7: Minna

1.9K 159 2
                                    

April 1999

"Katakan Minna, siapa laki-laki yang tega menidurimu? Austin?!"

Pertanyaan Van Der Mosch seakan menguap ke udara. Sebab anak perempuan itu malah cuma duduk termangu di atas ranjangnya. Tiga bulan sejak kepindahan ke rumah tua itu, gadis kecilnya malah bunting. Entah dengan siapa. Padahal dia baru kelas 2 SMP. Tetapi mereka mencurigai Austin, anak tetangga mereka yang pernah melakukan hal tak senonoh pada Minna beberapa waktu sebelumnya.

Zarina ibunya, hanya menangis tak bicara. Biasanya mulutnya lantang dan tajam. Dia menyesal terlalu sibuk dengan job merias pengantin ala Eropa. Sering meninggalkan anaknya, malah kejadian seperti itu. Sementara dua kakak Minna juga ikut menangis di samping ibunya, meski suara kesedihan itu terdengar lebih halus. Selama ini mereka cukup keras dengan Minna, terutama soal hubungannya dengan Austin. Tetapi rupanya terlambat sudah.

Keputusan Evan Van der Mosch untuk kembali ke Indonesia yang membuat Zarina menyesal. Van der Mosch memang keturunan Belanda-Indonesia. Menikahi Zarina gadis Melayu, lalu bermukim lama di negara Kakeknya hingga memiliki tiga orang anak. Namun kemudian mereka kembali ke Indonesia, karena Mosch mendapat tawaran-tawaran menjadi Dosen Sastra Belanda di salah satu kampus swasta.

Hampir 5 tahun mengajar, Mosch akhirnya terpikir untuk bisa membeli sebuah rumah besar di Indonesia. Sebuah iklan koran kemudian membuatnya tertarik untuk menawar harga rumah yang sebenarnya hanya diiklankan untuk sekedar disewa. Namun pewaris rumah tidak ingin menjual rumah tersebut, meski mengizinkan untuk menyewa hingga kapan saja.

"Rumah sebesar dan sebagus ini kok harga sewanya murah sekali? Aneh! Malah ditawarkan untuk dapat disewa seumur hidup lagi, dengan harga yang tak akan berubah. Masuk akal juga tidak!" kata Zarina, pada suaminya yang terus memandang rumah putih besar di depan mereka.

"Ah, kau cuma terlalu senang berpikir negatif. Ini rumah yang kena gosip murahan selama puluhan tahun hingga tak ada yang sudi menyewa. Kita sangat beruntung menemukannya, bisa menghemat pengeluaran. Pewarisnya juga pasti senang karena rumah mereka bisa kita jaga" sahut Mosch.

"Apa tidak merasa aneh jika yang punya rumah saja malah tidak sudi menempati rumah ini?"

"Mereka orang kaya, kebanyakan rumah. Jadi apa masalahnya?"

"Terserah kau saja!"

Dan kini, setelah Minna mengandung, Zarina tak bisa hanya membebankan masalah itu pada suaminya. Masalah itu kini jadi masalah bersama! Sebab mereka kini tinggal di Indonesia yang masih menjunjung adat ketimuran. Gosip Minna bunting, menyebar sampai ke setiap sudut kawasan. Pandangan sinis dan hinaan orang seakan membelenggu ruang gerak dan waktu.

"Kita pindah saja..." bisik Zarina suatu hari, setelah melihat perut Minna makin buncit, dan anak itu malah senang berkeliaran dengan gaun-gaun lama koleksi pemilik rumah terdahulu.

Tapi Mosch tak bergeming. Dia terus sibuk mengajar. Sedikitpun dia tidak risau pada tingkah Minna yang berulah seperti Hantu Zaman Belanda tersebut. Pria itu hanya menganggap anaknya cuma mencari perhatian, kepada pemuda yang telah menghamilinya. Mosch lahir di Indonesia, tapi sejak SMP dia tinggal di Belanda. Datang ke Indonesia kembali juga karena liburan, lalu bertemu Zarina yang juga langsung mengikutinya ke Belanda. Jadi masalah hubungan seks di luar nikah, Mosch tidak menganggapnya sebagai sebuah masalah besar.

Dia hanya ingin pasangan Minna bertanggung jawab. Tapi apa yang harus diurusi lagi? Sebab Minna sendiri malah seakan enggan untuk mengungkap siapa bapak dari bayi dalam perutnya itu. Sama seperti Ayahnya, kedua kakak Minna juga tampak acuh tak acuh terhadap kondisi adiknya itu.

"Kalau kamu hamil di Belanda, urusan jadi tidak kacau begini. Tapi kau hamil di Indonesia, kau membuat malu kita semua. Jadi sekarang, uruslah masalahmu sendiri" teriak kedua kakaknya itu.

