Jadi ..., Nadiar di gendong oleh Satria? Dan, apa tadi? Satria pingsan?

Bunda, Ayah dan Alden pergi bersama Irene yang juga baru datang. Dan kini, hanya tinggal Nadiar dan Satria berdua.

Nadiar tetap diam saat ia merasakan pergerakan Satria yang duduk di tempat sebelumnya diduduki oleh Bunda.

Handsome CEO [repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang