Bab 1

5.3K 559 59
                                    

Dari Tanjung Perak, Surabaya, Arjuna menaiki kapal pesiar. Berkali-kali ia memeriksa jam tangannya, apakah masih berfungsi dengan benar karena baginya waktu berjalan begitu lambat. Ia bahkan enggan bercengkrama dengan siapa pun karena mereka akan mengaggapnya sebagai orang aneh.

Kaki Arjuna berat, enggan untuk cepat-cepat tiba di area kapal. Telinganya mulai terusik saat mendengar sebuah suara lantang. Ada yang menarik perhatian dari genggaman si pria pembuat gaduh. East of Eden, novel salah satu penulis favorit Juna, John Steinbeck. Meskipun, jika bisa memilih, ia lebih menyukai Of Mice and Men. Sebuah novelet yang mengajarkan untuk mengenal satu sama lain, dengan demikian semua benci akan reda dan manusia akan mampu memperlakukan orang lain dengan baik. 

Pria itu bukan hanya menarik perhatian Arjuna, tetapi juga perhatian para wanita yang ada di sana. Hanya saja, Arjuna yakin, yang membuat para wanita itu mencuri pandang malu-malu bukanlah novel mahakarya yang mendapat anugerah Nobel. Tetapi pada penampilan si pria. Rahang tegas dan lesung pipit di satu pipi, tidak akan ada wanita yang tidak terpukau.

Arjuna berdecih pelan. Semua perempuan sama saja, memuja wajah tampan tanpa benar-benar mengenal jiwa yang ada di baliknya.

"Iya saya sudah berjalan menuju kapal, ini masih mengantre dengan penumpang yang lain. Nanti saya kabari lagi kalau sudah di kamar," kata pria itu lantang.

Arjuna melewati pria itu, terus berjalan di antara penumpang yang mengantre masuk sesuai dengan tali tanda imigrasi, setelah melakukan proses panjang termasuk pemeriksaan barang bawaan. Perjalanan kapal pesiar ini akan berakhir di pelabuhan Marina Bay, Singapura.

Pria berkulit cokelat itu dengan malas memeriksa selembaran tiketnya untuk mencari kamar hotel. Arjuna mendapatkan kamar di lantai sembilan dari puluhan lantai yang tak mampu ia hitung. Ia sampai di depan pintu kamar dengan nomor 9251. Tubuh lelahnya ingin segera direbahkan di atas tempat tidur yang katanya berkualitas terbaik buatan Jerman. Namun, ia tahu, tidak akan ada yang mengalahkan kenyamanan kasurnya di rumah. Ini bukan hanya soal kualitas pabrikan, tapi di mana jiwa dan hati disandarkan.

Saat Arjuna menguak pintu kamar. Pemandangan khas hotel bintang lima menyapa, meskipun ruangan yang tersedia lebih sempit.  Ini kapal, bukan di daratan. Ranjang yang tertata rapi, sofa yang tampak terlalu besar, lampu tidur yang berpendar hangat, juga cermin yang bersebelahan dengan layar televisi LED enam puluh inci memberi kesan minimalis sekaligus mewah. Di sebelah kanan, Arjuna dapat melihat dari balik jendela bertirai kasa. Sepasang bangku dan meja diletakan di sana berhadapan dengan laut lepas, teringat bahwa dirinya semakin jauh dari rumah.

Arjuna menoleh ke kiri, ada pintu lain di dalam kamarnya. Setelah dibuka ternyata hanyalah toilet dan kamar mandi shower. Cukup nyaman tidak terkesan sempit dengan nuansa warna putih dan aksen kayu dipadu keramik yang serasi. Semua peralatan mandi, handuk besar dan kecil sudah tersedia. Dari semua peralatan mandi seperti sabun, sampo dan pasta gigi di westafel, fokus Arjuna tertuju pada cermin. Ia melepas topengnya, menyalakan keran untuk segera membasuh muka.

"Awal yang baik, paling tidak, aku sudah melewati ratusan orang sebelum masuk ke sini."

Tak ingin berlama-lama memandangi wajahnya, Arjuna memutuskan keluar dari kamar mandi. Tiba-tiba terdengar suara buzzer, Arjuna menoleh pada alat di samping pintu yang menempel di tembok. Dilihat dari layar alat tersebut tampak seorang pria berpakaian putih dengan topi berwarna oranye. Arjuna menekan sesuatu untuk membuka kunci pintu.

Begitu pintu dibuka, pria berpakaian putih-oranye itu tersetak kaget. Matanya terbuka lebar, ia bahkan sempat mundur beberapa langkah sambil menyentuh dadanya, seolah memastikan di dalam sana sedang baik-baik saja setelah terguncang hebat.

Beauty and the BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang