24: Rindu

1.3K 128 19
                                    

Hendra merasa penting untuk mengunjungi Dena dan kedua anaknya malam itu. Dia mendadak rindu. Bukan saja untuk memeluk dan menciumi Aurora dan Axio, tapi juga demi pergumulan hangat di ranjang bersama mantan istrinya tersebut.

Begini mungkin rasanya jatuh cinta pada orang yang sama itu, bathin Hendra. Seperti memulai dari awal, dia merasakan sensasi yang tidak sekedar sayang. Ada rindu yang terus berpendar tiap waktu, menyisipkan gejolak asmara yang terkadang binal dan melupakan rasa malu.

Dena mengusap pundak pria itu dengan lembut, merasakan kelembapan keringatnya yang mengucur deras sejak mulai pertarungan ganas dan liar tadi. Ini seperti hubungan intim yang mereka lakukan saat awal mula membina pernikahan. Semua serba membara.

"Lima ronde..." bisik Dena, membuat Hendra tertawa.

Mereka bercinta hingga larut, untunglah kedua anak mereka tertidur pulas. Hendra bangkit dengan hanya mengenakan sarung, dia mengaku merasa lapar. Kemudian Dena mengikat tubuhnya dengan kain tipis, lalu mengikuti Hendra menuruni tangga. Cuaca dingin mulai terasa saat mereka menjejakkan dapur. Namun Dena dengan sigap membuka tudung saji di meja makan.

Masih ada nasi, ikan goreng, sambal gandaria dan lalapan di atas meja. Sisa makan malam mereka bersama anak-anak. Hendra lalu cekatan mengambil nasi dan lauk, sementara Dena mulai membuat kopi dari air panas yang disimpan dalam termos.

"Aku selalu merindukan masakanmu. Saat kita berpisah dulu, terkadang aku memimpikan kau sedang memasak..." kata Hendra, sambil terus mengunyah.

Dena tersenyum pahit. Cuma masakan? Dulu orangtua bilang, cinta itu berawal dari perut. Jika tercukupi urusan makan suami, maka kita bisa mengikatnya dalam kesetiaan. Tapi nyatanya tidak begitu. Dena sangat pandai memasak, Hendra bahkan tak menampik itu. Cuma urusan perut dan bawah perut itu berbeda bagiannya. Ada nafsu makan, dan ada lagi nafsu seksual. Tak bisa seiring sejalan. Sebab nyatanya, Hendra tetap bermain api di luar, meski segudang masakan lezat tersaji mantap di rumah. Dasar Lelaki, gerutu Dena dalam hati.

"Aku akan segera menceraikan Lolita, terus kita akan rujuk kembali...."

Dena melirik Hendra yang mengigit pete dengan nikmat. Semudah itukah dia mengambil setiap keputusan? Semudah dia menikah, semudah dia selingkuh, semudah dia bercerai, dan semudah dia berpikir untuk rujuk? Apa karena selama ini dia tahu, bahwa dirinya dibutuhkan? Baik dari Dena dan kedua anaknya, juga dari Lolita wanita yang pernah dirusaknya kemudian kini balas merusak hidupnya dengan ikatan cinta?

"Madam Sesco bilang, Lolita hamil..." kata Dena dengan tenang.

Hendra mendadak tersedak mendengar itu. Dia mengurungkan niatnya menyuap nasi. Malah tergesa menuang air dalam teko, lalu meminumnya dengan cepat.

"Kau tahu, Lolita tidak hanya tidur denganku!"

"Tapi masalahnya, dia hamil saat menjalani pernikahan denganmu"

"Itu bukan anakku!"

"Dari mana kau tahu? Bayi itu belum lahir dan belum bisa digelar tes DNA!"

Hendra menghela nafas. Dia lalu mendorong piring di depannya dengan berat. Seleranya hilang untuk lanjut makan lagi.

"Madam Sesco sudah menyiapkan rumah bagus untuk kita. Itu semua karena tujuh gaun antik itu. Dan ternyata, tak ada potong gaji untuk itu. Rumah seharga 500 juta itu gratis untuk kita! Aku cuma tinggal fokus nyicil mobil aja. Tak ada hutang. Hidup kita bakal tenang, sayang. Kita akan kembali bersama..."

Dena menunduk, hatinya masih gelisah. Bukan saja soal tingkah Hendra yang plin plan dari loncat ke Lolita lalu kini santai kembali padanya, tetapi juga soal gaun-gaun tua dari rumah itu.

Hoom Pim Pah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang