Bab 2

4.5K 485 35
                                    

Senyum yang telah terukir di bibir Ayu perlahan memudar sewaktu melihat reaksi lelaki itu. Lelaki bertopeng yang tiba-tiba saja mengambil langkah bergegas menjauhinya. Tampak ketidaknyamanan pada gestur lelaki itu sebelum pergi. Sesuatu yang Ayu sadari disebabkan oleh sikap ramah yang berusaha ia tunjukkan.

Dilihat dari penampilannya, lelaki bertopeng itu jelas bukan orang biasa. Tuksedo hitam yang dipakainya tampak berkelas. Tak jauh berbeda dengan yang dikenakan Lintang, sahabat Ayu. Namun, dari tindakannya yang terburu-buru memakai topeng di pertemuan singkat mereka tadi, Ayu yakin wajahlah yang menjadi alasan lelaki tadi bersikap demikian.

Di restoran tadi, Ayu menyadari jika banyak orang yang memperhatikan lelaki bertopeng itu. Benda yang melekat di wajah lelaki itu tak pelak membuat banyak orang bertanya-tanya. Gerangan apa yang membuat lelaki itu seolah ingin menyembunyikan diri dari pandangan orang lain. 

Sebenarnya, Ayu pun demikian. Sekilas ia penasaran dengan lelaki bertopeng tersebut. Selain penampilannya yang bisa dibilang mencolok, lelaki tersebut juga tampak tak ingin bergabung dengan orang lain dan memilih duduk sendirian. Namun, percakapan seru dengan Lintang membuat Ayu tak terlalu mempedulikan rasa ingin tahunya. Cerita Lintang tentang novel East of Eden, karya John Steinbeck yang belum sempat ia baca itu lebih menyedot perhatian Ayu, meski sesekali ia masih mencuri pandang ke arah lelaki bertopeng hingga pada satu detik yang tak terduga, lelaki itu balas melihat ke arah Ayu. Tak ingin menimbulkan prasangka buruk, Ayu pun menyunggingkan seutas senyum. Sekadar menunjukkan keramahan pada sesama tamu. Akan tetapi, senyum yang hampir tercetak di bibir lelaki bertopeng itu mendadak musnah. 

Sembari terus melangkah melewati deretan pintu kabin yang kesemuanya berwarna putih, Ayu mengembuskan napas panjang. Ia menuju dek yang berseberangan dengan restoran sehingga sesekali berpapasan dengan para penumpang yang bertolak arah dengannya. Orang-orang yang hendak menuju restoran. Sebagian orang yang memang ia kenal, tetapi lebih banyak orang asing yang baru ia temui di kapal pesiar ini. Sejujurnya, Ayu jenuh bersikap ramah dengan kerap menebar senyum. Bukannya ia ingin berhenti, tetapi perasaannya selalu diliputi ketidaknyamanan karena sebagian besar penyebab sikap baik orang-orang adalah wajah cantik Ayu. Sesuatu yang selalu ia alami sejak ia tahu bahwa dirinya memiliki wajah yang rupawan.

Fakta tersebut sekali lagi mengantarkan isi pikiran Ayu pada lelaki bertopeng tadi. Meski hanya beberapa saat, ia sudah melihat wajah asli lelaki itu. Wajah yang dikategorikan buruk rupa. Kenyataan yang membuat lelaki tadi bersikap menarik diri dari sekitarnya. Bahkan, senyum ramah Ayu pun seperti sesuatu yang terlalu menakutkan untuk diterima. Sedikit banyak reaksi lelaki bertopeng itu membuat hati Ayu tercubit karena selama ini orang-orang justru berharap senyuman darinya. 

Pertanyaan-pertanyaan lain seketika menyusul dan memenuhi benak Ayu. Siapakah sebenarnya lelaki bertopeng tadi? Salah satu sastrawan yang menjadi undangan dalam acara di kapal pesiar ini? Apakah orang-orang mengetahui wajah aslinya? Bagaimana jika Ayu pun memiliki wajah buruk rupa seperti lelaki bertopeng tadi?

Pertanyaan terakhir benar-benar mengusik hati Ayu. Selama ini, orang-orang selalu mengatakan lukisannya  adalah mahakarya cantik dari seseorang yang juga cantik. Mereka seolah tak peduli sekali pun ia menorehkan kuasnya ke atas kanvas dengan asal-asalan. Atau meski Ayu menorehkan warna sesuka hati. Tanpa perhitungan. Tanpa jiwa seni sedikit pun. Semuanya tak jadi soal selama Ayu yang melukisnya. Ayu yang cantik jelita. 

Tidak bisakah orang-orang melihat lukisan Ayu berdasarkan isi kanvas itu sendiri? Sama seperti mereka mengagumi Starry Night dan Sunflower meski Van Gogh, sang pelukis, bahkan memotong sebelah telinganya sendiri dan kehilangan kesempurnaannya sebagai seorang manusia. 

Ayu menghela napas untuk kesekian kali. Pikiran-pikiran semacam itu selalu saja membebaninya. Ia lelah akan semua label cantik, memesona dan segala macam sebutan serupa. Beruntung, ia telah sampai di dek. Pemandangan lautan luas yang dinaungi langit menjelang malam segera menyambut langkah perempuan itu. Memberinya sebait napas kelegaan sekaligus kebebasan. Terlebih lagi suasana di sana cukup sepi. Tak ada pengunjung yang melintas, apalagi menetap.

Perlahan, langkah Ayu mendekat ke pagar pinggir dek. Ia berpegangan pada pagar besi. Mengagumi sejenak lukisan alam Sang Pencipta yang luar biasa menawan, lalu memejamkan mata dan membiarkan angin menyentuh wajah cantiknya. Dalam belaian sang bayu, benak Ayu menggaungkan seuntai kalimat.

Saatnya menikmati kebebasan. 

***

A

yu tak tahu sudah berapa lama ia berada di dek. Membiarkan angin malam menyelimuti tubuhnya yang mengenakan gaun hitam panjang tanpa lengan. Sebenarnya Ayu ingin berpenampilan biasa. Namun, ibunya tak pernah membiarkannya tampil tak sempurna. Satu set perhiasan berlian sukses membuat dirinya memukau malam ini. 

Ketenangan yang tercipta dari kesepian di dek tersebut membuat Ayu betah berlama-lama di sana. Hanya debur ombak dan langit kelam yang penuh bintang. Sesuatu yang sederhana, tetapi begitu indah. Sesuatu yang memberinya kebebasan tersendiri. 

Kapal pesiar ini sudah penuh oleh orang-orang yang menghujani Ayu dengan pujian. Sebagian besar tentu saja mengenai wajah cantiknya. Berkebalikan dengan harapan Ayu yang lebih menginginkan kekaguman untuk lukisannya. 

Namun, masa bodoh dengan semua itu. Nanti Ayu akan bertemu lagi dengan orang-orang itu. Kembali terjebak dalam situasi yang ia benci. Oleh karena itu, saat ini ia hanya ingin menikmati kebebasannya barang sejenak. Menghidu aroma laut di malam hari sepuas mungkin. Merasakan semilir angin membelai tiap inci tubuhnya tanpa rintangan. Bebas dari tatapan memuja yang justru mempersempit ruang geraknya. Sesuatu yang mengungkung Ayu dalam label 'cantik'.

Ayu memandangi bulan yang malam itu muncul dengan malu-malu. Saat ini masih bulan sabit, tetapi penampakan benda langit nan elok tersebut tak urung membuatnya teringat pada salah satu karya seorang sastrawan yang menjadi inspirasinya dalam melukis. Cahaya bulan, pantulan di cermin air dan suasana malam yang syahdu.

Seutas senyum tergambar di bibir Ayu. Ia tahu, garis lengkung itu akan menambah kecantikannya. Fakta yang kerap ia dengar dari orang lain. Namun, sekali lagi ia tak peduli. Ia sendirian sekarang. Tak ada orang lain yang menatapnya penuh minat atau rasa kagum. Ia bebas menikmati semuanya seorang diri. 

"Ayu." Panggilan dari suara familiar tersebut membuyarkan semua lamunan Ayu. Lebih tepatnya semua kesenangan perempuan itu. 

Ayu menoleh dan mendapati Lintang berjalan menghampirinya. Lelaki bertubuh tegap dan wajah menawan itu tersenyum seiring langkahnya mendekati Ayu.

"Lintang?" Ayu tidak merasa heran akan kehadiran sahabatnya itu. Ia lebih terusik karena kesenangannya yang harus berakhir lebih cepat. 

"Aku mencarimu dari tadi, ternyata ada di sini." Lintang menjajari Ayu. Keduanya kini berdiri bersisian di pinggir dek. Sama-sama menghadap lautan yang memantulkan kelamnya langit malam. "Mencari angin?"

Ayu tersenyum tipis. Ia berbalik dan kini menyandarkan punggungnya ke pagar dek. Membelakangi pemandangan laut yang sedari tadi membuatnya kagum.

"Mencari ketenangan, tepatnya. Di dalam sana terlalu ramai untukku," jawab Ayu. Tatapannya yang tadi dipenuhi ketenangan kini berganti dengan keengganan. Jalan menuju galeri seni seolah semak berduri yang akan  mengantarnya menuju tempat penuh penyiksaan. Jenis siksaan tak kentara yang bernama pujian.

"Yah, bukannya aku tidak tahu yang kamu rasakan, Yu. Tapi, di sanalah acara yang menjadi tujuan kita berada di kapal pesiar ini," ujar Lintang. 

Ayu mengembuskan napas panjang. Menyesali fakta yang baru saja diucapkan lelaki di sampingnya itu. "Sayang sekali kamu benar, Lin."

Meski enggan, Ayu akhirnya memilih meninggalkan dek untuk menuju galeri seni. Namun, baru satu langkah kakinya bergerak, gerakan Ayu terhenti oleh tindakan Lintang. Lelaki itu meraih tangan kanan Ayu dan menggandengnya.

"Untuk memastikan kamu tidak menghilang lagi, Yu." Lintang menjawab sebelum Ayu sempat bertanya. Seolah bisa membaca isi pikiran perempuan itu.

"Jangan berlebihan," sergah Ayu. "Tidak akan ada yang peduli aku hadir di sana atau tidak."

"Justru itu. Mereka semua mencari pelukis cantik yang membuat Moonlight at Midnight."

Jawaban Lintang sontak memunculkan kembali perasaan yang tak Ayu kehendaki. Sesuatu yang sedari tadi sudah berusaha ia hempaskan jauh-jauh bersama embusan angin laut. Sesuatu yang sayangnya hadir lebih cepat dari yang Ayu harapkan. 

Ayu tak lagi berkata-kata. Terlalu enggan untuk menanggapi. Ia hanya membiarkan Lintang menarik tangannya, membawa Ayu menuju tempat yang sejatinya sangat ingin ia hindari.

Beauty and the BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang