40: Ibu yang Kembali

1.3K 134 32
                                    

Maria memegang kuat gelang giok di lengannya, sebelum dia dengan lesu melepasnya, dan menyodorkan gelang itu pada pedagang toko emas dan perhiasan di pasar.

"Sertifikatnya ada?" tanya Encik pemilik toko, sambil memeriksa gelang itu.

Maria menggeleng,"Saya lupa dimana meletakkannya. Dulu saya beli sekitar 4,5 juta"

"Saya berani beli mahal jika masih ada sertifikatnya, kalau tidak... paling cuma satu juta rupiah"

"Apa?! Ini giok asli... saya pesan khusus dari China"

"Saya tahu, tapi saya juga butuh sertifikatnya untuk bakal di jual lagi. Tanpa itu, harga bakal sangat murah. Saya tak mau rugi. Paling nanti saya jual dengan harga satu juta lebih sedikit kepada pembeli saya. Bagaimana?"

Maria tampak cemberut, tapi akhirnya dia menyerah. Dengan sedih dia meremas uang satu juta dari Si Encik, sebelum memasukkannya ke dompet.

Menyesal sekali Maria, selama ini sibuk foya-foya menghabiskan harta warisan Bibi Marce. Kini, yang tersisa cuma gelang giok itu. Bahkan besok, mungkin demi makan dia terpaksa akan menjual ponselnya, atau rumah peninggalan Marce itu?

"Beli bunga?" tawar seorang nenek tua, pemilik lapak bunga tabur. Dia bersama pria yang lebih muda, kemudian sibuk menunjukkan beragam jenis bunga tabur pada Maria. Sebenarnya, baru pertama kali itu Maria mampir ke sana, tapi kedua orang itu begitu pandai membuat pembeli seakan sudah merasa kenal lama.

"Bisa dicampur, mawar... melati...kamboja. Pokoknya ibu mau apa saja, kita bungkuskan. Ayo Bu, duduk dulu...." kata pria yang mengaku cucu Si Nenek, sambil meletakkan kursi plastik di dekat Maria.

Maria tersenyum dan langsung duduk,"Ya, saya beli satu bungkus. Juga air mawar"

"Mau nyekar?" tanya Si Nenek lagi.

"Mau ritual"

"Oh, mau dupa?"

"Boleh"

"Tinggal dimana?"

"Kawasan Hitam"

"Oh, tetangga Bu Dena?"

"Ibu tahu Dena?"

"Ya, Bu Dena waktu itu datang ke sini. Dia bertanya soal sejarah rumah dan wilayah Kawasan Hitam itu. Kenalkan, nama saya Sukemi. Kamu pasti anak adiknya Si Marce kan? Saya awalnya tidak kenal Marce. Tetapi jelang-jelang kematiannya, dia sering beli bunga di sini, untuk nyekar Mbah Cipto di pemakaman sana!"

Maria memandangi pemakaman umum yang cuma berjarak 200 meter saja itu. Banyak kuburan tua di sana.

"Mbah Cipto itu siapa, Bu Sukemi?"

"Dia yang punya seluruh tanah Kawasan Hitam itu, kecuali rumah Pak Moksa dan Pak Mathius bapaknya Si Marce"

Maria menggeleng,"Itu tanah Kakek saya yang diwariskan kepada anak-anaknya. Bibi Marce dan Mami saya. Apa urusannya dengan Si Cipto itu?"

"Saya tahu, itu punya Mbah Cipto. Sebagian tanah dijual untuk rumah keluarga sampeyan dan keluarga Pak Moksa yang waktu itu Bapaknya Si Darso. Tapi sisanya tidak dijual, dititip untuk dijaga, ke Kakek sampeyan itu. Berhubung Mbah Cipto meninggal, dan tidak diketahui siapa pewarisnya, maka kawasan itu dikelola oleh Pak Mathius"

"Omong kosong macam apa ini?"

"Lha...orang sini juga pada tahu kok, saya ini saksi hidup. Eh, malah sama Si Marce tanahnya dijual ke Moksa, makanya dibuat Moksa dan Gayatri pabrik jamu. Tapi nggak berkah tho, wong terbakar kabeh? Ludes! Makanya Marce sering-sering ke kuburan Mbah Cipto, berharap agar tanah yang dijualnya ke Moksa bisa kembali lagi. Semacam minta petunjuk dan restu begitu...."

Hoom Pim Pah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang