Ayu menghela napas, menurunkan tangannya di sisi tubuh. Ketika dia membuka mata, lelaki bertopeng yang sempat ditemuinya tadi siang berjalan mendekat. Ayu benar-benar tidak bisa mengetahui wajahnya, karena bagian kiri yang tidak tertutupi topeng tersamarkan oleh bayangan juga rambut yang memanjang. Setelah cukup dekat, Ayu hanya bisa melihat mata kecokelatan yang memantulkan cahaya lampu di sekitar dek.
“Anda menjatuhkan ini.” Gelang berlian yang Ayu kenali berkelip di tangan si lelaki. Wanita itu meraba pergelangan tangannya yang kosong. “Terlepas setelah Anda menabrak baki.” Saat tangan lelaki itu terjulur untuk meletakkan perhiasan, Ayu kembali dibuat penasaran oleh kulit punggung tangan yang rusak.
Luka bakar. Kali ini dia meneliti wajah misterius di hadapannya. Bayangan masih tidak mengizinkannya untuk melihat secara sempurna. Apakah ini alasannya mengenakan topeng dan menutup diri? Ayu baru menyadari bahwa tatapannya terlalu intens ketika lelaki itu menyentuh topengnya dengan pandangan tidak nyaman, lalu mundur dan hendak berbalik.
“Tunggu.” Ayu berusaha menahan tangannya yang hendak meraih tubuh pria asing. “Maaf, saya tidak bermaksud tidak sopan.” Lelaki itu berhenti, kembali menatap Ayu. Ada getar yang timbul dalam tatapan sayu, membuatnya kehilangan orientasi untuk sesaat. Ayu membersihkan tenggorokan. “Terima kasih, saya tidak sadar kalau ini jatuh.”
“Terlihat sangat jelas tadi, Anda terburu-buru.” Ayu hanya mengangguk, tidak tahu bagaimana harus menanggapi. “Sekarang sepertinya Anda lebih baik.” Meskipun dia tidak bisa melihat wajah lawan bicaranya, dia tahu lelaki itu tersenyum dari nada bicaranya.
“Sedikit angin laut dan waktu, selalu berhasil memberikan ketenangan.” Ayu mulai memakai kembali gelangnya, sayangnya tidak bisa dilakukan dengan mudah. Ibunya selalu membantu memakai perhiasan, untuk memastikan anak perempuannya ini tampil menawan.
“Apa saya mengganggu ketenangan Anda?”
“Tenang tidak harus sunyi.” Ayu mengutip satu penggal puisi dari buku Persona, yang ditulis Beasty, setelah berhasil mengaitkan kembali gelangnya. Dia kembali teringat akan kekesalan yang tadi sudah berhasil dibendung. Kritik pria mesum itu pada lukisannya yang terinspirasi dari Persona. Jika saja kritik itu benar-benar disampaikan terkait lukisannya, dia akan menerima dengan lapang dada. Ayu tahu, dia masih harus lebih banyak belajar. Namun, kritikan pria tua itu terhadap penampilannya?
Ayu mengambil napas, menyandarkan tangan pada pagar pembatas. Tadi dia berharap kesunyian, tetapi dia tidak ingin pria di sampingnya merasa menjadi gangguan. Dia sama sekali tidak terganggu. Paling tidak, pikirannya teralihkan, dengan berbicara.
“Sunyi tidak berarti tenang,” pria itu berkata lirih tetapi mencuri perhatian. Debur ombak tak lagi Ayu dengarkan.
Terkadang, sunyi menyimpan kalut dan gemuruh untuk diri sendiri.
Sunyi juga menyimpan luka, pecahan hati yang tidak bisa disusun lagi.
Sunyi menutupi ketakutan, menampik bantuan tanpa ucapan.
Sunyi meredam badai, menggerogoti hingga ke tulang.
Pria misterius itu dengan mudah mengucapkan rangkaian kata kesukaan Ayu. Dengan suara baritonnya, Ayu dibawa ke dimensi yang berbeda. Ruang di sekitar mereka kabur, cahaya hanya berasal dari kilat kecokelatan yang menatap sendu. Lelaki misteriusnya begitu lancar mengimla, tanpa jeda. Seperti semua kata itu, adalah miliknya. Seolah dialah penyusunnya. Lelaki bertopeng itu….
“Persona,” ucap Ayu ragu, hatinya berdebar “dalam bahasa Latin, artinya topeng, kan?”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and the Beast
RomanceHappily every after. Satu kalimat yang tak pernah lagi Juna yakini kebenarannya semenjak kebakaran merenggut wajah tampannya, sekaligus perempuan yang ia percaya sebagai cinta sejatinya. Namun, semua itu terkikis sewaktu ia bertemu Ayu, perempuan c...