Bab 3

3.9K 442 45
                                    

Seperti halnya kapal mewah Royal Princess yang berlayar di Lautan Karibia, kapal pesiar Ocean Dream ini memiliki ruang khusus galeri seni. Dengar-dengar karena pemiliknya merupakan seorang penggemar seni. Minat itulah yang mendorong sang pemilik kapal untuk mengadakan acara pegelaran seni ini. Bukan hanya lukisan yang dipamerkan di sini. Ada juga beberapa patung pahatan karya perupa ternama asal Bali. 

Galeri sudah dipadati oleh para penumpang kapal yang semuanya berbusana mewah. Para pria mengenakan tuksedo dan para wanita memakai gaun rancangan desainer. Jenis pakaian yang sama seperti yang kini melekat pada tubuh Ayu dan Lintang. 

Saat melintas di depan sebuah cermin besar dengan bingkai kayu berukiran khas Jepara, Ayu sempat melihat pantulan dirinya. Gaun hitam yang ia kenakan semakin menonjolkan warna kulitnya yang putih bersih. Rambut hitam panjangnya ditata rapi ke belakang telinga dan ditahan dengan sepasang jepit rambut bertatahkan berlian, memamerkan telinganya yang juga berhiaskan anting berlian. Pikiran liar terlintas dalam benak Ayu, bagaimana reaksi orang-orang  jika ia muncul dengan penampilan yang sedikit kacau? Mungkin ia bisa melepas jepit rambutnya dan mengacak surai hitamnya agar sedikit berantakan? Atau mengganti high heels delapan sentimeternya dengan sepatu kets putih-silver?

Ayu menggeleng kecil sembari terus melangkah. Orangtuanya pasti akan menguburnya hidup-hidup jika ia berani muncul seperti itu. Mereka telah menetapkan standar sempurna pada semua hal yang Ayu jalani: cara berpakaian, teman-teman, pendidikan, karir, bahkan urusan cinta. 

"Itu Om dan Tante," ucap Lintang, sebelah tangannya yang bebas menunjuk pada sepasang pria dan wanita paruh baya yang sedang bercakap-cakap dengan seorang pria lainnya di depan lukisan Moonlight at Midnight buatan Ayu. Wayan Subroto, ayah Ayu, mengenakan tuksedo hitam seperti pengunjung lainnya, tampak sedang mengobrol akrab dengan lawan bicaranya. Sementara, Sekar Kinanti, ibu Ayu, hanya sesekali menimpali sambil terus tersenyum manis. Batu-batu permata yang menghiasi gaun batik modern yang ia pakai terlihat berkilau ditimpa cahaya lampu. Mereka langsung menoleh begitu melihat Ayu datang bersama Lintang.

"Ah, ini dia putri semata wayang kami, Pak Sam," kata Wayan sembari merangkulkan tangannya di pundak Ayu. "Ayu, kenalkan ini Pak Samudra. Dia seorang kurator independen. Pernah bekerja di museum di New York tapi akhirnya memilih kembali ke tanah air. Pak Sam ini sangat terkesan dengan lukisanmu."

Ayu menyalami Samudra sembari mengucapkan terima kasih atas apresiasi pria itu terhadap karyanya. Gelang berliannya tampak semakin berkilau di bawah sinar lampu. Ayu memperkirakan Samudra berusia 40-an, belum setua ayahnya.

"Putri Anda sangat berbakat," puji Samudra.

Wayan tertawa. "Ya, ya, memang benar," katanya pongah sembari menepuk-nepuk pundak putrinya. Ayu sedikit mengangkat alis, terkenang saat dirinya harus menyusun argumen kuat selayaknya sebuah desertasi untuk meyakinkan sang ayah tentang jurusan seni yang ingin ia tempuh di bangku perguruan tinggi.

"Dan pemuda tampan ini, apakah kekasihnya?" Samudra bertanya tentang Lintang.

"Lintang ini adalah kawan baik Ayu. Sudah lama sekali mereka bersahabat. Dan memang hanya dia yang paling saya percaya untuk menjaga putri saya."

 "Pelukis juga?" tanya Samudra lagi.

"Bukan, Pak. Saya lebih tertarik pada dunia literasi," jawab Lintang seraya menjabat tangan Samudra.

"Oh, ya? Menggeluti genre apa? Sastra serius?" Samudra tampak tertarik.

"Hanya tulisan-tulisan fiksi populer. Saya nggak bisa yang terlalu nyastra," jawab Lintang malu-malu, yang membuat Ayu ingin tertawa.

"Penulis berbakat sekaligus pengusaha muda," timpal Wayan. "Husband material," guraunya.

Ayu memutar bola mata, sementara Lintang tersenyum simpul.

Beauty and the BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang