45: Lampu

1.1K 137 41
                                    

Lolita mengeluh, sebab Atikah tidak datang lagi hari itu. Sudah 4 hari tak berkunjung. Entah kemana ibunya. Tak ada kabar. Sementara seorang polwan mengatakan, bahwa sebentar lagi dia akan segera dititipkan ke Lapas khusus wanita. Dia sudah dianggap cukup sehat, perban dikepalanya juga akan dibuka.

"Saya menunggu Mama saya dulu, Bu" kata Lolita.

"Iya, nanti kita hubungi Mamanya Mbak ya" sahut Polwan tersebut.

Lolita memejamkan matanya. Dia mulai kesal memegangi perutnya yang kini mulai jelas terlihat buncit. Hamil 6 bulan, dengan cobaan seberat 6 ton, jelas membuatnya sangat terpukul.

Kemana Papanya? Kemana Mamanya? Kemana pula Si Hendra yang tidak bertanggung jawab itu?
Dia merasa sendiri, bahkan tanpa di dampingi seorang pengacara untuk menghadapi kasusnya. Tingkat kesedihannya sudah sangat jauh melambung, yang justru berbanding terbalik dengan kondisi ibunya yang sedang berbunga-bunga.

Atikah sudah membawa kopernya di hotel pindah ke rumah Hendra. Melihat koper dengan pakaian sebanyak itu, Hendra akhirnya mengalah. Dia membiarkan mertuanya masuk kamar, sementara dirinya yang tidur di sofa. Entah mengapa, Hendra jadi malas kembali ke kost. Mungkin karena di rumah, Atikah melayaninya dengan baik.

Rumah bersih, rapi tertata. Selalu ada masakan lezat di atas meja makan, juga kopi hangat, dan sepiring kue ataupun pisang goreng. Bangun pagi, Atikah sudah memilihkan pakaiannya untuk berangkat kerja, termasuk membantunya memakai dasi dan mempersiapkan sepatunya. Bahkan, mertuanya itu, tak segan memijat pundaknya dengan terampil, saat Hendra merasa penat dengan segala aktivitas kerja.

Jujur, Hendra mulai nyaman dengan hal itu. Inilah yang dia inginkan, tapi tidak ditemukannya pada Dena, apalagi Lolita. Dena memang pandai memasak dan mengurus anak, tetapi tidak sampai sedetil dan serinci Atikah dalam mengurusnya. Apalagi Lolita yang kerjanya cuma minta duit untuk membeli makanan di luar itu. Rumah berantakkan, kerjanya keluyuran, hidup juga boros.

"Bagaimana... senang kan ada aku di sini?" bisik Atikah lembut, saat memijat punggung menantunya itu.

Hendra mencoba tersenyum, namun dia justru seperti meringis, menahan gejolak yang tak bisa ditangguh. Dua gunung kembar Atikah padat besar menempel lembut di bagian belakang tubuhnya, membuat denyar halus pada ujung kelaminnya. Apalagi, paha Atikah betul-betul licin mulus, yang selalu tersaji dalam rok mini super ketat.

Apalagi sudah hampir seminggu dia tidak berhubungan seks dengan Dena. Ditelpon juga itu orang susah. Sementara gairah Hendra sulit untuk tertunda. Rasa pusing dengan kasus Lolita ditambah masalah di rumah sewaan Dena dan anak-anaknya, membuat Hendra mulai iseng berpikir untuk sekedar mencari pelampiasan.

Tak ada penolakan, saat Atikah mendorong Hendra dengan genit menuju ranjang. Wanita montok itu tampak liar melepas baju, lalu dengan lincah mematikan lampu.

****

Ruang Private Party itu penuh gemerlap lampu. Alunan musik terdengar begitu menggebu dari DJ bule seksi yang hanya mengenakan kutang. Hampir semua manusia di area itu bergoyang, termasuk Alya Dildo alias Aliyatun Sodikah, gundik menteri yang liar memamerkan isi celana dalam.

Hidup adalah pesta, bagi wanita yang mengawali karir sebagai pemandu karaoke plus-plus itu. Nasib baik membuatnya di pelihara Pak Haji, yang memodalinya untuk operasi plastik di Thailand, Jepang dan Korea. Wajah kampungnya berubah menjadi begitu memukau, sehingga bisa mencari mangsa lain, lebih dari sekedar pria pemilik banyak panti pijat dan kafe remang-remang yang kebetulan pernah naik haji.

Wajah rupawan hasil rombakan itu pula yang membuatnya bisa menjadi penyayi dangdut karbitan. Meski tak mudah awalnya terjun di blantika musik dangdut, apalagi tanpa dukungan Pak Haji yang telah pergi menjauh, setelah merasa hanya dimanfaatkan.

Hoom Pim Pah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang