"Om Juna, Ais boleh beli buku My Little Pony, kan?" tanya seorang gadis kecil berkucir dua pada Arjuna.
Arjuna berjongkok agar tingginya sejajar dengan bocah berusia lima tahun itu. Dibelainya lembut puncak kepala Aisyah. "Boleh," jawabnya. "Masing-masing cuma boleh beli maksimal dua buku, ya? Nggak boleh beli jajan atau benda lain." Juna berkata pada empat belas anak lainnya yang berdiri dalam satu kelompok bersama Aisyah.
"Robby, kamu yang tertua. Pastikan adik-adikmu nggak beli buku yang nggak pantas untuk usia mereka," titah Juna pada seorang remaja laki-laki yang mengenakan seragam putih biru.
Robby mengangguk antusias sambil mengacungkan ibu jari.
"Uangnya sudah kamu pegang, kan?"
"Sudah, Om." Robby menepuk tas selempangnya. Isyarat bahwa uang yang Arjuna maksud disimpan di sana.
"Oke," suara Aditya terdengar dari belakang tubuh Arjuna, "siapa yang udah nggak sabar masuk ke dalam?"
Pertanyaan Aditya dijawab dengan keriuhan lima belas anak yang kompak menyebut "aku, aku" sambil melompat-lompat. Tingkah mereka sontak membuat orang-orang yang berada di pelataran parkir Jatim Expo menoleh ke arah mereka.
Masih berjongkok, Arjuna tertawa lepas. Kegembiraan anak-anak asuhnya menular padanya. Ucapan sahabatnya memang benar bahwa tidak semua orang memandang jijik atau penuh rasa iba padanya. Moderator dan audience acara bedah buku tadi pun bersikap biasa. Seharusnya Juna menyadari semua itu lebih awal. Bukankah anak asuhnya di panti selalu menyambut kedatangannya dengan antusias? Mereka sama sekali tidak ragu untuk bergelayut di lengannya ketika merengek meminta hadiah. Tak ada yang menangis ketakutan melihat wajahnya atau mengatainya monster.
Arjuna lalu berdiri dan merapikan kembali jasnya. Aisyah menggandeng tangannya. Gadis kecil itu melompat-lompat riang. Anak-anak asuhnya yang lain berjalan di depan, mengikuti Aditya masuk ke dalam gedung. Namun, sesosok wanita bermata hitam yang berdiri di depan pintu masuk membuat langkah Juna terhenti. Hanya sebentar, karena Aisyah menarik tangannya untuk kembali berjalan.
Arjuna mengangguk sopan saat melintas di depan Ayu.
"Juna, tunggu!"
Seruan perempuan itu kembali membuat Arjuna berhenti. Ia menunduk dan berkata pada Aisyah, "Ais ikut Om Adit, ya. Om Juna ada perlu sama teman Om."
Aisyah mengangguk, tanpa bertanya. Anak itu lalu berlari kecil menyusul Aditya. Setelah Aisyah terlihat digandeng oleh Aditya, Juna baru melihat ke arah Ayu.
"Siapa mereka?" tanya Ayu.
"Anak-anak asuh saya. Almarhum Bapak mendirikan panti asuhan, saya hanya meneruskan."
Ayu tersenyum hingga gigi gingsulnya mengintip. "Mereka manis sekali," katanya.
Juna mengangguk, sepakat dengan ucapan Ayu. "Di mana Lintang?" tanya Juna, mencoba terdengar biasa saja. Meski sebenarnya, mengetahui Lintang adalah pria yang meminang Ayu, telah membuat Arjuna terkejut.
Darah Juna berdesir karena teringat kembali momen di kala mereka berpisah di kapal pesiar, saat Ayu tanpa rasa jijik membelai bekas luka di wajahnya. Tadinya ia sempat berpikir bahwa Ayu-lah the one. Seorang wanita yang bisa menerimanya tanpa memandang rupa maupun harta. Akan tetapi, segera Juna sadar bahwa hubungan romantis tidak ditakdirkan untuknya. Orang-orang tidak takut padanya pun sudah merupakan anugerah.
"Lintang sedang ke kamar kecil."
"Oh," lirih Juna. "Omong-omong, selamat untuk pertunangan kalian. Semoga bahagia." Arjuna mengulurkan tangan, tetapi Ayu tidak menanggapi. Wanita itu hanya melihat sekilas ke arah tangan dengan guratan bekas luka bakar yang terulur, dan justru menatap ke dalam mata Juna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and the Beast
RomanceHappily every after. Satu kalimat yang tak pernah lagi Juna yakini kebenarannya semenjak kebakaran merenggut wajah tampannya, sekaligus perempuan yang ia percaya sebagai cinta sejatinya. Namun, semua itu terkikis sewaktu ia bertemu Ayu, perempuan c...