Minna makin sunyi. Tak ada satupun yang mempedulikannya, bahkan ibunya sendiri. Zarina bahkan makin sering bepergian meski tidak sedang merias pengantin. Hiburan Minna cuma bersembunyi di lantai dasar ruang bawah tanah. Dimana dia menemukan begitu banyak koleksi gaun-gaun cantik Eropa lama. Termasuk gaun pengantin.

Dulu, Minna sempat bercita-cita ingin sekolah modeling agar bisa merajut karir di Paris. Ayahnya mengizinkan dia ikut kursus modeling jika sudah SMA nanti. Tapi boro-boro kelak bisa jadi model dan peragawati, kelas 2 SMP saja perutnya sudah menggembung seperti ini.

Semua karena perbuatan Austin yang begitu sering menggaulinya. Pertama, karena terpaksa Minna mau melayaninya. Tetapi lama kelamaan, Minna merasakan hal itu seperti sebuah kebutuhan. Setiap hari saat rumah sepi, mereka berhubungan badan. Termasuk di malam hari, ketika semua orang terlelap dan Austin lincah mengendap-endap dari tembok belakang menuju atap. Lalu menuruni pohon kersen, untuk menuju jendela kamar Minna yang terbuka.

Minna tidur sendiri. Sementara kedua kakaknya tidur berdua. Kedua orangtuanya di ruangan lain. Itu yang membuat Austin bebas menggeluti tubuh gadis belia itu sampai jelang pagi.

Tak ada rasa cinta diantara keduanya, selain nafsu. Mereka bahkan tidak banyak bicara satu sama lain. Tetapi sepakat untuk liar dalam urusan syahwat. Setelah melakukan hubungan yang begitu sering, Minna memang tidak menangis kesakitan lagi. Justru dia malah mampu mengimbangi luapan gairah Austin dengan tak kalah binal.

"Ibuku membawaku ke dokter. Katanya aku hamil..." bisik Minna, saat anak lelaki itu berada tepat di atas tubuhnya.

Austin berhenti sebentar dari nafasnya yang memburu seperti serigala. Keringatnya yang sebesar jagung, menetes hingga ke ujung hidungnya yang mancung. Matanya yang coklat menatap tajam ke wajah Minna yang tengadah pasrah.

Berbulan-bulan dia menikmati tubuh anak gadis tetangganya tersebut. Nikmat tiada tara. Apalagi ketika Minna mulai menyukai letupan gejolak birahinya yang tak terkendali itu. Mereka masih sangat belia. Tetapi eksperimen gila tersebut membuat mereka bertingkah seperti makhluk dewasa yang bisa memikirkan dampak ke depannya.

Namun nyatanya tidak. Austin bangkit dari pertarungan liar di atas ranjang itu. Dia duduk mematung di pinggir ranjang. Seakan tak siap mendengar pengakuan mengerikan dari mulut Minna. Kenapa harus hamil? Kenapa hubungan seks itu tidak bisa nikmat lama tanpa terganggu perkara bunting? Austin tidak siap menghadapi itu.

Malam begitu dingin, ketika Austin meloncat dari jendela kamar Minna tanpa pamit. Tak ada kecupan dan remasan nakal di payudara gadis itu, sebelum dia menghilang seperti angin. Entah mengapa, Minna menganggap itu adalah simbolik kalimat perpisahan dari partner petualangan seks-nya.

Dan itu benar. Austin tak pernah lagi mencarinya. Anak muda itu juga seakan enggan terlihat lagi olehnya. Minna lalu menanyakan keberadaan Austin pada ibunya, Marce. Tetapi wanita itu malah menghardiknya.

"Dasar perempuan sundal, bisanya cuma menggoda para lelaki. Austin-ku yang lugu kau buat rusak begini. Jika kau puas tidur dengan banyak lelaki di Belanda, jangan kau goda pula anak lelaki di Indonesia ini" teriak Marce.

"Tapi Austin yang membuatku hamil"

"Tidak ada urusan dengan Austin. Kau tidur dengan banyak orang!"

Minna menangis. Hatinya hancur. Apalagi saat dia melihat Austin membuang muka saat kepergok tengah diam-diam memperhatikannya dari jendela kaca rumahnya.

"Papi dan Mamiku harus tahu. Aku tidak ingin menutupinya lagi. Kau harus merasakan akibatnya, Austin!"

Minna berlari masuk ke rumahnya dengan tangisan yang semakin nyaring. Marce mulai risau, dia lalu memandang Austin yang berdiri di kaca jendela dalam diam.

"Cepat ambil pisau!"

(Bersambung)

Hoom Pim Pah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang